Connect with us

Ketik yang Anda cari

Sudut Pandang

Rimpu, Identitas Kebangsaan dan Pembajakan Makna

Oleh : Muhadi *

Di Bima ada satu identitas budaya yang tidak boleh dilupakan oleh generasi sekarang. Tradisi ini dikenal sejak jaman kesultanan Bima yang sejak diislamkan Raja Bima pada tahun 1632 M. Gelombang ini terjadi sejak masuknya raja pertama memeluk agama Islam. Beliau dikenal dengan sebutan La Ka’i atau Abdul Kahir. Saat itulah internalisasi budaya islam masuk ke wilayah kerajaan, Risalah ini dibawa oleh para mubalig dari Sulawesi. Hingga membentuk corak perilaku raja dan  masyarakat. Memerlukan proses adaptasi yang serius dengan pola-pola yang sederhana. Menurut beberapa pendapat bahwa rimpu mulai diperkenalkan di orang-orang terdekat sultan. Tradisi menutup tubuh dengan sarung atau kain panjang ini mulai menarik perhatian orang istana.

Rimpu Sebagai Identitas Kebangsaan

Distribusi politik identitas keislaman mulai didesign sedemikian rupa oleh para mubalig, yaitu berupaya untuk memadukan budaya lokal. Seiring dengan berjalannya waktu, maka identitas itu menjadi icon tersediri guna membangun budaya baru dikalangan masyarakat mbojo. Icon ini sedikit demi sedikit mulai disosialisasikan dikalangan istana dengan proses penetrasi yang rumit sehingga membutuhkan strategi dan upaya, yang pada akhirnya merambah ke lapisan masyarakat bawah.

Rimpu digunakan oleh mereka yang sudah balig atau menikah, dalam agama atau trend sekarang disama artikan dengan kerudung. Namun pada beberapa refrensi, kerudung di Indonesia baru terkenal pada tahun 1980-an. Rimpu memiliki multifungsi dalam menyikapi jamannya pada saat itu. Pertama, rimpu merupakan identitas keagamaan, sehingga pada bagian ini dengan adanya perkembangan dakwah di Bima yang cukup pesat, maka kaum wanita mulai mempelajari dan memaknainya sebagai suatu nilai-nilai luhur.

Kedua, Rimpu dikombinasikan dengan budaya lokal masyarakat pada saat itu yaitu kebiasaan menggunakan sarung tenun dalam aktifitas sosial. Intergrasi ini menjadikan icon budaya Bima yang mulai berkembang. Ketiga, Proteksi diri kaum hawa ketika melakukan interaksi sosial. Klimaks kondisi ini terjadi ketika jaman kolonial Belanda dan Jepang. Keempat, rimpu merupakan alat pelindung terhadap kondisi lingkungan yang buruk, disisi lain juga penjagaan terhadap suhu yang panas sehingga memungkinkan untuk digunakan.

Pembajakan Makna dan Budaya

Rimpu, terdiri dari 2 model, yaitu pertama Rimpu mpida,, khusus buat gadis Bima atau yg belum berkeluarga. Model ini juga sering disebut cadar ala Bima,, Dalam kebudayaan masyarakat Bima, wanita yg belum menikah tidak boleh memperlihatkan wajahnya, tapi bukan berarti gerak-geraknya dibatasi.Hal ini menunjukan budaya yang diciptakan oleh para mubalig sudah mengakar sampai pelosok desa. Namun dengan moderenisasi yang salah diartikan membuat identititas tersebut rapuh termakan jaman, sungguh menyayangkan. Kedua Rimpu colo,, rimpu jenis ini diperuntukan buat ibu-ibu rumah tangga. Toleransi agar mukanya sudah boleh kelihatan oleh masyarakat luas. Di pasar-pasar tradisional, masih bisa ditemukan ibu-ibu yang memakai rimpu dengan sarung khas dari bima (tembe nggoli).

Sedikit demi sedikit, gejolak itu hampir tidak terlihat lagi tampilannya, kecuali hanya orang-orang tua yang sudah terlampau jauh usianya. Banyak faktor yang bisa dirasionalisasikan sehingga rimpu tidak terlihat diranah publik kecuali pada hari-hari tertentu saja. Perubahan dan pergeseran nilai sosial semakin tajam dan tidak mampu dibendung oleh generasi itu sendiri. Semenjak diperkenalkan jilbab disekitar tahun 80-an, maka masyarakat muslim mulai berbondong-bondong mengikutinya. Namun pada saat itu masih ada kesenjangan, dikarenakan pemahaman yang masih sempit akan jilbab. Disaat yang sama tradisi memakai rimpu masih dipertanhankan oleh kau setengah kebaya.

Terminologi Jilbab dengan rimpu jauh berbeda. Contohnya sederhana, jikalau rimpu memiliki ukuran yang konstan sedangkan jilbab bervariatif.. Sekarang mindset masyarakat sudah bergeser dengan memaknai rimpu hanya sekedar pakai adat dan sudah tidak jamannya lagi digunakan diranah publik. Contoh nyata, yaitu ketika hari jadi Kota Bima yang ke 10 kemarin, rimpu baru digunakan. Tidak terlalu banyak tulisan yang termanuskrip di perpustakaan daerah tentang sejarah ini, namun informasi disandarkan pada sumber yang relevan dan dapat dipercaya. Meskipun secara teori sejarah masih banyak yang dipertanyakan.  

  • Mahasiswa Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Airlangga Surabaya.

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Pemerintahan

Kota Bima, Bimakini.- Pawai Rimpu dengan tema “Rimpu Ma Ambi” Heritage of Bima”, diramaikan puluhan ribu warga Kota Bima,  Minggu 7 Mei 2023. Kegiatan...

Jalan-jalan

Untuk Anda yang ingin mengikuti Pawai Rimpu “Rimpu Ma Ambi” Heritage of Bima”, Minggu 7 Mei 2023, ada baiknya memerhatikan beberapa hal ini. Lokasi...

Jalan-jalan

Tradisi berbusana Rimpu dalam masyarakat Bima banyak menarik perhatian, termasuk penelitian akademis. Ini karena adanya nilai-nilai yang tersirat di dalamnya dan memiliki perbedaaan dengan...

Opini

Oleh : Munir Husen (Kader Partai Keadilan Sejahtera) Akhir masa jabatannya Muhammad Lutfi dan Fery Sofiyan, di Pemerintah Kota Bima mengadakan parade festival rimpu...

CATATAN KHAS KMA

BEBERAPA hari ini, media ramai memberitakan penggunaan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengganti kupon undian pada pawai Rimpu. Itu sederhana sekali. Alasan penyelenggara, untuk...