Para petani pada sejumlah kecamatan di Kabupaten Bima mengeluhkan harga pupuk yang melejit di atas harga normal. Bayangkan menembus hingga angka hingga Rp150 ribu/sak. Bisa dipahami jika kemudian muncul suara sumbang yang memrotesnya. Harga melangit itu justru didapatkan setelah menunggu dan bersusah-payah mencarinya. Nasib petani memang tidak diuntungkan dalam konteks seperti itu. Sampai kapan? Tidak ada yang bisa memastikannya.
Ada kecurigaan lainnya yang diendus oleh petani dari Desa Renda Kecamatan Belo. Ada oknum wakil rakyat yang menangguk keuntungan dari penjualan barang bersubsidi itu. Indikasi itu mesti ditelusuri lebih jauh karena ‘mengajarkan kebebasan’ yang tidak patut dipertontonkan. Dari sisi ekonomi, permintaan banyak dan barang sedikit akan memicu lonjakan harga. Tetapi, dalam konteks barang bersubsidi, itu harus direm dan domain pemerintah melalui organ-organnya yang mengawasinya. Tidak boleh ada yang bermain bebas.
Aspirasi dari Renda itu mewakili suara rintihan petani pada berbagai tempat. Pupuk sulit didapatkan, ketika pasokan ada bandrol harga mahal menunggu. Petani dalam posisi terjepit, dibeli uang pas-pasan, dibiarkan tanaman padi bakal terhambat pertumbuhannya. Petani mesti diselamatkan dari perdagangan bebas yang melenceng dari tujuan subsidi oleh pemerintah.
Soal harga pupuk yang ‘terbang bebas’ ini selayaknya diseriusi oleh pihak terkait. Tim Pengawas mesti bergerak cepat untuk memantau kondisi. Aspirasi dari Renda itu kita harapkan membangunkan rasa tanggungjawab yang lebih besar dari pihak terkait untuk mengawal alur distribusi pupuk beserta bandrol harga wajar atau dalam batas toleransi. Demi petani kita…(*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.