MAHASISWA dari berbagai daerah di Indonesia berunjukrasa di jalanan dan fasilitas vital untuk memrotes rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 April nanti. Ada yang berlangsung damai, namun lebih banyak lagi yang berbau anarkis. Sejumlah fasilitas rusak menyusul ketegangan dengan aparat Kepolisian yang mengawal. Di daerah Bima pun demikian. Massa yang hendak menguasai areal Bandara Sultan Muhammad Salahudin Bima dihadang aparat. Ketegangan pun muncul. Aksi saling lempar pun terjadi. Satu mahasiswa terkapar setelah tertembak peluru aparat.
Apa yang bisa dibaca dari agresivitas para mahasiswa itu? Di kalangan terbatas mahasiswa, memang muncul slogan “belum layak disebut mahasiswa tidak ikut unjukrasa”. Tuntutan ideal terhadap mahasiswa memang ada. Mereka tidak hanya berkutat soal materi perkuliahan dan dinamika kampus, tetapi juga mampu merespons segala permasalahan di luar kampus. Peran sebagai agen perubahan sosial-nya ditagih. Bagi yang peka, motivasi untuk ikut terlibat atau setidaknya meneriakkannya di jalanan membuncah. Maka ketegangan kerap terjadi ketika naluri “pemberontakan” mahasiswa bertemu dengan sikap represif aparat. Tidak hanya soal BBM, tetapi juga masalah lainnya.
Kita mengharapkan kaum muda kampus terus menjaga idealisme dan sikap kritis. Dua aspek itulah yang mesti terus membingkai identitas mereka ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu, mengomunikasikan aspirasi secara lebih elegan melalui cara-cara yang sesuai dengan semangat keintelektualan. Ini sangat penting karena bentangan persoalan masih berderet panjang seiring dinamika pembangunan. Pada sisi lain, aparat keamanan juga memaksimalkan kemampuan persuasif dan menghindari tindakan represif. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
