Connect with us

Ketik yang Anda cari

Politik

Sterilisasi Ponsel dan Kamera di Bilik Suara, Tepat!

Kota Bima, Bimakini.com.- Usulan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kota Bima kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar menggagas larangan bagi pemilih tidak membawa telepon selular (Ponsel) atau kamera manual dan digital saat memasuki bilik suara, direspons positif beberapa pihak. Mereka berpandangan, wacana itu tepat untuk memastikan tidak ada potensi intervensi atau intimidasi terhadap pemilih.

Peneliti Pusat Pemilihan dan Partai Politik (Central for Election Political Party, CEPP) Universitas Indonesia, Ibnu Khaldun, M.Si, mengatakan, wacana tersebut bagus untuk digulirkan menjadi peraturan (regulasi) turunan yang mesti direspons oleh KPU. “Saya kira usulan yang menarik dari Panwas memberikan ruang otensitas, orientalitas, kemerdekaan kebebasan dari pemilih.  Dorongan atau rencana kepada pembuat regulasi patut dipertimmbangkan, karena untuk memastikan tidak ada lagi paksaan yang diterima pemilih,” katanya saat dihubungi di kampus STKIP Taman Siswa Bima, Kamis.
     Dikatakannya, secara umum prinsip Pemilu  berlandas pada kebebasan dan netralitas. Hal itu  juga sudah diakomodir dalam  Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Substansinya, pemilih atau setiap individu yan sudah memenuhi syarat sebagai pemilih diberikan kebabasan atau otoritas dalam menentukan hak suara. Hanya saja, dalam regulasi tersebut tidak diatur secara spesifik, sehingga pada tingkat implementasinya bisa saja nihil dan bisa dimanfaatkan peserta Pemilukada.
        Dikatakannya, landasan tersebut menjadi titik awal bagi KPU untuk merumuskan regulasi yang lebih spesifik. “Sejauh ini memang belum ada larangan membawa HP atau kamera. Ini menjadi masalah. Namun, ini kembali kepada regulasi yang dikeluarkan KPU.  Kalau di Undang-Undang substansinya hanya free and fair, hanya secara umum saja. Jadi tinggal KPU menformulasikan Juklak/Juknisnya,” katanya.
     Menurut kandidat Doktor Fisipol UI ini, KPU di daerah harus memertimbangkan perubahan pola pikir dan perkembangan teknologi/komunikasi dalam masyarakat, sehingga  harus merumuskan regulasi yang spesifik sebagai bentuk penjabaran dari UU Penyelenggara Pemilu. Penggunaan Ponsel dan kamera digital/analog (dokumentasi) saat pencoblosan merupakan salahsatu bentuk pengorganisasian yang bisa dilakukan oleh tim sukses (Timses) pasangan calon untuk mengukur atau memastikan arah dukungan pemilih.
      Jika hal itu terjadi, maka sudah jelas dipastikan terjadi politik tranksasional dan intimidasi terhadap pemilih. “Dari itulah Timses dan pasangan itu memikirkan mentandai atau memberikan semacam kode, dia (pemilih)  misalnya benarkah RT A atau kelompok itu memilih pasangan mereka, sehingga munculnya kode membawa HP atau kamera. Nah, itu merupakan bagian daripada upaya yang dilakukan untuk mengindentifikasi. Jika seperti itu, maka prinsip Pemilu free and fair, tidak terlaksana,” katanya.
    Ibnu menilai, jika merujuk pada Pemilu  dari masa Orde  lama, Orde baru serta rekam jejak (track record) beberapa Pemilu terakhir,   pemilik kekuasaan (incumbent) dan pihak yang memiliki akses terhadap sumberdaya kekuangan (account resource) adalah pihak yang sangat berpotensi memengaruhi pemilih dengan cara yang melabrak asaz Pemilu. Misalnya melalui upaya intimidasi memastikan pemilih dengan memerintahkan mendokumentasikan saat kegiatan pencoblosan.
     Apalagi, jelasnya, saat ini beberapa pihak menilai Pemilukada Kota Bima bisa sebagai ajang pertarungan “dua mesin politik” yang sedang berkuasa. Meski demikian, pasangan lain juga tidak menutup kemungkinan menggunakan pola yang sama dalam meraup suara.
       ”Kekuasaan itu misalnya memiliki mesin birokrasi, partai politik, account resource  dan seterusnya. Dan telah banyak, ribuan data, kalau kita belajar dari gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) itu berasal lebih banyak dari incumbent karena mereka yang memiliki kekuasaan,” katanya.
    Ditegaskannya, intimidasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi merupakan  bagian dari pembodohan.  Sejatinya, hal yang mesti didorong seluruh pihak, yakni penyelenggara, peserta, Timses dan pemangku kepentingan (stakeholder) mewujudkan demokrasi substansial dengan meminamalisasi demokrasi prosedural.
     “Sekarang pemahaman dalam masyarakat baru pada memilih siapa, bukan apa yang dipilih, belum ada kesadaran. Dengan memahami apa yang dipilih, pemilih akan mengetahui program pasangan itu, mau dibawa ke mana, bukan didasari karena faktor keluarga kekuasaan, kekayaan atau memiliki basis massa,” katanya.
    Diungkapkannya, secara umum, CEPP mendorong terwujudnya  kesadaran, kualitas dari pemilih. Upaya yang digagas beberapa Ormas, patut didukung karena merupakan bagian dari  upaya  rasionalisasi, mengubah dari pola pikir (mindset) pemilih dari  supporter menjadi voter. “Mengubah dari pengagum/pendukung menjadi pemilih yang cerdas. Bukan karena kekerabataan. Poin  pentingnya harus mendorong free and fair dari pemilih ini,” katanya.
Pada bagian lain, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sekretariat STISIP Mbojo Bima, Setiawan, menilai gagasan dari Panwaslu Kota Bima sudah tepat dan perlu didukung bersama. Wacana tersebut secepatnya harus ditindaklanjuti KPU.
“Menurut kami itu adalah usulan yang bagus dan perlu didukung bersama,” katanya di kampus setempat, kemarin.
Menurutnya, potensi pengarahan atau intimidasi terhadap pemilih saat hari H pencoblosan sangat besar. Hal itu melihat kualitas atau tingkat  kecerdasan  pemilih di Kota Bima yang sebagian masih tradisional. Selain itu, belajar dari proses Pilkades yang lebih didominasi politik uang (money politics).
Dalam  tahapan pesta demokrasi tingkat desa tersebut, beberapa kontestan sudah memanfaatkan kecanggihan teknologi, dengan menekan kepada pemilih agar mendokumentasikan aktivitas saat mencoblos. Dukungan tersebut  kemudian ditukar dengan uang.
“Langkah itu antisipatif dan sangat bagus. Tahulah politik hari ini, kita mengambil pengalaman Pilkades yang kebetulan Panitianya teman-teman kami. Mereka membuat mekanisme seperti itu. Karena bukan rahasia lagi, mohon maaf sebagian pemilih kita  sekarang bisa dibayar misalnya 100 ribu kemudian ditagih,” katanya.
Dikatakannya, KPU Kota Bima harus memberikan respons positif terhadap usulan Panwaslu dan beberapa elemen masyarakat, guna memastikan outuput Pemilu sesuai yang diharapkan seperti yang tertuang dalam asas penyelenggaraan Pemilu, Jujur, Adil, Langsung, Rahasia, Akuntabel, Efektif, Efisien, dan lain-lain.
Kasus yang  dalam  pelaksanaan Pilkades, replikasinya bisa saja terjadi saat Pemilukada. “Potensi itu bukan saja dilakukan incumbent, tetapi calon lain juga. Saya rasa kalau kita ingin Pemilu berkualitas, mengapa susah menggagas aturan positif?” katanya. (BE.17)
 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Peristiwa

Perusahaan memiliki kewajiban dalam memfasilitasi karyawannya agar performa kerja lebih optimal. Selain fasilitas pokok, perusahaan juga bisa memberikan bonus kepada karyawan. Bonus karyawan ini...

Pendidikan

Bima, Bimakini.com.- Selain bertugas mengatur lalulintas, Sat Lantas Polres Bima juga peduli  terhadap  kegiatan lainnya. Seperti saat ini,  dalam kegiatan Polisi Peduli Pelajar. Mereka...

Hukum & Kriminal

Bima, Bimakini.com.- Maraknya penjual petasan saat  bulan Ramadan   menjadi atensi aparat Kepolisian. Selain meresahkan masyarakat yang sedang beribadah, juga membahayakan.

Hukum & Kriminal

Bima, Bimakini.com.-  Kontroversi pembagian los pasar Tente semakin meruncing saja. Pembahasan yang berkali-kali dilakukan, belum menemukan titik temu penyelesaian. Aksi demo saling menyuarakan aspirasi...

Peristiwa

Perairan laut selatan, khususnya di Kecamatan Langudu menyimpan daya tarik luar biasa.  Pantai Pusu Desa Pusu, memang sebelumnya cukup terisolir. Menjamah tempat ini, jalurnya...