Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Kaya Bermanfaat, Miskin Bermartabat

Oleh: Musthofa Umar

Judul opini saya kali ini mengambil dari sepenggal kata-kata amanat Inspektur Upacara pada peringatan Hari Jadi ke-10 Kota Bima, 10 April 2012 lalu. Tidak lain adalah Wali Kota Bima, HM. Qurais. Kalimat ini memang sederhana, namun menarik untuk  dikaji konteksnya dalam kehidupan kita. Kalimat ini pun akan menjadi pembahasan yang panjang jika  ditinjau dari sudut berbeda.

Kalau saya melihat konteks kalimat ini adalah tentang meminimalisasi kemiskinan yang ada dengan sadarnya para orang kaya terhadap amal, shadaqah, infaq, zakat, dan pajak mereka sehingga bermanfaat untuk sebagian masyarakat Kota Bima yang berada di bawah garis kemiskinan.

Wali Kota selintas berusaha “mengetuk” hati mereka yang kaya agar  bisa berbagi dengan saudaranya yang miskin. Karena dengan begitulah program pemerintah untuk menjadikan Indonesia secara umum dan khususnya Kota Bima menjadi daerah bebas miskin akan terwujud. Islam jauh menuntun hal itu dan ini yang akan kita bahas tentang bagaimana pandangan Islam tentang kaya dan miskin.

Bagaimana pula seharusnya sikap seorang kaya kepada seorang miskin dalam hal berintraksi untuk membangun kota ini ke arah yang lebih baik. Secara tidak langsung, andil orang kaya sangat dibutuhkan untuk membangun kota, dengan sadar zakat dan pajak, insyaAllah apapun bentuk pembangunan yang di cita-citakan akan terwujud.

Dampak dari ketidaksadaran orang kaya terhadap orang miskin adalah seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak kerusuhan, penjarahan, perampokan, copet, pencurian, perkosaan dan pembunuhan serta model-model kejahatan lainnya, lebih banyak dipicu kemiskinan (ekonomi sulit). Pada akhirnya yang kayalah menjadi target sasaran, sehingga hitung-hitung untuk menjaga harta mereka, seharusnya mereka secara rutin mengeluarkan hak-hak orang miskin. Apalah artinya kaya, namun keamanannya tidak terjamin setiap hari.  Walaupun kita memerkerjakan sebanyak-banyaknya orang untuk menjaganya, toh tetap tidak akan aman. Namun, kalau mereka (penduduk sekitar) yang miskin terayomi, tanpa disuruh menjaga pun mereka akan sendirinya membantu kita yang kaya.

Hadis Nabi SAW mengatakan, “khairunnas yanfa’uhum linnas” adalah sebaik-baik manusia yaitu yang bermanfaat bagi sebagian mereka. Manusia menjadi manfaat hidupnya di dunia, jika mereka bisa bermanfaat untuk yang lain.  Tentu kalau melihat dari kaca mata kaya dan miskin, maka yang kaya akan menjadi baik dan bermanfaat dengan kekayaannya, jika mereka bisa memberikan manfaat atas kekayaan mereka kepada yang miskin. Orang berilmu (kaya akan pengetahuan), akan bermanfaat kepada saudara-saudara mereka yang miskin ilmu (bodoh). Termasuk orang yang kuasa (pejabat) akan bermanfaat jika mereka bisa berbagi manfaat jabatannya kepada yang di kuasai (bawahan).  

Arti manfaat adalah jelas untuk kebenaran dan kebaikan. Bukan manfaat kepada jalan yang tidak benar, misalnya dengan harta mereka, membuka fasilitas perjudian atau perzinahan. Kalau ini yang dilakukan, tetap tidak dikatakan bermanfaat dengan kekayaannya. Harta yang diberikan Allah haruslah digunakan pada jalan yang diridhai Allah, bukan pada jalan-jalan yang dibenci-Nya.

Saya kira semua kita sepakat tidak mau miskin. Akan tetapi, sudah menjadi sunnatullah (ketentuan Allah)  bahwa keseimbangan dunia ini, harus ada yang miskin karena ada yang kaya. Orang kaya tidak akan menjadi kaya, bila tidak adanya orang miskin. Begitulah sunnatullah yang ada, kaya-miskin, baik-buruk, hitam-putih, tinggi-rendah, atasan-bawahan, surga-neraka, pahala-dosa dan lain-lain. Bersyukurlah mereka-mereka yang tercipta memang harus kaya, dan bersabarlah kita yang tercipta menjadi miskin.

Kaya bukan sebuah kebetulan, namun kekayaan bisa jadi adalah bentuk ujian Allah kepada kita. Pandaikah kita mensyukurinya atau sebaliknya yakni menjadikan kita kufur nikmat. Begitu pula dengan kemiskinan, bisa jadi adalah cobaan kita, sehingga apabila kita lulus berkah hidup akan kita dapatkan. Tidak di dunia, mungkin Allah membalasnya di Akhirat kelak.

Selain itu, manusia memang tercipta sosial. Manusia sosial adalah manusia yang bisa berintraksi baik sesama manusianya. Manusia akan bisa hidup dengan orang lain. Seberapa kayapun kita tapi kalau kita hidup sendiri juga tidak menjadi enak, sehingga di balik kekayaan kita, terlibat orang lain yang berintraksi terus menerus dengan kita. Islam hadir untuk menjaga keseimbangan antara kaya dan miskin di dunia ini. Bentuk Islam menjaga keseimbangan itu adalah, dengan diwajibkannya setiap Islam dan beriman agar mengeluarkan sebagian harta mereka, dengan tujuan membersihkan harta-harta mereka dengan jalan berzakat, berinfaq, bershadaqah dan bentuk-bentuk lain yang intinya bisa dinikmati mereka-mereka yang tidak seberuntung kita. Islam tidak anti harta (kekayaan), dan Islam juga sangat kuatir terhadap kemiskinan.

Beberapa hadis sangat jelas dan shahih tentang kaya dan miskin. Dalam satu hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam At-Turmudzi dan Ibnu Majah yang merupakan do’a Rasulullah yakni, “Wahai Allah, berilah aku hidup dan mati dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin kelak di hari kiamat”. Hadis ini mungkin yang diyakini oleh sebagian faham dalam Islam bahwa menjadi miskin itu adalah dijanjikan berkumpul nanti dengan Rasulullah SAW di surga. Dari hadis ini pula, jangan-jangan mereka menjadi pasrah akan rezeki tanpa berusaha dan memiskinkan diri.  Hadis ini tidak sertamerta kita artikan anjuran agar sepakat untuk miskin, akan tetapi lebih kepada kerendahan hati Rasulullah kepada Allah, tidak congkak, pongah dan sombong terhadap harta yang diberikan.

Karena memang, diuji dengan kekayaan lebih sering lupa kepada Allah daripada diuji dengan kemiskinan. Renungkan dan kita lihat realitas, kalau seorang Kaya terkadang lupa dengan Allah (contoh sahabat Saklabah), begitu diberikan kekayaan, dengan berlimpah ternaknya pada waktu itu, sampai lupa shalat karena tidak sempat dengan binatang ternaknya. Tidak jauh berbeda dengan kita kebanyakan, jika diberikan sedikit lebih kita lebih senang berpoya-poya dan lupa kewajiban. Namun, jika manusia diuji oleh kemiskinan, rasanya tangis dan airmata dalam sujud serta doa permohonan kepada Allah selalu kita lantunkan. Shalat Duha atau membaca surat Waqi’ah tanpa henti. Artinya kemiskinan kita yang merupakan cobaan tadi, lebih mendekatkan diri kita kepada Allah.

Dalam hal ini tidak jauh beda dengan Fir’aun. Begitu Allah memberikannya kekayaan, maka mereka menjadi sombong. Contoh lain yang tidak kalah menarik  guyonan almarhum KH. Zainuddin MZ, dalam beberapa pidatonya, sering mengatakan, “Waktu miskin rajin baca ayat kursi, setelah dapat kursi lupa ayat”. Menangis waktu miskin, dan tertawa waktu kaya.

Menjadi kaya lebih  banyak tanggung jawabnya daripada miskin di hadapan Allah SWT. Mereka  yang berharta akan ditanya tiga hal, yakni dari mana engkau dapatkan, dengan cara apa dan kemana disalurkan harta yang di dapat. Belum lagi dalam al-Qur’an kaya dikatakan adalah jalan yang sukar, surat al-Balad ayat 11-16 mengatakan, “Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?”.  Dalam lanjutan ayatnya, “tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” yakni, “melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir” dalam penutup penjelasan ayat ini, ayat ke 17, “dan dia termasuk orang-orang yang beriman”.

Jadi posisi kaya dan miskin dalam ayat ini, sangat jelas. Bahwa orang kaya yang sedang menikmati kekayaannya sama seperti mendaki pada jalan yang sukar. Dikatakan mendaki dan sukar, karena beberapa hal harus mereka lakukan dalam pendakian jalan yang sukar itu. Yakni membebaskan perbudakan, menyantuni atau memberi makan anak yatim dan orang miskin yang sangat fakir.

Nah sekarang mungkin tinggal dua, yatim dan miskin. Karena perbudakan sudah tidak ada. Merek orang yang kaya dan melakukan dua hal ini adalah beriman sesuai ayat 17 surat al-Balad tadi, dan sebaliknya apabila tidak melakukan dua hal tersebut adalah termasuk orang-orang yang tidak beriman.

Hadis tentang kemiskinan tadi, seolah-olah bertolak belakang dengan hadis Nabi SAW yang lain. Mari kita lihat, hadis riwayat Imam Muslim dan at-Turmudzi, yang artinya “Wahai Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu petunjuk, ketakwaan, harga diri dan kekayaan”. Hadis lain juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad, yang artinya “sesungguhnya Allah senang pada hamba yang bertakwa, kaya dan tidak suka menonjolkan diri”. Hadis lain juga shahih karena diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, artinya “sesungguhnya kamu, meninggalkan ahli-ahli warismu dalam keadaan kaya raya jauh lebih baik ketimbang kamu meninggalkan mereka dalam keadaan berkekurangan dan minta-minta pada manusia (pengemis)”.

Melihat dua model hadis ini, tentu kita akan berpikir apakah menjadi kaya atau menjadi miskin. Karena pilihan-pilihan  ini tentu ada konsekuensi masing-masing. Namun, yang jelas, kaya dan miskin seperti yang saya katakan di atas adalah fitnah (cobaan). Ini berdasarkan hadis Rasululullah SAW juga, dan merupakan doa beliau, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari artinya, “Wahai Allah aku mohon perlindungan kepadaMu dari fitnahnya kekayaan dan aku mohon perlindungan (pula) dari fitnahnya kemiskinan”. 

Setidak-tidaknya, untuk bisa berbagi kepada sesama, maka jelas kita harus menjadi kaya terlebih dahulu. Kalau anda disuruh memilih sudah barang tentu kaya yang anda minta, karena miskin adalah mendekati kepada kekufuran.

Kesimpulan saya adalah kaya atau miskin adalah pilihan hidup yang sudah digariskan oleh Allah SWT. Namun, sesuatu ketentuan berawal dari permohonan-permohonan hamba, karena Allah dalam ayat-Nya mengatakan, “tidak akan mengubah nasib suatu kaum, apabila kaum tersebut tidak mau merubah dirinya sendiri” jadi apapun pilihan yang ingin kita jalani, adalah penentunya kita sendiri.

Ada orang yang lahirnya miskin, namun karena ulet dan tekut dalam berusaha, mereka menjadi kaya. Namun, sebaliknya, awalnya kaya tapi karena angkuh, sombong dan takabbur mereka menjadi melarat kembali.  Oleh karena itu, sebaik-baik kita adalah tetap pada kerendahan hati. Apabila Allah memberikan kita kekayaan, maka kita rendah hati dengan tidak sombong, takabur dan tamak serta angkuh. Agar kita tidak mengikuti jejak Saklabah, Fir’aun, Qorun dan lain-lain. Tetaplah mencontoh kepada Nabi Sualaiman AS yang diberikan kekayaan oleh Allah, namun tetap rendah hati.

Begitu halnya dengan kemiskinan. Agar menjadi miskin yang bermartabat, harusnya sadar diri apakah kekurangan kita, mungkin harus lebih banyak sabar, dan beribadah serta berusaha kepada Allah SWT atas cobaan yang diberika, seperti Nabi Ayyub AS dan Nabi-nabi yang lain. Bukan pasrah, lalu memaki-maki Allah SWT dengan menyebut Allah tidak adil sehingga inilah yang dikatakan dan ditakutkan Nabi SAW, orang fakir mendekati kufur. Tidak pasrah dengan keadaan dan meminta-meminta kepada sesama manusia, padahal kita punya kemampuan untuk bangkit dan berusaha. Buktikan bahwa kita bisa untuk lebih baik dari yang kita alami saat ini, sehingga kita meninggalkan anak cucu kita dalam keadaan lebih baik.  

Kaya ataupun miskin, sama-sama berpeluang kufur. Mereka yang kaya, jika tidak bisa bersyukur makan dia menjadi kufur nikmat, sebaliknya yang miskin mendekati kekufuran. Jadi peluang untuk menjadi kufur itu sangat dekat bagi kita. Dari itu pergunakan kesempatan yang diberikan Allah sebaik-baiknya. Agar kita terhindar dari kekufuran itu. Mereka yang kaya manfaatkan kekayaannya untuk membantu yang miskin, begitupun yang miskin agar selalu bersabar dan terus berusaha serta yakinlah bahwa Allah Mahatahu, Allah Mahapemberi rizki, jadi kerja sesuai tuntutan agama dan niatkan ibadah kepada Allah, insyaallah akan menjadi amal kita di dunia menuju akhirat kelak. Amin.

Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Kecamatan Mpunda Kementerian Agama Kota Bima.

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Advertisement

Berita Terkait