Ada penggalan pernyataan menarik yang disampaikan Wakil Bupati (Wabup) Bima, H Dahlan, saat pertemuan di Bima Tirta, Selasa (25/07/2017) lalu. Dahlan menyampaikan pandangannya mengenai kondisi kekinian Bima. Persepsi orang luar mengenai Bima tidaklah seburuk yang dipikirkan. Bima itu daerah bagus. Jika konflik yang menjadi item sorotan, tidaklah berlangsung lama, meski tetap menjadi masalah bagi daerah. Pandangan Dahlan itu disampaikannya saat dialog bertema “Terwujudnya Sinergitas Antar-Lembaga dan Organisasi Non-Pemerintah Menuju Pembangunan Kabupaten Bima RAMAH”.
Sepanjang 2017 ini, kita disuguhi aneka konflik sosial dalam beragam modus dan motifnya. Korban dari warga yang berkonflik berjatuhan, aparat pun ada yang terkapar karena senjata api rakitan dan anak panah. Sebenarnya, konflik antarmanusia atau antarkelompok, sama tuanya dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri. Hanya saja, locus delicti Dana Mbojo memang menawarkan kekhasan. Kerap dipicu masalah sepele dan terekspresi melalui pemblokiran jalan negara, bahkan hingga berhari-hari. Memblokade jalan negara inilah yang memberi muatan berat pada dimensi konflik ‘production house’ Mbojo di level regional dan nasional, khususnya ‘trade mark’ wilayah Kecamatan Woha dan sekitarnya.
Persepsi atau kesan orang luar daerah soal Bima memang bisa merugikan dalam banyak hal. Namun, itulah konsekuensi logis dari dinamika (emosional) sosial yang tersorong pada sentimen negatif. Sebagian kelompok masyarakat kita memang ‘bersumbu pendek’ dan meledak-ledak. Warna psikologi yang diharapkan segera bermetamorfosa. Kita berharap ada kesadaran di titik ini. Jika muncul secara bertahap, maka titik baliknya akan mulai menepis citra negatif dan membangun kepercayaan.
Wabup Bima benar, dibutuhkan kesamaan persepsi agar tidak timbul konflik di tengah masyarakat. Apalagi menyorong Bima RAMAH dalam sasaran pencapaiannya. Kematangan konsepsi membangun dari eksekutif dan legislatif tidaklah efektif jika tanpa partisipasi publik. Setidaknya, mengondisikan suasana aman dan nyaman pada posisi tinggal masing-masing. Dalam kondisi gangguan Kamtibmas, tidak ada yang maksimal bisa dilakukan. Semua serbatanggung.
Ke depan tugas besar kita adalah bagaimana memantik kesadaran baru dan semangat reflektif bahwa masa depan Bima itu tanggung jawab bersama. Harus ada gerakan simultan yang memberi pesan simbolik bahwa masyarakat Bima telah belajar dari emosi sumbu pendek yang bermuara pada konflik berjamaah dan blokade jalanan. Ya, kita memulai dari lingkungan masing-masing. Jika tidak, gambaran Bima kita ini tidak akan pernah keluar dari zona kenyamanannya (comfort zone) yang dipersepsikan orang. Zona Merah! (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.