Connect with us

Ketik yang Anda cari

Dari Redaksi

Ada Apa dengan Woha?

 

Foto Herman: Blokade jalan dibuka paksa oleh aparat keamanan.

MASYARAKAT Dana Mbojo kembali disuguhi bentrok antarkampung yang  melibatkan kelompok warga Desa Penapali dan Desa Dadibou. Setelah dinamika kejadian berkembang, malah meluas hingga ke desa lainnya di Kecamatan Woha. Ketegangan pun terjadi di Desa Talabiu. Sejumlah pihak menyayangkannya. Korban warga sipil berjatuhan terkena peluru karet. Aparat pun ‘tumbang’ terkena panah. Jumat (26/05) siang hingga Sabtu (27/05) sore, ruas jalan negara ditutup. Mobilitas masyakarat umum terhambat. Antrean memanjang. Pengguna jalan kecewa berat. Insiden yang melibatkan bantuan Brimob, TNI, dan Kapolda NTB itu pun menjadi pembicaraan hangat. Sayang, aromanya dalam sentimen negatif.

Jika ditarik memori kita ke belakang, sesungguhnya peristiwa seperti itu bukan hal baru dan mengejutkan di Woha. Sudah sedemikian akrab di telinga publik. Namun, kali ini terasa berbeda dan maaf, memalukan! Terjadi di ujung lintasan Rajab atau menyambut Ramadan 1438 Hijriyah. Syakban dan Rajab yang sejatinya media untuk menempa nafsu untuk memasuki Ramadan, justru jebol di pintu awal. Kekecewaan publik dapat disimak dari hiruk-pikuk tanggapan pada media sosial.

Ya, kita pantas prihatin! Ada apa dengan saudara kita di Woha? Mengapa insiden yang tampaknya hanya sepele, namun berubah menjadi heroik dan masal. Kerapkali ruas jalan menjadi incaran untuk mengekspresikan kemarahan. Sampai kapan ini terjadi dan dijadikan ‘budaya’? Emosi sumbu pendek yang masih mendominasi tindakan masyarakat seperti itu dapat merugikan dalam jangka panjang. Tidak hanya dari sisi citra Mbojo dalam konstelasi keamanan nasional, tetapi juga dalam pembangunan dan kepariwisataan. Sisi yang paling kentara adalah ketiadaan penghormatan terhadap kehadiran Ramadan. Seolah nilai agama tidak hadir dalam kesiapan menyambutnya.

Sekali lagi, apa yang terjadi tidaklah berdiri sendiri. Woha kini dalam pusaran strategis Kabupaten Bima, karena 5 Juli nanti aktivitas ke-ibukota-an akan terpusat di situ. Gambaran dari rangkaian kejadian ini menebalkan persepsi psikologis publik bahwa masyarakat Woha, khususnya bagian Barat. belumlah siap menjadi ‘tuan rumah yang ramah’. Belumlah sepenuhnya siap menerjemahkan konsepsi visi Bima RAMAH. Insiden Jumat siang di ujung pintu Ramadan itu, diakui atau tidak, hanya memunculkan pesan dan kesan kuat bahwa ada kendala psiko-sosial yang memerlukan recovery. Ironisnya, tidak bisa secepat membalikan telapak tangan.

Hal yang pasti, jika warga Woha masih berkutat dalam belitan konflik antarkampung seperti suguhan akhir pekan lalu, maka sangat merugikan dalam semua dimensi. Pencitraan wilayah dan daerah anjlok. Percepatan pembangunan menjadi jargon klise. Disharmoni sosial. Satu di antara imbasnya hanya memroduksi pesan simbolik negatif: Bima MARAH! (*)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait