Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Menjawab Konflik di Bima

                                                                               Oleh: Haeruddin Parewa

WhatsApp Image 2016-08-12 at 1.02.51 PM

Dana Mbojo, dalam satu dekade terakhir ini, sering muncul sejumlah sengketa yang mengarah pada kekerasan berbasis sentimen kelompok dan kampung. Seiring waktu, konflik tersebut terus saja terjadi sembari menyempurnakan diri. Bahkan, disempurnakan perangkatnya, baik struktur maupun kultur oleh kekuatan-kekuatan di dalam juga di luar kelompok dan kampung yang bertikai. Pada akhirnya, konflik tidak hanya berdampak pada perubahan perilaku sosial yang resisten dan eksklusif, tetapi juga pada perilaku psikologi individu-individunya.

Menurut Weber (1966), istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi, seiring perkembangan dinamika sosial, arti kata itu kemudian berubah secara semantis yakni berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, ideologi, faham. Dengan demikian, istilah konflik tidak hanya dalam bentuk konfrontasi fisik, namun juga telah menyentuh wilayah psikologis.

Dalam pada itu, bangunan kultur-historis Maja Labo Dahu (Malu dan Takut) yang dijadikan prinsip dan falsafah hidup dalam berkehidupan masyarakat Bima mulai runtuh. Peristiwa perkelahian melibatkan kelompok, bahkan kampung di  desa, beberapakali terjadi sejak tahun 2000-an hingga sekarang, yang dipicu kesalahpahaman dalam relasi sosial bisa berubah menjadi saling serang, telah menjadi wajah teror dengan segala akibat kerusakan materi hingga korban jiwa. Karuan saja, hal ini melahirkan kekuatiran hubungan antarkelompok dan antarkampung makin terganggu. Akibatnya  integrasi sosial di aras individu dan komunitas terganggu. Tidak berlebihan bila akibat konflik tersebut telah menyebabkan hubungan individu dan sosial masyarakat Bima penuh kecurigaan dan kekuatiran pada orang di luar mereka. Bagaimana kita melihat kasus ini dalam kacamata sosial, adakah hubungan kasus-kasus itu dengan kian menurunnya derajat toleransi masyarakat, dan bagaimana menjawab masalah-masalah ini agar kerukunan sosial tetap terjaga?

Ditinjau dari struktur masyarakatnya, Bima tergolong heterogen, dari latarbelakang kelompok kepentingan, bahkan kelas dan etnik. Selain disebut sebagai kota transit,  para pendatang dari berbagai daerah di Indonesia bermukim. Predikat itu  memberi imajinasi terhadap Bima identik dengan perkembangan peradaban dinamik. Dalam perjalanannya, Bima memang dikenal dalam konstruksi tidak aman, terbangun solidaritas sosial yang rapuh ditandai kecenderungan dengan kekerasan. Selain faktor budaya, terutama erat kaitannya dengan dominasi kultur Mbojo. Komunitas Mbojo sebagian besar diisi kaum menengah cendikiawan produk pendidikan tinggi dari dalam dan berbagai daerah/kota di luar Bima seperti, Makassar, Malang, Surabaya, Yogjakarta, Mataram, dan Jakarta demikian banyak. Sebut saja, di Bima banyak perkumpulan atau komunitas etnik dari berbagai daerah. Wajah Bima dengan demikian mengekspresikan keberagaman Indonesia.

Nah, melihat kasus-kasus konflik dan kekerasan berbasis komunal; kampung dan kelompok kepentingan sebagaimana digambarkan di atas, apakah semua ini bukti bahwa keragaman menjadi bagian kekayaan dalam mewujudkan integrasi sosial, ataukah ancaman bagi hubungan sosial?

Terbentuknya integrasi sosial, jika keragaman itu mampu dikelola  baik di antara kelompok atau aktor-aktor yang ada. Pengelolaan itu, didasarkan kesepakatan nilai dan persepsi untuk memahami keadaan masing-masing. Sebaliknya, kemajemukan dapat berpotensi munculnya konflik, bahkan kekerasan yang mengarah pada disintegrasi, jikalau terkandung anggapan bahwa perbedaan merupakan “ancaman”, apalagi tidak ada kesepahaman atas keragaman itu. Intergrasi sosial, dengan demikian dipahami sebagai kesatuan suatu komunitas sosial dalam keberagaman dan rasa kebersamaan. Kunci dasar keduanya adalah “kesepahaman” atas perbedaan dan struktur sosial yang majemuk itu.

Secara kontekstual, pertautan kultur Mbojo sebagai social capital bersemai terus oleh konstruksi kaum terpelajar dan etnik dengan ide-ide kemajemukan dan toleransi. Karenanya, sejauh ini relasi antarkelompok dan antarkampung relatif terbangun secara resisten, nyaris begitu mudah tersulut konflik-kekerasan yang membawa keretakan sosial. Pada gilirannya Kemajemukan atau plural society, terbukti konflik-konflik berbau komunal begitu aktual menjalar. Faktor sosial budaya dan rapuhnya kemampuan masyarakat adalah faktor yang cukup signifikan lahirnya konflik komunal.

Jika fakta-fakta konflik antarkelompok dan antarkampung terjadi berbasis kepentingan sebagaimana diilustrasikan di awal, jelas hal ini merupakan tantangan yang harus diatasi sesegara mungkin. Pertama, perlunya memromosikan dan melembagakan kesadaran kritis “manfaat kebersamaan”, dalam perbedaan antar kelompok. Perbedaan dapat dipahami, dimengerti, dan ditoleransi agar tidak saling  mencurigai dan merugikan. Di antaranya, di Bima perlu menciptakan ruang mediasi, komunikasi lintas kelompok dengan semangat membaur dan terintegrasi. Masyarakat kita kadangkala menikmati ruang-ruang mereka tersekat-sekat perbedaan, tanpa dihubungkan arena dalam berkomunikasi. Keterbatasan media komunikasi menyebabkan munculnya potensi manipulasi informasi dan persepsi. Wajar saja jika perbedaan kemudian terdistorsi, lalu lahirlah kecurigaan dan tidak saling percaya  antarsesama. Persepsi yang saling berlawanan tidak dikomunikasikan, akibatnya saling bermusuhan. Hal ini berkembang oleh konstruksi dan stereotip kelompok atau kampung, mengidentikkan perilaku seseorang dengan latarbelakang kepentingan dan kebutuhan.

Selain itu, yang lebih utama perlu mengembangkan forum-forum komunikasi kewargaan tingkat kampung yang menjangkau perbedaan asal kelompok dan kampung bersifat informal biasanya efektif sebagai basis penguatan kesadaran membangun hubungan kebersamaan. Kedua, senantiasa membuka diri secara inklusif di antara keragaman kelompok dan kampung. Interaksi sosial jangan dibatasi karena kesamaan asal-muasal, kelompok dan kampung yang eksklusif. Tetapi, justru melintasi perbedaan itu supaya saling mengenal, mengerti watak, karakter, pemikiran, yang akhirnya muncul saling pemahaman dan toleransi. Ketiga, menambah luas dan mengembangkan tradisi dialog, menghilangkan cara kekerasan. Mengelola hubungan sosial hendaknya mengedepankan prinsip dialogis, fasilitasi, partisipasi warga menjadi sangat relevan, terutama dikaitkan konteks struktur dan kultur masyarakat saat ini yang sudah berubah ke arah lebih maju.

Langkah-langkah itulah barangkali bisa menjadi bagianuntuk memecahkan sentimen dan ketegangan antarkelompok dan antarkampung yang berbeda, sehingga dalam struktur majemuk apapun bisa hidup rukun dan terbangun integrasi sosial yang kokoh di Bima.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM

 

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Advertisement

Berita Terkait

Opini

Oleh : Munir Husen Kejahatan di Kota Bima saat ini seperti warna pelangi. Mulai dari tindak pidana ringan, misalnya pelanggaran lalu lintas, sampai tindak...

Peristiwa

Bima, Bimakini.- Wakil Bupati (Wabup)  Bima, Drs H Dahlan M Noer, MPd mengingatkan, agar kasus konflik poso menjadi pelajaran panting bagi daerah, termasuk Dana...

Hukum & Kriminal

Bima, Bimakini.- Aparat keamanan mencegah akan terjadinya konflik antar kampung di Kecamatan Monta, Kabupaten Bima, NTB. Terjadi perselisihan antara Desa Sondo dengan Desa Nontotera....

Peristiwa

Bima, Bimakini.- Image dan brand kampung berseteru atau yang biasa disebutkan warga “Rasa Lewa” (Kampung Perang, Red), hingga diplesetkan menjadi jalur “Gaza” pada jalur...

Hukum & Kriminal

Bima, Bimakini.- Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Muhammadiyah Bima menggelar penyuluhan hukum, Sabtu (13/3). Temanya “Menakar Peran Pemuda Dalam Pencegahan...