Bima, Bimakini.- Festival Uma Lengge di Desa Maria Kecamatan Wawo, 6-9 Oktober 2016, menyuguhkan banyak kesenian Dana Mbojo. Mulai dari tari Wura Bongi Monca, Pementasan Makatua, Kasaro, Buja Kadanda, Kalero, Ampa Fare, Kalondo Fare, Tari Kalero, Manca, dan tarian lainnya.
Adanya juga tradisi yang masih terjaga, seperti Sagele, menanam padi dengan iringan musik serune. Pembuatan Mina Sambi dan suguhan makanan tradisonal Bima.
Satu warisan Bima yang juga diperagakan adalah, Ntumbu Tuta atau adu kepala. Tarian ini diiringi dengan musik tradisional. Tidak hanya pengunjung lokal yang takjub. Namun, tamu dari Jakarta. Bahkan, tim dokumentasi Kementerian Pariwisata, meminta prosesi dari awal, sebelum Ntumbu Tuta dilakukan.
Permintaan dari Kementerian Pariwisata RI pun dipenuhi. Memulai dari prosesi awal di Desa Ntori. Di desa inilah asal muasal para penari Ntumbu Tuta, hingga saat ini. Itu pun dari satu keturunan dan tidak bisa dilakukan atau wariskan pada lainnya.
Ibrahim sebagai salah satu Pewaris Keahlian Ntumbu Tuta mengatakan keahlian itu terus diturunkan pada setiap keturunan. Tujuannya agar tidak punah dan terus lestari. “Kami sekeluarga saja yang bisa melakukan itu, orang lain tidak bisa,” katanya usai pertunjukan di Uma Lengge, Sabtu (8/10/2016).
Ritual yang dilakukan, seperti memberikan air atau menyapi air yang sudah dibacakan doa pada bagian sensitif kepala. Bagi yang sudah diusap dan diajak terlibat bermain, harus beradu kepala. Jika tidak, maka akan mengalami gatal-gatal hingga sepekan, kecuali sang guru mengusapkan lagi air di kepalanya.
Saat Ntumbu Tuta dilakukan, satu sama lain saling membenturkan kepala. Semua awalnya menari-nari diiringi musik tradisional. Setelah itu, dua orang menyiapkan diri mengadu kepala. Posisi menunduk dan memasang kuda-kuda.
Penari Ntumbu Tuta lainnya masih terus mengikuti irama musik, sehingga ada aba-aba siap membenturkan kepalanya. Ada juga diantara mereka yang terlihat tidak puas, hingga tiap besi menjadi sasaran. Meski beradu dengan besi, namun mereka tidak mengalami apa-apa.
“Biasa saja, malah rasanya semakin enak kepala ini kalau terus dibenturkan,” kata Ibrahim.
Usia pemain Ntumbu Tuta tidak dibatasi, siapapun dari anggota keluarganya bisa langsung diwariskan. Termasuk usia sekolah dasar. “Kalau ada yang lain mengaku kuat adu kepala, ayo kita coba,” ujarnya.
Arief, salah satu keluarga yang ikut mewarisi tradisi ini mengaku kadang tidak mudah mengumpulkan para pemain. Karena satu dan lain masing-masing memiliki kesibukan.
Berbagai undangan pertunjukkan sudah dilakukan, termasuk di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Olan Wardiansyah, salah satu penggagas Festival Uma Lengge mengatakan ini salah satu upaya melestarikan kekayaan daerah. Meski penuh kekurangan, namun ini awal dari kepedulian terhadap budaya daerah.
Ume Lengge dipilih sebagai lokasi, karena menjadi salah satu ikon yang kasih ada. Kedepannya, akan diupayakan menjadi agenda tahunan. “Kami akan menjadikannya sebagai agenda tahunan,” kata penyuka photografi ini.
Meskipun festival kali ini tidak ada dukungan dari pemerintah daerah, namun kedepannya diharapkan kerinduan lestarinya budaya daerah tumbuh bersama. Antara kalangan pemerintah dan kelompok peduli. (BK.25)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.