HINGGA kini, guratan duka masih menyelimuti wajah Kota Bima. Rabu (21/12/2016) dan Jumat (23/12/2016), banjir bandang menerjang meluluhlantakan rumah warga dan fasilitas lainnya. Daerah ini bak kota mati. Listrik mati, jaringan seluler hilang. Suatu kejadian yang memantik rasa keprihatinan bersama. Puluhan ribu warga kehilangan peralatan rumah, sebagian kecil hanyut. Nilai kerusakan tentu saja bakal melangit, karena dahsyatnya terjangan air bah. ‘Tsunami’ daratan yang mengincar nyawa.
Inilah musibah yang sejatinya harus menjadi titik balik kesadaran bersama. Setidaknya dalam dua dimensi krusial. Pertama, secara teknis-duniawi (horisontal), pemerintah harus memfokuskan lagi perhatian pada penguatan drainase, tanggul, dan dam untuk memastikannya mampu bertahan dari terjangan banjir. Pengerukan sedimentasi rutin harus dilakukan sebagai bentuk jaga-jaga. Masyarakat pun harus meningkatkan kesadaran, tidak membuang sampah pada sembarang tempat. Untung saja sekitar dua hari sebelum banjir Rabu (21/12/2016) Pemerintah Kota Bima mengeruk tumpukan sampah pada jembatan strategis. Setidaknya mengurangi kekuatan terjangan dan luapan. Pemerintah lebih intensif lagi mengampanyekannya. Poin pentingnya adalah jangan mengabaikan dan mengeksploitasi alam berlebihan. Harus ‘bersahabat’ dengan alam.
Dimensi kedua adalah religiusitas (vertikal). Bencana banjir tidak hanya sekadar faktor alam. Menurut kacamata Islam, setiap bencana adalah kehendak Allah yang diturunkan kepada hamba-Nya yang melanggar aturan dien atau bermaksiat. Seperti diungkapkan Direktur Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Ibnu ‘Abbas Klaten Jawa Tengah, Dr Mu’inudinillah Basri, MA. Katanya, air dan angin itu sejatinya tentara Allah. Pernah dikirimkan kepada orang-orang sebelum kita. Orang-orang yang melakukan kesalahan, kemaksiatan dan tidak mau melaksanakan aturan-aturan Allah.
Dalam surat Al-A’raf ayat 133, dinyatakan Allah mengirimkan bencana karena maksiat yang dilakukan hamba-Nya. “Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa. (Q.S. Al-A’raf: 133). Dalam ayat lain, masih kata Mu’inudinillah Basri, segala kerusakan di darat dan lautan adalah ulah manusia sendiri. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia… (Q.S. Ar-Rum: 41). Bencana tempatnya tidak terbatas dan memilih-milih pada orang-orang maksiat saja, tetapi juga bisa merata.
Mari kita berkaca pada ‘tsunami’ Kota Bima ini. Menelisik kembali apa yang perlu difokuskan, dipertajam, dan diimplementasikan secepatnya. Seberapa arif, seberapa bijaksana, dan seberapa seimbang alam ini kita kelola. Mari merenung dalam keheningan munajat. Dalam kerendahan hati dan pengakuan tulus kekhilafan. Mari bangkit menata kembali infrastruktur (daerah) dan kesadaran hati. Menengok sebentar, mengambil sedikit jeda nafas baru, lalu me-muhasabahi diri dalam kejernihan kontemplasi.
Banjir bandang ini sejatinya harus mampu ‘menyetrum’ dan mencambuk kesadaran ruhani masyarakat Kota Bima. Jika tidak atau dianggap biasa-biasa saja, maka sesungguhnya kita telah gagal mengambil hikmah dari musibah masal ini. Nah, bentuk kesadaran seperti apa yang muncul dari pribadi kita pascabencana ini? Mari kita bertanya pada diri sendiri. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.