KITA dikejutkan lagi peristiwa bentrok antarwarga dua kampung. Lagi-lagi konflik antarkampung yang dipicu masalah penganiayaan. Kali ini muncul di Kecamatan Woha Kabupaten Bima, melibatkan kelompok warga Desa Dadibou dan Desa Risa. Senin (28/11) mereka bersitegang. Episode panas seperti ini sudah akrab di telinga kita. Ironisnya, memendam kuat dalam memori masyarakat luar daerah. Simbolisasi Zona Merah yang dibandrol pada Bima, satu di antaranya dikontribusi oleh peristiwa bentrok antarwarga ini.
Lagi-Lagi di arena konflik Dadibou-Risa itu penggunaan senjata tajam dan senjata api rakitan tidak terelakan. Warga dua desa gagah menenteng senjata tajam. Berkerumun di tengah persawahan, menanti sasarannya. Tampaknya sebagian warga sudah ‘membangun sistem pertahanan diri’ mereka melalui kepemilikan senjata berbahaya. Suatu fakta pahit dan berbahaya. Itu bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Kondisi ini menjadi tantangan aparat keamanan dan pihak yang berkaitan.
Ada satu referensi fakta yang patut diketengahkan soal bentrok antarwarga di wilayah Woha dan sekitarnya. Ketika ada pejabat baru Kapolres Bima Kabupaten hadir, hanya hitungan hari selalu muncul ketegangan dalam skala yang menguatirkan. Belum sepekan pulang kampung, Ajun Komisaris Besar Polisi M Eka Fathurrahman, SH, SIK, dihadapkan ketegangan kelompok warga Desa Dadibou dan Desa Risa. Pria berdarah Kecamatan Wawo itu langsung memimpin anggotanya di tengah sawah, memisahkan warga yang bertikai. Demikian juga sejumlah pejabat sebelumnya, selalu kejadian yang mengiringi. Tentu saja hanya kebetulan.
Hal yang menguatirkan adalah konflik itu melibatkan massa dan senjata. Dua sisi itu menjadikan ancamannya kian terbuka. Namun, kita patut bersyukur, edisi Senin (28/11) dan Selasa (29/11) siang, hanya ketegangan di perbatasan wilayah. Semoga bukan semacam pemanasan (warming up) dan unjuk kekuatan (show of force). Kita mengharapkan ketegangan ini segera berakhir, karena perdamaian antarwarga bertetangga itu sungguh indah. Sebaliknya, permusuhan hanya akan merumitkan semua dimensi kehidupan.
Pada konteks inilah, Kapolres Eka diharapkan mampu mengonsolidasi kembali warga dua desa ini untuk merajut kebersamaan. Memang ada saja masalah yang muncul, namun tuntutannya adalah bereaksi yang proporsional. Masalah yang melatarbelakanginya diserahkan saja penanganannya secara hukum.
Sebagai Dou Mbojo, tentu memiliki kapasitas dan pendekatan berbeda dengan pejabat luar daerah.
Kasus Dadibou-Risa adalah ujian perdana untuk mengetes kepiwaian Kapolres mengelola konflik sosial di kandangnya sendiri. Semacam ‘test the water’. Tentu saja Kapolres tidak bisa sendirian, harus dibantu secara berjamaah. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.