SABTU (11/8) sore lalu, suasana lapangan Merdeka Kota Bima masih seperti biasanya. Arena pasar Ramadan yang dihelat Pemerintah Kota Bima relatif ramai. Semburat merah mulai menampakkan diri. Maklum, saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.45 WITA.
Berbagai menu dijajakan para pedagang. Ada serabi, cendol, sangisi, dan es buah. Ada juga bakso tusuk, ikan goreng, dan pelecing. Keramaian suasana juga dimanfaatkan para pedagang mainan anak-anak.
Namun, ada yang berbeda dari kemeriahan itu. Pada sisi Barat arena, seorang pemuda duduk dalam posisi kaki berlipat. Memakai baju merah tua kotak-kotak hitam. Namanya Syahrul. Dia tidak berdaya. Kakinya lumpuh, tidak bisa digunakan layaknya manusia normal.
Pria yang tidak lagi mengetahui usianya itu mengaku datang dari Kareke Kabupaten Dompu, sejak empat hari terakhir. Informasi ada pasar Ramadan di lokasi itu memotivasinya untuk datang. “Saya dari Kareke Dompu,” katanya.
Baginya, Ramadan membawa berkah bagi orang-orang yang tidak berdaya seperti dirinya. Mengharapkan belas-kasih orang melalui lembar-lembar rupiah dari lalulalang warga. Ada yang tidak tega melihat kondisinya, lalu membuka dompet atau merogoh kocek untuk diberikan.
Namun, sebagian besar tidak memedulikannya. Berlalu di depan, di samping, dan di belakang Syahrul. Lalulalang mereka diikuti pandangan nanar Syahrul. Meski dalam kondisi seperti itu, kesabarannya teruji. Tetap berusaha tenang dan sabar.
Syahrul mengaku dalam sehari, “ngetem” di arena yang berada di pusat aktivitas bisnis Kota Bima itu mendatangkan berkah tersendiri. Dia bisa mengumpulkan sekitar Rp100 ribu. Nilai yang lumayan baginya.
Dia tidak bisa memastikan kapan mengakhiri meraup berkah Ramadan di lokasi itu. Apakah sampai arena itu dibongkar ataukah segera kembali ke Dompu menemui keluarganya. “Saya tidak tahu kapan pulang dan akan ber-Idul Fitri dimana,” katanya saat ditanya agenda pada ujung Ramadan ini.
Rupanya, Syahrul tidak sendiri. Ada dua rekannya yang mengalami cacat tubuh “ngetem” di arena itu. Ada yang memilih di tengah jalur jalan di antara lapak. Ada yang sama seperti Syahrul, di tempat yang agak terbuka, namun di sisi yang lain. Bisa jadi, mereka berpindah, menyesuaikan kondisi mobilitas setempat.
Selain mereka yang cacat tubuh, sejumlah anak-anak pun memanfaatkan lokasi itu untuk mengemis. Mereka bergerilya dari satu sisi ke sisi yang lain. Pemandangan itu sudah ada sejak arena pasar Ramadan dimulai.
Fenomena aktivitas Syahrul dan rekannya itu mesti segera direspons oleh pemerintah. Mereka adalah kelompok masyarakat yang tidak berdaya karena kondisinya anatomi tubuhnya tidak normal. Namun, membantu terus-menerus tidak menjadi solusi.
Pada berbagai wilayah, sejumlah orang cacat justru mampu memaksimalkan potensi terpendamnya pada berbagai bidang. Musik, memahat, mengancam, menjahit dan kemampuan lainnya. Mereka seharusnya mendapatkan porsi perhatian oleh Negara agar mampu mandiri dan tidak lagi bergantung pada orang lain.
Fenomena “transmigrasi situasional” yang dilakukan Syahrul menggambarkan ketidakberdayaannya melawan arus kehidupan dan tuntutan kebutuhan lainnya. Sekali lagi, mereka layak dibantu. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.