Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Ketika “Ibu Berlinang di Kota Bukit”

Oleh : Muhajirin

Kehidupan dimulai di suatu bukit. Di sana tersedia mata air yang bening dan bersih. Banyak bukit yang menjulang, sehingga membentuk beberapa sungai yang mengalir hingga ke laut. Sungai yang memiliki bantaran sekitar 10-20 meter. Sungai-sungai tersebut cukup lama bertahan dengan aliran yang relatif deras sepanjang hutan pendukung resapan air terjaga.

Diperkirakan, pada kehidupan awal, para penghuni bukit berkehidupan cukup makmur.  Di mana alam masih mampu menyediakan kebutuhan pokok umat manusia. Hutan memiliki berbagai jenis pohon dan tanaman yang bisa dikonsumsi buah dan daunnya.

Sementara itu, sungai menyediakan berbagai jenis ikan air tawar. Selain itu, ada berbagai jenis hewan liar yang bisa diburu. Pola hidup masa awal ini, masih berpindah-pindah (Nomaden). Hal itu dilakukan untuk mencari lokasi yang tersedia sumber makanan baru setelah habis atau berkurangnya sumber makanan di tempat yang mula.

Pola kehidupan mengumpulkan makanan berubah setelah ditemukan sistim bertani dan berternak secara alami, seiring bertambahnya jumlah warga bukit.

Pemukiman semakin meluas, terutama di sekitar bantaran sungai. Babak ini ditandai dengan eksploitasi alam.  Kebutuhan akan tanah meningkat, baik untuk pertanian maupun pemukiman. Dengan sendirinya, hutan juga mulai dijamah dengan penebangan kayu untuk kebutuhan bahan bangunan rumah.

Semakin lama, jumlah warga bukit bertambah banyak, kebutuhan pun meningkat, dan eksploitasi alam semakin menjadi. Kemudian babak baru pun dimulai lagi, yaitu persaingan (competision) dan kerja sama (coorporation) antara sesama umat manusia. Hubungan sosial budaya terbangun, nilai kemanusiaan dikenal, kepercayaan terlembagakan, dan sistim politik dirancang dengan aturan-aturan yang disepakati.

Sistim dan nilai-nilai tersebut dianut dan dipertahankan dalam waktu yang cukup lama sehingga terbangun pranata-pranata sosial yang dianut secara turun temurun.

Itu lah sebagian proses kehidupan yang dilalui oleh warga bukit hingga saat ini. Kemudian nama bukit dikukuhkan dalam sistim sosial budaya warga bukit sendiri, yaitu BABUJU sesuai dengan bahasa lokal dan selanjutnya lebih dikenal dengan nama MBOJO.

Nama babuju masih terus dipakai selama kepemiminan para Ncuhi dan mulai bergeser secara pelan-pelan setelah mengenal sistim kerajaan, kesultanan, dan sistim pemerintahan modern hingga sekarang.

Kata Mbojo sekarang lebih dikenal sebagai nama bahasa dan suku, sedangkan Bima dikenal sebagai nama administrasi pemerintahan daerah Kota dan Kabupaten.

Ada perbedaan yang mencolok antara sistim ncuhi, kerajaan, kesultanan, dan sistim pemerintahan modern. Perbedaan itu terutama dapat dinilai dari tiga unsur pokok, yakni tingkat legitimasi, dukungan publik dan perannya mewujudkan cita-cita bersama.

Pada masa Ncuhi, ketiga unsur itu terwujud dengan hampir sempurna karena untuk menjadi seorang Ncuhi harus memeiliki syarat wajib, yaitu seorang yang memliki kesaktian yang paling tinggi, memiliki sifat bijak dan pengetahuan yang luas. Setelah memenuhi syarat itu dan terpilih menjadi Ncuhi, maka dengan sendirinya publik mendukung sepenuhnya, baik yang berkaitan dengan keabsahan statusnya sebagai pemimpin, maupun dukungan dalam mewujudkan cita-cita bersama. Kemudian untuk mewujudkan cita-cita bersama, publik menaati perintah Ncuhi dan membantu menjalankan  perintah dan menjauhi larangannya. Diantara contoh ketaatan kepada perintah Ncuhi adalah tidak sembarang merambah hutan karena hutan dianggap bertuah, dan kalau dilanggar akan menimbulkan bencana. Jadi dukungan publik terbentuk juga melalui sitem kepercayaan mereka. Masyarakat pada saat itu, masih menganut kepercayaan pada Makakamba (Animisme) dan Makakimbi (Dinamisme). Selain itu, dukungan publik adalah sifat gotong royong yang sangat solid.

Keunikan Ncuhi yang lain adalah perbedaan di antara ncuhi hanya karena beda wilayah sedangkan suku dan bahasanya masih sama, sehingga untuk menyatukan mereka cukup dengan satu pertemuan (Mbolo ro Ndampa) saja maka persatuan, pembagian kekuasaan, dan pemilihan pemimpin dapat dilaksanakan dengan baik.  Mbolo ro Ndampa yang paling besar adalah Mbolo ro Ndampa yang diprakarsai oleh salah satu Ncuhi, yakni Ncuhi Dara.  Di sini, pembagian kekuasaan dan pemilihan pemimpin dapat dilaksanakan dengan baik.

Mbolo ro Ndampa, menghasilkan keputusan diangkatnya Ncuhi Dara menjadi pemimpin seluruh Ncuhi. Ncuhi Parewa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Selatan (Kematan Woha, Belo dan Monta Sekarang), Ncuhi Bangga Pupa diangkat menjadi pemimpin wilayah Utara (Kecamatan Wera dan Ambalawi Sekarang), Ncuhi Bolo diangkat menjadi pemimpin di wilayah Barat (Kecamatan Bolo, Donggo dan Soromandi Sekarang), dan Ncuhi Doro Woni diangkat menjadi pemimpin wilayah Timur (Kecamatan Wawo, Sape dan Lambu sekarang).

Sedangakan sistim kerajaan dalam mewujudkan ketiga unsur tersebut sedikit berbeda dengan sistim Ncuhi. Walaupun pada awalnya raja dipilih dan ditetapkan dalam sidang Ncuhi tetapi kepemimpinan selanjutnya sudah menganut sistim dinasti. Agama yang dianut juga sudah bukan hanya Makakamba dan Makakimbi tetapi sudah ada pengaruh agama dari Jawa, yakni Hindu dan Budha. Hal itu terjadi karena sistim kerajaan sendiri bukan sistim pemerintahan asli Indonesia tetapi merupakan pengaruh dari India.

Sementara, India sendiri menganut agama Hindu dan Budha. Dalam hal dukungan publik dan mewujudkan cita-cita bersama masih belum bergeser jauh dari sistim Ncuhi karena sang raja selain merupakan penguasa politik juga memiliki kekuatan magis. Sistim keyakinan Hindu dan Budha memungkinkan setidaknya mendukung kea rah keyakinan asli bangsa babuju.

Pada masa kesultanan semestinya telah meninggalkan sistim keyakinan yang bersandar pada kekuatan roh nenek moyang dan kekuatan magis alam karena kesultanan merupakan sistim pemerintahan Islam. Faktamya, ternyata tidak demikian karena Islam adalah agama cosmopolitan. Artinya, walaupun menganut keyakinan monoteisme, akan tetapi dapat beradaptasi dengan budaya local dengan syarat tidak bertentangan dengan keyakinan dasar, yakni meng-Esakan Tuhan. Dengan demikian, kehidupan masyarakat tetap bisa berdampingan sangat baik meski berbeda keyakinan.

Demikian juga terhadap alam, bangsa Babuju yang menganut Islam masih mampu menjaga hubungan yang baik dengan alam, sehingga alam pun membalasnya dengan tetap ramah dengan manusia.

Keselarasan hubungan manusia dengan manusia yang lain dan dengan alam yang terjaga sepanjang sejarah bangsa Babuju hingga jaman kesultanan. Hal itu masih terjaga hingga masa awal pemerintahan modern. Sayangnya, tidak bertahan lama karena jumlah manusia yang meningkat tajam, di temukannya berbagai teknologi modern dan keserakahan sebagian  manusia.

Alam dijadikan objek eksploitasi dengan dalih kemajuan, padahal keberlanjutan alam adalah hal yang paling fital agar semua manusia bisa menikmati hidup secara merata dan adil. Bahkan yang paling fatal, kelalaian manusia terhadap alam menjadi bahaya yang sulit diatasi karena alam juga memiliki keterbatasan untuk sabar dan ramah terhadap manusia.

Wajar, karena manusia tidak memperbaiki sifat kejinya terhadap alam. Alam, ternyata mampu membalas perilaku manusia dengan berbagai bencana, seperti banjir, kekeringan (paceklik, kelangkaan air bersih dan minimnya air untuk irigasi), dan musim yang tidak menentu (elnino dan lanina).  Dampak lanjutanya adalah, kemiskinan, pengangguran merajalela, angka kriminalitas meningkat, dan dekadensi moral.

Bencana banjir di negeri Babuju beberapa waktu yang lalu mestinya menjadi pelajaran yang berharga untuk segera memperbaiki hubungan yang baik dengan alam. Tepat di hari ibu, bencana itu memporak-porandakan berbagai bangunan dan harta benda milik anak negeri Babuju.  Ibu peritiwi babuju pasti sudah sampai pada batas kesabarannya, sehingga terpaksa murka sambil menangis. Air matanya, menghanyutkan sebagian pekarangan Babuju. Dan kita, sebagai anak juga menangis dengan penuh penyesalan. Namun, penyesalan kita tidak boleh berhenti pada tangisan semata, melainkan memperbaiki perilaku agar ibu kita senang dan kembali memperoleh kasih sayangnya. Dengan demikian, kita bisa merayakan hari ibu dengan dengan penuh bahagia. (*)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Advertisement

Berita Terkait

Pemerintahan

Kota Bima, Bimakini.- Kasubdin Inventarisasi Kerusakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),  Nurgroho Retno, menegaskan, dana penanggulangan bencana pasca-banjir bandang di Kota Bima dan Kabupaten...

Pemerintahan

Kota Bima, Bimakini.- Wali Kota Bima, HM Qurais H Abidin, menjadi pembicara utama dalam kegiatan Workshop Membangun Ketangguhan Bencana di Hotel Aston Inn, Mataram, Rabu...

Peristiwa

Kota Bima, Bimakini.- Puluhan massa mengatasnamakan Organisasi Pemuda Kreatif (OKP) dengan Serikat Persatuan Anak Rabadompu Timur Afresif (Sparta) Kota Bima menuntut perbaikan rumah korban...

Ekonomi

Kota Bima, Bimakini.- Bagaimana kondisi areal pertanian di Kota Bima pascamusibah banjir Minggu (26/03) sore lalu? Berdasarkan data yang dilansir Pemerintah Kota (Pemkot) Bima,...

Pemerintahan

Kota Bima, Bimakini.- Pemerintah Kota (Pemkot) Bima melaporkan tahapan penanganan banjir edisi Minggu (26/03) sore lalu. Penanganan itu merupakan tahapan telah dilakukan pemerintah selama...