Connect with us

Ketik yang Anda cari

Dari Redaksi

Pecah Kongsi

Dok terasjatim.com

ADA satu sudut pemberitaan yang sedikit menghentak suasana daerah pada Senin (17/07/2017) lalu. Wakil Bupati Bima, H Dahlan, menepis isu yang ditanyakan awak media seputar ‘kondisi kesehatan’ hubungan kerjanya dengan  Bupati Hj Indah Dhamayanti Putri. Dahlan pun memastikan bahwa isu itu sesat, karena semuanya terlihat harmonis saja. Seperti kata Wabup, mereka masih dalam satu visi-misi dalam membangun daerah. Masih satu perahu!

Kita berharap pengakuan kondisi hubungan mereka memang demikian adanya. Sejatinya, mereka suatu kesatuan utuh. Visi, misi, dan program yang dijanjikan pada saat kampanye menjadi amanah penting dan wajib dipertanggungjawabkan dalam masa kepemimpinan. Masyarakat Kabupaten Bima setia menunggunya. Jika tidak ada kesatuan pemahaman dalam mengebrak pembangunan daerah, maka sangat merugikan. Dalam mengurai beragam tantangan pembangunan, kebersamaaan dan menjaga komitmen adalah satu di antara modalnya.

Lepas dari konteks isu lokal Bima itu, dalam jagat politik Indonesia, secara empiris memang bisa dilacak bagaimana pola hubungan antara Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali dan Wakil Wali Kota atau Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pecah kongsi kerap terjadi. Bahkan, malah menjadi aneh terdengar jika kompak hingga akhir, apalagi maju berkompetisi bersama lagi.

Mereka memang seiring sejalan saat kompetisi Pilkada. Satu tahun pertama masa penyesuaian diri bersama lingkungan.  Tahun kedua mulai menemukan celah yang bisa dikreasi. Kemudian, tahun ketiga mulai menemukan ritme, lalu mengebrak pada tahun  berikutnya. Tahun terakhir mulai berkonsentrasi lagi menyusun strategi berkuasa.  Biasanya friksinya terlihat biasa-biasa saja di permukaan, namun secara ke dalam kian mengerucut. Mereka larut dalam kepentingan masing-masing, apalagi jika dari partai pendukung berbeda dan berkeinginan maju kompetisi lagi.

Ada yang menganalisis, fenomena pecah kongsi itu menunjukkan belum terjadi perubahan paradigma politik,  hanya berputar pada soal kekuasaan belaka. Kian menegaskan persepsi bahwa  politik ala demokrasi itu paradigmanya “tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”. Maksudnya, siapa menjadi kawan dan siapa menjadi lawan, ditentukan oleh ada tidaknya pertemuan kepentingan. Fakta pecah kongsi juga menunjukkan bahwa dalam pragmatisme memang masih menjadi ideologi politisi. Tolok ukur yang dipakai adalah manfaat. Apapun akan dilakukan, yang penting bisa merealisasi manfaat atau bisa mendatangkan keuntungan.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Jika pragmatisme itu menjadi ideologi penguasa, kekuasaan  tidak dijadikan jalan pengabdian untuk kemaslahatan rakyat. Tetapi merealisasi kepentingannya sendiri, kelompok, donatur,  pemodal, dan partai. Dalam konteks itu, kepentingan rakyat hanya dijadikan alat, kedok, dan justifikasi untuk membuat program. (*)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait