Jumlah kasus gugatan perceraian di Pengadilan Agama Bima, setiap tahun seperti biasanya selalu mengejutkan. Menghentak suasana. Hingga awal Oktober 2016 sudah mencapai 1.745 kasus. Sepanjang tahun 2015 lalu angkanya 1.900 gugatan. Padahal, masih ada ratusan yang berkasnya parkir. Kondisi ini memang menguatirkan, karena perkara halal yang dibenci Allah itu mewarnai dinding sosial Mbojo. Umumnya didominasi gugatan permintaan cerai dari istri itu karena tidak mendapatkan nafkah dari suami atau permasalahan ekonomi. Lainnya perselisihan dalam rumah-tangga, karena berbagai masalah dan termasuk masalah kekerasan dalam rumah-tangga (KDRT).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bima dan kita semua prihatin. Pasangan suami-istri (Pasutri) yang dulu diikat perjanjian amat kukuh (miszaghan ghaliza) itu kandas di meja Hakim. Mediasi memang dilakukan, ada yang berhasil dipersatukan kembali dalam biduk rumah-tangga. Namun, fakta sosial angka beberan PA Bima memang selalu menggoda mata. Apa yang seharusnya dilakukan untuk menekan fenomena rutin menyesakan dada ini? MUI Kota Bima meminta mengaktifkan Kursus Calon Pengantin sebagaimana yang diamanatkan aturan. Menguatkan kembali lembaga penasehat pernikahan dan penguatan proses mediasi pada semua jenjang.
Ya, pemahaman soal rumah-tangga sejatinya disadarkan kepada pasangan muda. Dalam konteks kekinian yang dibaluti perkembangan teknologi dan informasi, beragam tantangan dan godaan memasuki ruang keluarga. Ada yang mampu memfilter, namun sebagian lainnya jebol. Kesadaran berumah-tangga Islami memang perlu ditanamkan sejak dini oleh mereka yang ingin menikah atau belajar mandiri, pengajaran oleh lingkungan keluarga, dan pembinaan oleh Kantor Urusan Agama.
Saran MUI itu perlu ditindaklanjuti, karena sejatinya memasuki biduk rumah-tangga seseorang harus matang dalam keseluruhan sisinya. Idealnya kematangan agama, emosional, ekonomi, dan nilai tanggungjawab. Mereka yang nekat memasuki jenjang pernikahan hanya bermodalkan nekat, sesungguhnya “sedang berjudi” dengan alur waktu. Jangan-jangan masih ada yang gamang soal bagaimana etika “bergumul di ranjang” yang diajarkan agama. Bisa jadi, mereka yang meramaikan berkas gugatan di PA Bima itu adalah pasangan yang belum mencapai maqam kematangan yang diharapkan.
Nah, Kursus Calon Pengantin relevan dilakukan untuk memberi injeksi akhlak berumah-tangga sesuai tuntutan Islam. Seperti kata Ketua MUI, harus ada benteng kuat sebelum dan sesudah menikah agar mampu menepis ragam godaan yang menerpa. Mari berefleksi di titik ini. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.