Bima, Bimakini.- Sejarah kelam bangsa Indonesia dari pengkhianatan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) tidak bisa dilupakan. Panglima TNI menginstruksikan Nonton Bareng (Nobar) film gerakan bawah tanah yang menculik dan lalu membunuh 7 Jenderal TNI AD di Jakarta. Di Desa Donggobolo Kecamatan Woha, Nobar digelar Sabtu (29/09/2017) malam. Seperti suasana dan bagaimana reaksi penonton?
Sabtu malam, gelaran Nobar film G30S/PKI tidak hanya di Desa Donggobolo Kecamatan Woha. Di Desa Nae Kecamatan Sape pun demikian. Di lapangan Serasuba, warga Kota Bima memenuhi arena demi melihat film berdurasi sekitar 4 jam yang sedang booming itu. Mereka bersama anggota keluarga. Menikmati sejarah masa lalu untuk dijadikan media kewaspadaan terhadap bangkitnya ideologi komunis.
Di Donggobolo, pemutaran film digelar pemuda setempat bekerja sama dengan Pemerintah Desa. Tujuannya memberikan pelajaran sejarah terhadap masyarakat, mulai tingkat anak-anak hingga kaum tua. Nobar film sejarah pertama kali digelar itu dipadati dan siapresiasi lapisan masyarakat.
Pemutaran film dimulai pukul 20.00 WITA. Anak-anak usia pelajar lebih awal memadati lokasi, tidak lama setelah shalt Isya berakhir. Kaum dewasa, ibu-ibu dan tokoh masyarakat satu per satu mengisi tempat disediakan penyelenggara,
Saat itu, hadir Muspika Woha diwakiki Sekretaris Kecamatan Irfan, Dj, SH dan istri. Danramil Woha I Ketut Sudiasa, Kapolsek Woha AKP Fendi, puluhan anggota TNI, dan Polisi.
Infocus mulai dinyalakan, menyorot layar putih di bagian Timur kediaman Kepala Desa Donggobolo Tolhab, SSos. Diawali pengarahan oleh Ketua Pemuda setempat, Kaharuddin. Saat itu menjelaskan maksud dan tujuan penayangan film G30S/PKI itu.
Anak-anak duduk bersila di atas terpal disediakan. Kaum ibu dan bapak duduk menggunakan kursi plastik. Setelah Ketua Pemuda mengakhiri arahannya, anak-anak bergeser kiri kanan mengambil posisi yang baik.
Ada yang bertanya penuh rasa ingin tahu. “Na bune si film ake ke (Bagaimana ceritanya film ini),”. Rasa penasaran menggugah hati mereka. Pandangan mata tidak berkedip mengarah ke layar yang beberapa menit memainkan gambar film.
Aris Munandar, siswa kelas VI SDN Donggobolo, duduk diselimuti sarung tenun yang dibawa dari rumahnya. Sebelum film itu ditayangkan, duduk di tengah teman sebayanya. Sesekali mereka ngobrol dan membuang muka ketika mendengar ada suara tembakan dalam video film tersebut.
“Baru pertama kali menonton film ini, tidak pernah juga menonton karena selama saya besar tidak pernah ada di TV,” katanya.
Masih kecil dan baru menonton film G30S PKI. Bocah yang biasa disapa Aris itu tidak takut bertanya kepada teman disampingnya maupun orang dewasa yang duduk bersamanya di atas tarpal biru. Setiap wajah yang dia lihat dalam layar, bertanya siapa dan sebagai apa. “Saya hanya menonton, tapi tidak tahu siapa nama dan sebagai apa,” kata dia.
Ketika dalam film itu mulai terlihat perbedaan dan terbentuk kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI), sedikit demi sedikit mereka lebih serius lagi menyaksikan. Terutama munculnya perencananaan jahat, anak-anak lebih bersemangat menikmati tontonan dalam malam disertai angin sepoi-sepoi itu.
“Saya melihat ada yang ditembak dibunuh, bahkan ada anak tertembak. Saya tidak tahu dari mana yang menembak, karena mereka sama sama menggunakan baju tentara, saya kasihan terhadap yang dibunuh,” ujarnya.
Saat Jenderal dibantai, suasana hening menyergap. Warga larut dalam keharuan. Betapa tidak, para Jenderal dan keluarganya dibantai. Darah terlihat di mana-mana. Para penonton terbawa arus suasana. Apalagi, anak-anak yang belum memahami sejarah kelam itu.
Seorang pegawai bekerja di Pemkot Bima, Sahrul Amar, mengatakan perbuatan PKI adalah penkhianatan terhadap negara. Mereka membunuh dan membantai para Jenderal untuk merebut kekuasaan. Karena kekejaman mereka, para korban disiksa secara keji di Lubang Buaya, lalu dimasukkan dalam sumur tua dan ditimbun untuk menghilangkan jejak.
“Sejarah bangsa Indonesia wajib diketahui, pembantaian PKI harus dilawan dan tidak boleh muncul kembali,” ujarnya.
Syahrul mengaku rasa sedih dan sakit hati mengalir sendiri, melihat kebiadaban PKI terhadap Jenderal TNI AD. Mereka dibunuh tengah malam saat tidur bersama istri dan anak-anaknya. Di depan mata keluarga mereka sendiri, bunyi senjata peluru menancap di tubuh para Jenderal.
“Bayangkan saja, mereka menyerang di tengah malam saat suasana Kota Jakarta tidak ada kendaraan berlalu lintas, menyeret bagaikan binatang. Saya pribadi mengecam tindakan PKI,” jelasnya.
H Muhammad (79), yang hidup di masa itu, tidak kuasa menahan sedih melihat pembantaian PKI terhadap ke tujuh jenderal. Sejarah seperti ini, menurutnya, harus diketahui oleh generasi. PKI harus dilawan, karena mereka telah membuat bangsa ini menjadi kacau.
“Sampai saat ini saya merasa sakit hati mendengar PKI membunuh ketujuh Jenderal itu. Kami sudah lahir saat itu, di mana mereka rela membunuh demi mengambil kekuasaan,” ujarnya.
Berdasarkan rencana sebelumnya, Nobar film sejarah berakhir pada Sabtu malam. Atau diputar saat malam yang bertepatan dengan 30 September. (Herman)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.