Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini & Sudut Pandang

Karya Sastra Sebagai Cermin Kritik Sosial

Oleh: Eka Ilham.M.Si

“Karya sastra mengajarkan kita tentang bercermin diri, tidak ada yang tersakiti dan menyakiti karena sesungguhnya kita sedang mentertawakan diri kita sendiri untuk itu mari kita tertawa bersama-sama”. (Eka Ilham)

Pada dasarnya, karya sastra (sastra) merupakan kristalisasi nilai-nilai dari suatu masyarakat. Meskipun karya sastra yang baik pada umumnya tidak langsung menggambarkan atau memperjuangkan nilai-nilai tertentu, tetapi aspirasi masyarakat mau tidak mau tercermin dalam karya sastra tersebut.

Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari sosial-budaya dan kehidupan masyakarat yang digambarkannya. Karya sastra ditulis atau diciptakan oleh sastrawan bukan untuk dibaca sendiri, melainkan ada ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang disampaikan itu menjadi masukan, sehingga pembaca dapat mengambil kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan hidupnya.

Hal ini membuktikan, bahwa karya sastra dapat mengembangkan kebudayaan. Dengan kalimat lain, karya sastra selalu bermuatan sosial budaya. Hal itu terjadi, karena sastrawan juga mengalami pengaruh lingkungan dan zamannya dalam menciptakan karya. Damono mengatakan bahwa karya sastra adalah benda budaya; ia tidak jatuh dari langit, tetapi diciptakan manusia yang merupakan individu sekaligus bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakatnya.

Bradbury menjelaskan bahwa karya sastra pada dasarnya merupakan rangsangan bagi kebebasan yang ada dalam diri pembaca, karya sastra menyajikan kebebasan yang ingin diungkapkan oleh pembaca. Itulah sebabnya pada saat-saat tertentu masyarakat harus memberikan toleransi yang semakin besar terhadap karya sastra.

Karya sastra itu mendidik, memperluas pengetahuan tentang kehidupan, meningkatkan kepekaan perasaan, dan membangkitkan kesadaran pembaca.

Menurut Lukacs , sastra ditulis berdasarkan pandangan (gagasan) tertentu, itu sebabnya, ia mengeritik sastra modernis karena sastra ini berpura-pura tanpa pamrih, berpura-pura objektif terhadap masalah yang ada di dunia.

Tanpa pandangan tertentu, maka tidak mungkin dibedakan antara realitas yang dibuat-buat dengan realitas yang sungguh-sungguh penting. Hilangnya pandangan tertentu itu yang oleh Lucacs disebut humanisme sosialis. Menyebabkan sastra modernis dibebani dengan wawasan yang subjektif dan cenderung menerima pengalaman subjektif sebagai kenyataan. Sastra seperti itu akan menggambarkan manusia sebagai makhluk yang dikucilkan dari dirinya sendiri dan masyarakatnya.

Jelaslah, bahwa sastra semacam itu kehilangan hubungan dengan kehidupan sosial. Dari beberapa batasan sastra di atas terlihat bahwa sastra itu memiliki kepentingan terhadap kehidupan atau masyarakat. Walaupun sebenarnya sangat sulit bagi sastrawan untuk menggambarkan realitas yang sungguh-sungguh, karena di dalam penciptaan sastra ada imajinasi, ada pengalaman yang sangat subjektif sifatnya, dan ada kesan yang ingin diwujudkan oleh sang sastrawan.

Untuk itu, barangkali yang dikehendaki ialah agar karya sastra mengandung pesan tentang kehidupan dan masyarakat tertentu. Melihat perkembangan sastra Indonesia, banyak karya-karya yang dihasilkan oleh pengarang pada zamannya dengan mengangkat tema dari realitas kehidupan sosial di jamannya masing-masing. Karya sastra merupakan pengalaman langsung pengarang yang dituangkan kedalam karya sastranya.

Pengalaman berdasarkan realitas kehidupam pengarang, mencoba membagi kepada masyarakat umum tentang realita yang terjadi. Sastra di dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dipisahkan lagi. Kehidupan masyarakat dengan berbagai polemik yang terjadi saat ini tidak menutup kemungkinan untuk dituangkan kedalam karya-karya sastra sehingga menjadi cerminan masyarakat itu sendiri.

Penciptaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan proses imajinasi pengarang dalam melakukan proses kreatifnya. Bahwa karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya. Akan tetapi karya sastra tidak hadir dalam kekosongan budaya.

Herder menjelaskan bahwa karya sastra dipengaruhi oleh lingkungannya maka karya sastra merupakan ekspresi zamannya sendiri sehingga ada hubungan sebab akibat antara karya sastra dengan situasi sosial tempat dilahirkannya. karya sastra bisa merubah tatanan nilai-nilai sosial dan Budaya dalam masyarakat yang dianggap tidak memberi kebebasan untuk manusia.

Contohnya karya novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Sampai kepada karya-karya N. Riantiarno.Karya sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Endraswara mengatakan reaksi atau tanggapan dapat bersifat positif atau negatif reaksi akan bersifat positif apabila pembaca memberikan tindakan dan sikap pada karya sastra dengan perasaan senang, bangga, dan sebagainya. Reaksi yang bersifat negatif tidak akan mendapatkan tanggapan sikap yang membangun bagi perkembangan karya sastra.

Karya sastra memiliki objek yang berdiri sendiri, terikat oleh dunia dalam kata yang diciptakan pengarang berdasarkan realitas sosial dan pengalaman pengarang. karya sastra secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman dari lingkungan pengarang. Sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak akan lepas dari tatanan masyarakat dan kebudayaan. Semua itu berpengaruh dalam proses penciptaan karya sastra.

Sebuah karya sastra lahir dari latar belakang dan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. Sebuah karya sastra dipersepsikan sebagai ungkapan realitas kehidupan Masyarakat yang ingin maju akan menerima karya sastra sebagai bentuk kritikan yang membangun terhadap nilai-nilai sosial yang mengekang dan sebagai batu loncatan menuju tatanan nilai kehidupan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. 1999. Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Jakarta:Pustaka Firdaus. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Di Indonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Penulis adalah Ketum Serikat Guru Indonesia (SGI) Bima -Penulis Buku Kesaksian Puisi “Guru Itu Melawan”

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Pendidikan

Bima, Bimakini.- Gerakan literasi “Sastra Goes To School”, Senin (7/2/2022), berlangsung di SDN belo, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima. Kegiatan literasi ini juga sekaligus membagikan...

Opini

Oleh: Eka Ilham, M.Si Akhir-akhir ini kurikulum prototipe menjadi perbincangan hangat dalam dunia pendidikan. Kurikulum prototipe adalah kurikulum pilihan (opsi) yang dapat diadaptasi dalam...

Opini

Oleh: Eka Ilham, M.Si Sekolah belum memberi rasa aman bagi guru, baru saja kita memperingati Hari Guru Nasional (HGN) Tahun 2021 dengan gegap gempita...

Opini

Oleh: Eka Ilham, M.Si (Sebuah catatan kecil guru-guru sukarela di daerah terpencil, menceritakan kisah duka dan dinamika Seorang Guru Sukarela Pak Amiruddin.S.Pd di Desa...

Opini

Oleh: Eka Ilham, M.Si Merdeka atau mati?”, sangat sesuai dengan kondisi Republik hari ini, Pandemi Covid-19 belum berakhir.  Suara pekikan menjelang hari kemerdekaan Indonesia ...