ADA hal menarik dan menggugah yang disampaikan Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Sape Kabupaten Bima, Akbar, yang juga Pelaksana Tugas Kepala KUA Wawo, Senin lalu. Fenomena calon pasangan baru yang ingin menikah, masih banyak yang perlu disiapkan. Berdasarkan pengalamannya, sebagian dari mereka ‘demam panggung’ dan gagap saat prosesi akad nikah. Membaca syahadatain, baca Al-Quran, dan ijab qabul tidak meyakinkan. Gambaran gampangnya, masih payah! Dalam kondisi seperti itu, prosesi aqad nikah terpaksa ditunda beberapa hari. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan sang penganten dan keluarga besarnya.
Ya, Akbar mengungkap fakta yang sesungguhnya telah lama hadir di depan mata kita. Bahkan, mungkin telah melibatkan keluarga kita. Memang ada saja peristiwa akad nikah yang menjengkelkan. Penganten tidak lancar, bahkan tidak bisa mengaji, melafalkan syahadatain dan kalimat akad. Diulang berkali-kali hingga bersimbah peluh. Tidak jarang pula kerikuhan menyeryap calon mertua. Anda pernah mengikuti prosesi seperti itu kan?
Tampaknya, kondisi seperti ini lebih dari sekadar ‘demam panggung’. Ditengarai karena lahir dari aktivitas yang tidak dibiasakan sehari-hari. Harus dikatakan, masih ada sebagian pemuda yang melalaikan ibadah wajib dan membaca Al-Quran. Larut dalam kegaduhan urusan dunia yang tidak berujung itu. Padahal, fondasi keagamaan penting untuk modal utama membina rumah-tangga. Pada dua dekade sebelumnya, jika ada sepuluh pemuda Mbojo berbaris dan sambil menutup mata seseorang disuruh memilih, maka siapapun yang dipilih pasti bisa mengaji. Jika saja start awal sudah gagap mengucapkan perjanjian yang sangat kukuh (mitsaqan ghaliza) itu, maka dikuatirkan gambaran selanjutnya bisa buram. Faktor ini selayaknya menjadi perhatian bersama.
Fenomena yang disampaikan Akbar itu mengonfirmasi perlunya Kursus Calon Penganten/Pengantin sebagaimana yang digagas oleh pemerintah. Ya, ada semacam pelatihan singkat yang mengajarkan persiapan mengayuh biduk rumah-tangga, beserta dinamika kekinian yang menyertainya hingga upaya mengantisipasinya. Selain itu, menguji kemampuan mengaji dan memantapkan detail proses akad nikah. Nah, mengacu pada angka perceraian di Bima dan Dompu yang kian melejit, maka urgensinya semakin kuat. Semoga aspek ini menjadi bahan renungan ke depan oleh pengambil kebijakan.
Saat menikah itu tiba, jangan hanya membayangkan malam pertama dan ‘bulan madu di langit biru’ saja. Tetapi, bagaimana menyiapkan mental dan ruhani sebagai fondasi awal mengaruhi bahtera rumah-tangga. Bukankah akan sangat memalukan jika gagap saat prosesi akad nikah yang dihadiri ratusan orang? (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.