Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Bima diagendakan 13 Mei 2013 mendatang. Momentum politik selalu saja menyita banyak energi dan perhatian. Biasanya, ada dua harapan utama dalam perhelatan itu. Prosesnya demokratis sesuai aturan dan munculnya pemimpin harapan. Suksesi memang meniscayakan dinamika di dalamnya. Kekuasaan masih menjadi magnet sejak dulu.
Namun, masih ada sikap apriori dari sejumlah kalangan terhadap kejujuran proses pemilihan itu. Masalahnya, aroma busuk transaksi politik menggunakan uang (money politics) setia mewarnai. Ada yang bisa dibuktikan, ada juga yang seperti kentut, baunya menyengat suasana, namun sulit mendengar ada yang mengaku menyemprotkannya dari lubang sempit.
Pada sisi lain, jika diamati perilaku masyarakat kita, sikap ‘aji mumpung’ juga semakin mengental. Bahkan, ada yang menyatakan secara lugas “ada uang, ada suara”. Jadinya, dinamika politik kian menjauh dari cita idealnya. Kecenderungan seperti adalah tantangan bagi KPU, Panwaslu, dan kalangan terdidik untuk mencerdaskan pemahaman masyarakat.
Pertanyaan lainnya, masihkah kita bermimpi lahir pemimpin jujur dalam karut-marut seperti itu? Seperti yang dikuatirkan oleh akademisi STISIP Mbojo Bima, Syarif Ahmad, jika kondisi itu masih awet, maka mengharapkan pemimpin jujur akan jauh panggang dari api. Kondisi itu diperparah fakta bahwa banyak figur yang tiba-tiba menjadi tokoh politik, karena punya modal dan mampu membayar. Bukan karena jenjang perkaderan. Mereka adalah ‘imigran politik’. Politik transaksional yang masih sulit dibendung, kian menepikan kondisi terwujudnya cuaca politik yang sehat dan memfasilitasi lahirnya sosok pemimpin bersih. Pengalaman berorganisasi akan memberi pengalaman bagi kader Parpol ketika mengelola pemerintahan.
Dalam konteks Kota Bima, background tidak sehat ini akan sangat berbahaya bagi masa depan daerah ini. Selain itu, kurang kondusif bagi lahirnya pemimpin ideal. Omong kosong jika mengimpikan pemimpin bersih jika saat meraih kekuasaan membeli suara dari rakyat. Masalahnya, imbal balik dari membeli itu adalah memainkan sendi kekuasaan untuk mengganti apa yang para politisi menyebutnya sebagai ‘biaya politik’.
Fenomena itu, setidaknya menegaskan dua hal. Money making power, uang bisa efektif membangun kekuasaan. Sebaliknya, power making money, kekuasaan adalah pintu masuk untuk menambah pundi kekayaan melalui cara licik dan tidak bermoral. Mari kita kritis di titik ini. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.