Connect with us

Ketik yang Anda cari

Dari Redaksi

Provokasi Salmah

Dok kicknewstoday

ADA insiden sesaat yang terjadi  di Desa Donggobolo Kecamatan Woha Kabupaten Bima, Sabtu (08/07) sore. Seorang Ibu muda memblokir jalan setelah anaknya  babak-belur dihajar beberapa remaja desa lain. Akibatnya, wajah dan bagian tubuh remaja itu   terluka. Namun, gambaran penganiayaan seperti itu sudahlah lazim di Woha. Sisi yang mengejutkan  adalah  sang Ibu, Salmah, marah. Dia nekat menutup ruas jalan di depannya rumahnya.  Dampaknya jelas, arus lalulintas jalan lintas Donggobolo-Risa sempat macet. Pemicunya karena aparat Kepolisian dinilai lamban menangkap pelakunya.

Untungnya hanya beberapa menit saja, karena hati sang Ibu luluh setelah ‘dirayu’. Syukurlah eskalasi insiden antarremaja itu tidak meluas. Cepat dilokalisasi dan didekati secara persuasif. Insiden yang merupakan urusan dua orang, seketika berubah menyeret publik karena penutupan ruas jalan. Untung saja tidak ada konsentrasi pihak keluarga yang mendatangi terduga pelaku. Kesigapan aparat dan tokoh masyarakat mesti diapresiasi.  Memang perasaan seorang Ibu akan hancur ketika melihat anak terluka. Namun, memblokir jalan jelas bukan solusi dalam konteks hukum.  

Apa yang terjadi di Donggobolo itu adalah gambaran dari kondisi sebagian kelompok masyarakat selama ini. Sudah berapa kali aksi pemblokiran jalan mewarnai panggung Dana Mbojo. Bahkan, memacetkan arus lalu lintas hingga berjam-jam. Belasan penumpang pun pernah gagal take off karena ketinggalan pesawat karena akses jalan ditutup paksa.

Ya, aksi Ibu Salmah adalah contoh bagaimana ekspresi hati wanita ketika anak dalam masalah. Namun, artikulasinya kurang tepat. Kontraproduktif bagi Kamtibmas. Ibu Salmah ‘masih bernostalgia insiden masa lalu yang sudah ditaubati oleh masyarakat setempat’. Jika ada persoalan seperti itu, maka reaksi tidak boleh lagi menutup ruas jalan. Bisa diancam penjara, seperti diisyaratkan Kapolda NTB. Hal yang selayaknya dicermati adalah Salmah masih terbungkus ‘pola lama’ yang telanjur dibiasakan oleh masyarakat setempat.

Aksi Salmah bukan contoh positif, seberapa pun dalil rasa sayangnya kepada sang anak. Menuntut percepatan penangkapan terduga pelaku melalui blokir ruas jalan malah menambah derajat masalah. Menumbuhkan embrio masalah baru. Aksi seperti itu bisa memrovokasi suasana riuh. Apalagi, dalam tipologi komunitas yang masih beremosi sumbu pendek. Dalam sejumlah catatan, sudah seringkali jalan negara dan daerah di wilayah Woha terblokir pascainsiden yang menimpa oknum warga pada berbagai bentuknya. Kelompok masyarakat menyandera jalanan untuk menekan sasaran yang didesaknya.

Pertanyaan kritisnya adalah apakah aksi spontanitas Salmah masih melekat dan mewakili suasana kebatinan masyarakat Donggobolo dan sekitarnya saat ini? Ah, semoga saja tidak. Semoga Salmah hanya pemain terakhir. Beban perjalanan sosial daerah ini ke depan pun akan tersandera jika para pemain masih ngotot menghadang jalanan. (*)

 

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Advertisement

Berita Terkait