“BIMA YANG SADIS
Bima kini makin sadis
Bima kini makin berani
Berani begal
Berani jambret
Berani bunuh
Berani mutilasi
Ada apa?
#Save Bima”
Itu status Facebook seorang rekan yang ditulisnya Selasa malam mereaksi kasus temuan potongan tubuh Husen Landa, warga Kelurahan Nae Kecamatan Rasanae Barat Kota Bima yang ditemukan di kawasan pantai Ule. Reaksi lainnya yang sejenis mengalir deras dalam beragam kemasgulan dan kekuatirannya. Suatu ekspresi kegerahan, kecemasan, bahkan frustasi terhadap warna kekinian Mbojo.
Ya, Selasa sore langit Mbojo hitam menggelayut noda. Untuk kesekian kalinya publik Mbojo disuguhi fakta pahit, betapa tidak bernilainya hakikat kemanusiaan pada tangan penjagal. Mereka mencincang dan memotong tubuh korban tanpa perasaan. Suatu bentuk pembunuhan yang esensi sesungguhnya adalah membunuh umat manusia.
Begitu mudah emosi di antara kita meletup. Melesat bak panah dari pangkal busurnya. Begitu gampang tangan terayun senjata tajam hingga memuncratkan darah. Begitu rendahnya keagungan nilai manusia dipahami hingga nyawa terobral murah. Faktanya di Dana Mbojo peristiwa itu telah berulangkali. Kita pantas prihatin.
Seperti pertanyaan Facebooker, kita pun layak mengusung tanya: ada apa? Mengapa tanah ini selalu terangkai indah guliran noda. Sebegitu burukkah warna akhlak sosial kita hari ini. Tentu saja ada yang salah dalam muatan nilai pemahaman dan pemaknaan diri kita. Ada yang keliru dalam substansi pengakuan kekhalifahan kita di bumi Allah ini. Ada yang jebol dalam pertahanan ruh kasih-sayang terhadap sesama yang hidup dan dipahami di tengah keseharian sosial kita. Nilai kerarifan lokal Mbojo tercerabut, perlahan dan pasti, dalam perjalanan menuju titik nadir.
Hari ini di mana posisi maqam eksistensi kita sesungguhnya? Bisa jadi, kita sedang merenda posisi sosial dalam arah kebangkrutan moral. Rangkaian kasus yang selama ini tergelar, mulai dari mutilasi, pembuangan orok dan bayi, penjambretan disertai kekerasan, pembacokan, penganiayaan dan tawuran remaja, ramai-ramai mengonsumi pil Tramadol, selayaknya menggiring rasa kolektivitas agar segera berbenah. Merefleksi kesadaran kebersamaan dalam semangat Maja Labo Dahu. Ya, mulai detik ini, hari ini pada kesempatan pertama.
Noda sosial ini harus didiskusikan bersama. Dikupas tuntas dari beragam sisinya untuk menemukan dialektika dan solusi terbaik. Fakta pahit ini ‘mengajarkan’ pemerintah dan pihak berkompeten agar memfokuskan pembangunan budaya dan karakter di tengah bahasan aspek fisik yang semakin dominan. Noda sosial ini menggelisahkan, karena laju pergerakannya kian merata dan “membumi”. Praktik jahiliyah modern yang berdiri vulgar dan menantang sejarah muncul di depan mata bening kita.
Hari ini Bima menangis! Bahkan, telah lama tersedu. Saudara-saudaraku, mari selamatkan Bima. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.