Connect with us

Ketik yang Anda cari

Dari Redaksi

Kearifan Guru

 

dok ilustrasi suaradesa.com

ADA satu kasus menggelitik yang muncul di Kecamatan Donggo Kabupaten Bima, tengah pekan lalu. Oknum Guru Bimbingan Konseling (BK) SMAN1 Donggo memukul siswa setempat. Ironisnya saat Ujian Sekolah berlangsung. Di dalam kelas, di depan  puluhan pasang mata teman-temannya. Pemicunya masalah ayam berikut intonasi bahasa siswa ketika menjawab pertanyaan. Setidaknya itulah versi pihak sekolah dan klaim guru tersebut. Kasus  itu dilaporkan ke Polres Bima itu, namun  telah diselesaikan secara kekeluargaan. Plus oknum guru sudah meminta maaf kepada keluarga siswa. Namun, tetap saja ada aspek yang perlu dikritisi bersama.

Kasus pemukulan oleh guru terhadap siswa di sekolah, sejatinya dihindari. Insiden dipicu siswa tidak membawa ayam itu patut disesalkan, karena melibatkan sosok yang digugu dan ditiru. Apalagi, ketika menyasar wilayah sensitif seperti muka. Hal seperti inilah yang kerap memicu reaksi balik pihak keluarga hingga meramaikan suasana sekolah. Namun, syukurlah ada penyelesaian cepat dari pihak sekolah.

Catatan yang perlu digarisbawahi adalah guru harus lebih arif memahami siswa. Melayangkan tangan kepada siswa dan mengeksekusinya di depan teman-temannya  merupakan tindakan yang tidak arif, jauh dari  bijak, jelas kurang berseiringan  dengan semangat mendidik. Bangunan psikologis siswa jelas runtuh, karena sikap emosinal yang tidak terkontrol rapi. Selain itu, hal-hal yang berkaitan dengan hadiah atau pemberian yang berhubungan dengan tradisi sekalipun, tidak sepatutnya ditanyakan di ruangan saat ada prosesi selevel Ujian Sekolah.  Ada ruang dan waktu tersendiri yang bisa “ditagih” kepada siswa soal ayam yang katanya masih tidur di atas pohon sehingga sulit ditangkap itu. Bagi publik, membaca kasus itu menggelikan karena ada yang kepepet menguber ayam saat prosesi penting ujian seperti itu. Semoga tidak terulang!

Kenang-kenangan untuk guru yang diberikan siswa, memang berbeda setiap wilayah. Untuk kasus SMAN 1 Donggo itu berupa ayam, diklaim  merupakan kekayaan dan kearifan lokal setempat. Namun, menjadi runtuh ketika berbuah kasus bertopik penempelengan siswa. Untungnya tidak ada reaksi berlebihan dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Kita berharap kasus memalukan seperti itu tidak muncul lagi, karena merusak citra guru dan tidak selayaknya menjadi konsumsi publik. Nilai kearifan lokal akan menjadi paripurna dalam aplikasinya, ketika ekspresi dan eksekusinya juga mendasarkannya pada kearifan sang guru. Menampar siswa karena “tagihan barang” tidak ada di depan mata dan di ruangan kelas, jelas jauh dari kearifan. Setidaknya itu pandangan sebagian orang menyimak kejadian itu. Lepas dari sisi intonasi dan aksen yang terdengar saat itu. Bagaimana pandangan Anda?  (*)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait