MASIH berkaitan dengan kondisi banjir, sejumlah elemen menguatirkan maraknya kasus pembalakan hutan (illegal loging). Rangkaian banjir yang kini rutin dan setia menyergap Dana Mbojo dituding karena kerusakan hutan dan pegunungan. Sisi hulunya telah diobok-obok oleh oknum warga. Ketidakperawanan kondisi itulah, sebagiannya diekspresikan oleh ‘si coklat tua’ yang merendam permukiman dan lahan pertanian. Tentu saja harus segera ada tindakan nyata. Harus dimulai agar tidak terus dibekap bencana. Nah, dalam posisi kegelisahan itulah Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Bima menyuarakan aspirasinya di jalanan, Rabu (29/03) lalu.
Ya, dalam pembacaan Mapala Bima permintaan kebutuhan kayu relatif tinggi, tidak berbanding lurus persediaannya. Akibatnya, memicu illegal loging di wilayah hutan lindung dan hutan konservasi. Kondisi menguatirkan ini mesti diimbangi penegakkan hukum yang lebih tegas. Pengawasan melekat bagi mereka yang nekat membabat hutan dan merusak lingkungan. Lalu fokus mengincar para pemain, bukan pengangkut kayu dan kendaraannya.
Aspirasi Mapala Bima adalah suara umum publik Mbojo saat ini. Sudah lama semangat pelestarian hutan dan pegunungan digaungkan oleh pemerintah dan masyarakat yang peduli. Kepedulian kita hari ini akan menjadi tabungan kondisi bagi generasi masa depan. Saatnya menggelorakan lagi budaya menanam. Kewajiban bagi pengantin baru agar menanam sejumlah pohon pada lokasi tertentu, dibudayakan lagi. Todak hanya berhenti pada peraturan dan imbauan. Saatnya bersama menjaga hutan dan pegunungan dari tangan-tangan jahil.
Permasalahan lingkungan ini selayaknya menjadi topik hangat yang dibicaran di meja birokrasi, bilik legislatif, dan teman sepeminum kopi. Bahkan, selayaknya didukung oleh para ulama melalui referensi syariat yang mengharuskan menjaga lingkungan. Saatnya pula kita menyorongkan pandangan ke arah hutan dan pegunungan agar tidak bopeng. Jangan sampai kekokohan pegunungan yang mengelilingi Dana Mbojo malah menyimpan “stok bencana” yang setiap saat bisa menyergap seiring derasnya banjir.
Terjangan banjir dalam sejumlah edisi terakhir sudah cukup meyakinkan dan membuka kesadaran kolektif perlunya bersahabat dengan alam. Alam adalah kehidupan kita. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.