Kematian Bahtiar, warga dusun Bugis Desa Timu Kecamatan Bolo Kabupaten Bima, menyisakan duka bagi istri, anak, dan keluarga besarnya. Penjual kue itu diberondong peluru tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri, dua pekan lalu, saat bersama Roy, warga Makassar, yang diduga pelarian Poso. Namun, ada satu sisi yang kini menyeruak ke permukaan. Aspirasi sebagian warga Timu menolak jenazah Bahtiar dikebumikan di desa setempat. Aspirasi seperti itu kerap terdengar dari warga pada mereka yang menjadi korban peluru Densus.
Sebagai bentuk aspirasi, apa yang dilakukan sebagian warga Timu itu sah-sah saja. Tidak ada yang bisa mengekang saluran dan jenis aspirasi pada era kebebasan berekspresi seperti sekarang ini. Demokrasi menjamin kebebasan itu. Bahkan, jika pun berbeda dengan arus utama. Namun, sebagai masyarakat religius, kita mengharapkan ada kesadaran lebih untuk mengembalikan segala pertanggungjawaban perbuatan manusia kepada Sang Mahapenguasa Kehidupan. Kita hanyalah khalifah yang berupaya mencari titik bening makna, meniti lorong kehidupan dunia untuk menemukan hakikat. Allah-lah yang berhak menilai, lepas dari apapun cara kematian itu.
Jika dicermati, jarang terdengar kencang ketika ada korban tewas yang terlibat kasus pencurian atau perkosaan disikapi dengan penolakan seperti itu. Ini satu sisi ‘gelap’ yang mesti segera dijawab dan otokritik bagi kita semua. Aspirasi dari Timu itu, jika dicermati, hanya ketidakberkenaan mereka terhadap cara penyambutan jenazah Ustaz Khairil, korban terduga teroris yang tewas di tangan Densus, saat dimakamkan tahun lalu. Penyambutan yang oleh sebagian kalangan dianggap berlebihan, karena memunculkan bahasa yang ‘kurang nyaman’.
Kita mengharapkan aspirasi itu bisa diletakkan dalam konteks yang lebih religus-filosofis dan menghargai aspek kemanusiaan. Pemerintah desa dan kecamatan mesti mampu memfasilitasi dan mendudukan aspirasi itu secara tepat. Mengajak semua pihak berdialog agar mendengar aspirasi dan harapan masing-masing. Jika penolakan itu hanya karena soal teknis dan pernak-pernik penyambutan, maka selayaknya bisa dimusyawarahkan. Dibicarakan bersama dengan ‘kepala dingin’.
Dalam bahasa lain, ketidakrespekan sebagian warga terhadap teknis penyambutan itu hanya kontroversi di ‘wilayah pinggiran’ atau kurang substantif untuk menjadi bahan perdebatan panjang nan melelahkan. Hal yang penting adalah bagaimana menunaikan kewajiban kolektif (fardu kifayah) umat Islam yang masih hidup untuk menguburkan saudaranya yang lebih dulu Menghadap Ilahi. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.