Pekan lalu, seorang pria yang diduga agen penjualan judi jenis toto gelap (Togel) di Desa Naru Kecamatan Sape Kabupaten Bima dibekuk oleh aparat Kepolisian. Sejumlah barang bukti disita. Namun, ada yang berbeda. Ada sedikit perlawanan dari warga sekitar terhadap perburuan aparat Kepolisian itu.
Keberhasilan itu perlu diapresiasi, setidaknya menjawab sorotan terhadap maraknya perjudian itu selama ini. Wilayah Sape hanya satu di antaranya, karena berdasarkan informasi hampir semua areal di Bima praktik perjudian sudah membumi.
Pembicaraan mengenai perjudian, otak-atik angka, dan kegagalan-keberhasilan yang mengiringinya sudah lama menjadi “menu harian” sebagian masyarakat. Bahkan, menjebol level usia. Apa yang terlihat saat ini, pada level tertentu, hampir sama dengan “nasionalisasi” PORKAS pada jaman Orde Baru. Sejatinya, kita melihat titik hitam ini sebagai agenda yang perlu diberantas. Ya, menjadikannya keresahan kolektif dan dilakukan pada kesempatan pertama.
Kita semua pantas prihatin. Keprihatinan yang seharusnya terus dirawat apik untuk menjaga masyarakat dari virus berbahaya dan mental malas. Perjudian adalah penyakit masyarakat, relatif murah-meriah. Murah karena nilai taruhannya sama dengan sebatang rokok, bahkan bocah-bocah pun merasa mampu memasangnya. Meski tidak terdemonstrasikan secara nyata, namun dari pergerakan bawah tanahnya meriah. Jika tidak segera diamputasi, maka beban pembangunan masyarakat bakal semakin berat.
Penangkapan agen di Sape itu, demikian juga sejumlah orang lainnya di Kota Bima dan Dompu sebelumnya, mesti dijadikan bagian utuh dari rangkaian perang suci terhadap perjudian dan segala bentuknya. Mesti digaungkan tidak hanya di mimbar keagamaan, tetapi juga areal umum lainnya. Membersihkan virus judi dari masyarakat membutuhkan kerja keras, karena berkaitan dengan mentalitas. Dalam konteks saat ini, memberantas judi adalah keharusan kolektif! (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.