Connect with us

Ketik yang Anda cari

Jalan-jalan

Catatan Perjalanan ke Enam Negara Bagian Amerika Serikat (2)

Di press room Departemen luar negeri AS, Washington, D.C.

Kembali ke agenda di California, pada pukul 14.30 saya kemudian bertemu dengan Mr Dan Gilmor, Founded and Director Center for Citizen Media di kantornya IIE, West Coast Center. Kami hanya jalan kaki dari hotel, karena mobil rental sudah dikembalikan. Acara terakhir yang agak jauh memang tinggal di San Fransisco State Univeristy untuk bertemu dengan Profesor Jon Funabiki. Pemandu saya berpikir, cukup pakai taksi untuk menuju San Fransisco University Holloway Avenue. Jadi untuk mengirit biaya, mobil rental dikembalikan setelah acara dengan Phillips.

Banyak hal yang kami bicarakan dalam pertemuan sampai pukul 16.00 itu. Gillmor sedang mengembangkan citizen journalism. Ini adalah model baru untuk memperoleh informasi secara mudah, murah dan dengan jaringan yang luas. Sebab siapapun, bisa menjadi wartawan dalam konsep ini. Cuma kendalanya, sempat saya tanyakan adalah soal kualitas informasi yang diberikan, karena mereka (yang terlibat dalam citizen journalism) jelas belum tentu memiliki kemampuan jurnalistik, ilmu jurnalistik, juga kemampun untuk menyajikan fakta dan informasi yang layak kepada publik. Gillmor mengakui adanya kendala seperti ini, tetapi diakuinya di AS sedang berkembang.

Media yang cocok, kata dia adalah melalui situs internet. Sehingga menurutnya, sekarang ini banyak sekali dibuka situs (homepage) internet, apalagi didukung cara akses yang mudah, murah, dan super cepat. Dia adalah mantan wartawan dan kolumnis beberapa media seperti The San Jose Mercury News, Detroit Free Press, Kansas City Time dan beberapa koran di Vermont. Acara terakhir pada 16 Agustus di California, bertemu dengan Mr Richard Reynolds, Communications Director Mother Jones, sebuah majalah yang cukup disegani di AS. Nama majalah ini memang agak sedikit unik, karena menggunakan nama seorang wanita pejuang tenaga kerja pada buruh pertambangan puluhan tahun silam. Awalnya diakui Reynolds memang aneh. Tetapi lama-lama tidak ada masalah juga dan bisa berkembang sampai sekarang. Pada edisi Agustus-Oktober, Mother Jones membuat laporan tentang opersional PT Newmont di Indonesia, baik Newmont Minahasaraya, maupun Newmont Nusatenggara. Sorotan utamanya adalah sosok Rick Ness, bos Newmont di AS dengan judul Mr Clean yang ditulis David Case.

Baca juga: Catatan Perjalanan ke Enam Negara Bagian Amerika Serikat (1)

Laporan sepanjang delapan halaman ini memuat banyak hal, termasuk demo anti Newmont serta dampak yang ditimbulkannya. Ada foto nelayan yang sedang mencariikan, ada demo, dan ada bayi lahir yang cacat diduga akibat limbah Newmont. Reynolds makin tertarik berbicara dengan saya, termasuk soal Newmont karena dia tahu saya tinggal di pulau di mana salah satu perusahaan pertambangan itu beroperasi. Majalah ini ternyata cukup berprestasi. Banyak karya jurnalistiknya yang kemudian ada yang sampai memperoleh penghargaan.

Paling tidak selama terbit, telah empat kali memperoleh penghargaan seperti General Excellent. Apa kiatnya, Reynolds mengatakan pihaknya selalu berupaya untuk menyajikan laporan yang terbaik dan mendalam. Majalan ini diterbitkan oleh lembaga non profit yaitu Foundation for National Progress. Tepat HUT kemerdekaan RI, 17 Agustus 2007, saya masih harus menyelesaikan dua program terakhir di negara bagian ini. Sehari sebelumnya, ada yang surprise buat saya. Sebab pada 16 Agustus di kota San Fransisco, saya menemukan restoran Indonesia, yang ternyata tidak terlalu jauh dengan hotel tempat saya menginap. Pagi waktu saya akan berangkat ke San Fransico State University, untuk bertemu dengan Profesor Jon Funabiki, restoran ini belum dibuka. Saya sudah sangat rindu sama masakan Indonesia.

Saya ingin segera menyelesaikan acara dengan profesor AS yang berasal dari Jepang itu. Kami kemudian naik taksi dan menuju kampus tempat Funabiki mengajar. Sekitar 25 menit, kami tiba dan bertemu dengan Funabiki di Center for Integration and Improvement of Journalism, San Fransisco State Unversity. Saya dan pemandu diajak mencari tempat yang enak di halaman kampus setelah memesan kopi di café. Seperti pertemuan dengan Phillips, pertemuan kami juga sangat berkualitas. Selain bicara soal jurnalistik, Funabiki juga banyak bercerita tentang kondisi warga AS keturunan Jepang. Dia mengaku sudah merupakan generasi ke tiga. Yang datang ke AS, adalah kakeknya. Dia sempat bercerita tentang mahasiswa San Fransisco State University yang ditahan pemerintah AS waktu peristiwa perang dunia kedua. Bahkan di kampus itu, ada memorial yang menjadi saksi sejarah peristiwa itu. Kami diajak untuk meninjaunya.

Ada sembilan batu yang disimpan di taman, sebagai memorial. Ada juga tugu serta ada taman air yang menggambarkan urutan peristiwa ditahannya mahasiswa asal Jepang itu. Kembali ke lembaganya, universitas yang memiliki Departement of Journalism ini, telah melahirkan banyak lulusan yang saat ini sudah berkerja di berbagai lembaga. Ada hal menarik yang saya temukan dari pengakuan Funabiki, ternyata mahasiswa jurnalistik, tidak hanya ingin menjadi wartawan. Mereka hanya butuh ilmu jurnalistik untuk berhubungan dengan media, jika kelak mereka bekerja di suatu tempat. Hal itu menurut Funabiki menjadi semakin penting, karena media di AS memang sudah tumbuh sehat dan menjadi bagian dari hidup masyarakat untuk memperoleh informasi. Namun demikian, ada riset yang menemukan kecenderungan berkurangnya pembaca koran dan orang yang nonton televisi. Usai bertemu dengan Funabiki, saya kemudian memuaskan selera tanah air saya dengan makan siang di restoran Indonesia dekat hotel. Saya pesan nasi padang. Tadinya saya ingin juga pesan sate kambing, es kelapa, dan juga pecal. Tetapi karena daya tampung perut yang sangat terbatas, ternyata saya hanya bisa makan nasi padang yang porsinya lumayan banyak.

Saya berkenalan dengan pemilik restoran ini, namanya Pak Ari. Dia orang Jakarta, dan sudah 25 tahun tinggal di kota San Fransisco. Pada hari itu dia mengaku baru pulang dari upacara HUT RI di Konsulat RI di San Fransisco. Di AS memang ada tiga konsulat dan satu Kedubes. Tiga konsulat itu ada di San Fransisco, Los Angeles dan New York. Selain upacara bendera, ada bazaar dan juga resepsi. Bahkan di Konsulat di Los Angeles pada Agustus kemarin mendatangkan beberapa artis dari tanah air. Saya tidak sempat mengikuti acara karena harus menyelesaikan acara pada sore hari untuk bertemu dengan Ms Hether Gehlert, Managing Editor AlterNet, sebuah situs berita yang sangat digemari warga AS dari sayap kiri. Kalau Anda ingin mengakses, silakan kunjungi http://www.alternet.org.

Berita Irak, selalu menjadi utama jika ada, karena mereka sangat tidak setuju dengan perang yang menghabiskan banyak uang negara AS itu. Mereka berpandangan, masih banyak warga AS yang butuh dana sosial, butuh obat gratis, dan butuh kehidupan yang lebih layak. ‘’Kami benar-benar menentang perang Irak,’’ kata Gehlert. Gehlert masih muda, sudah menyandang gelar magister dari University of California, Berkley, English and Communication from Westminster College in Fulton. Dia pernah menjadi wartawan di Los Angeles Times dan memilih bergabung dengan AlterNet karena mencari tantangan baru. Wanita kelahiran Missiori ini sangat lincah ketika menjelaskan dan memperlihatkan situs yang mereka miliki. Dia mengaku dibaca jutaan orang setiap edisi. Inilah acara resmi terakhir saya yang baru berakhir pukul 14.30. Saya benar-benar bersyukur karena semua program bisa saya selesaikan dengan baik. Saya sangat berterimakasih kepada Irawan Nugroho yang sangat profesional dalam memandu saya sejak dari Washington DC. Dia mengontrol kapan saya makan, kapan saya tidur, kapan saya istirahat.

Demikian pula dengan kesehatan dan semangat saya. Dia sendiri terlihat sangat fit selama mendampingi saya. Mantan wartawan Jawa Pos untuk Washington DC ini, selalu menerima dan mengirimkan laporan perjalanan saya ke Washington DC. Termasuk soal kesehatan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan acara dan diri saya. Program saya bukanlah perjalanan jurnalistik, sehingga Charlie Kellet, Program Officer, East Asia Branch U.S Departmen nof State sejak awal sudah melarang saya untuk menulis agar saya punya waktu yang cukup untuk istirahat. Program saya adalah visitor leadeship, yang hanya mengikutkan maksimal tiga orang dalam satu negara setiap tahun. Program itu sudah dirancang AS sejak tahun 1940 lalu. Kini ribuan alumninya tersebar di banyak negara. Sayapun didaftar sebagai salah satu alumni international visitor leadership yang diharapkan tetap membangun jaringan komunikasi, baik dengan sesama alumni, maupun dengan pemerintah dan kolega di AS. Untuk memudahkan jaringan komunikasi, sudah tersedia situsnya, sehingga bisa chating, saling mengirim e-mail dan lai-lain.

Selain dikontrol sangat ketat, untuk menjaga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, saya memperoleh asuransai dengan klaim maksimum 100 ribu dollar AS atau sekitar Rp930 juta. ‘’Anda tidak perlu khawatir, kami sudah protek Anda dengan asuransi,’’ kata Ms Jeana Lim saat memulai program di Washington DC. Kartu asuransi yang dikeluarkan oleh Seven Corners dan U.S Department of State masih saya simpan sampai sekarang.

Syukurlah tidak terjadi apa-apa hingga saya kembali ke Indonesia. Pada 18 Agustus 2007, pagi-pagi saya sudah siap kembali ke Indonesia. Saya menumpangi Northwest Airlines. Pada saat terbang dari San Fransisco-Narita, kami sempat mendarat darurat di Alaska. Dua jam pesawat diperbaiki, sebelum akhirnya terbang lagi. Awalnya saya juga heran dengan kejadian tersebut. Karena saya menonton movie di monitor depan saya, jadi tidak mengikuti maps perjalanan pesawat. Baru sekitar empat jam terbang, tiba-tiba ketinggian jelajah dikurangi. Penumpang diberitahu kalau pesawat akan mendarat darurat di bandara Anchorage, Alaska. Saya sempat cemas, tetapi karena awak memberikan keyakinan hanya ada gangguan kecil dan harus dibenahi di darat, maka kami harus rela mampir di Alaska sekitar dua jam sebelum akhirnya terbang lagi ke Narita. Enam jam jelajah, pesawat mendarat mulus di Narita Jepang. Saya sempat istirahat sekitar satu jam sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke bandara Suvarnabhumi, Bangkok. Penerbangan Narita-Bangkok butuh waktu enam jam sebelum mendarat sekitar pukul 01.00 dini hari waktu Bangkok. Karena saya harus terbang lagi ke Jakarta pada pukul 08.00 pagi dan harus check in sekitar pukul 05.30, saya memutuskan untuk tidak menginap di hotel transit di bandara. Saya memilih begadang di bandara, karena khawatir kelolosan tidur karena memang sudah capek. Kendati ada fasilitas wake up warning di hotel, saya memutuskan untuk tidak tidur. Lagipula, saya sudah sangat rindu tanah air, rindu keluarga, rindu teman-teman dan juga rindu makanan Indonesia. Pagi-pagi saya sudah chek in dan saya terbang ke Jakarta dengan Thailand Airways. Kami terbang tiga jam sebelum akhirnya mendarat mulus di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng pada pukul 11.00 Wib. Saya sempat bertemu mantan Menteri Hukum dan HAM RI di bandara Suvarnabhumi, Thailand.

Saya sempat menyapan dan sempat ngobrol sebelum berpisah karena dia duduk di kursi bisnis. Saya mengucap syukur karena sudah kembali ke tanah air. Saya kemudian memilih istirahat total di hotel Arwana di jalan Mangga Besar, karena harus berangkat ke Bima melalui Denpasar pukul 06.00 WIB. Setelah terbang satu jam 45 menit, pesawat Merpati yang saya tumpangi mendarat di Bandara Ngurah Rai. Saya istirahat tiga jam sebelum akhirnya terbang lagi ke Bima yang hanya butuh waktu 45 menit dengan tinggi jelajah 25 ribu kaki sebelum akhirnya mendarat di Bandara Muhammad Salahuddin, Palibelo. Anak-anak dan istri saya sudah menunggu. Mereka terlihat sangat bahagia, setelah sebulan saya tinggalkan. Dulu mereka melepas dengan linangan air mata, terharu dan sedih. Karena ini kali pertama saya meninggalkan mereka begitu jauh, begitu lama. Istri saya bilang, ‘’kok kurus sekali?’’ Saya hanya tersenyum. Saya sangat terkesan dengan AS yang teratur dan bersih dengan penduduk yang disiplin. Saya juga sangat terkesan dengan masyarakatnya yang ramah. Pak Irawan Nugroho juga sangat profesional selama mendampingi saya. Dia sangat sabar dan teliti. Demikian pula dengan mitra yang saya jumpai. Mereka selalu antusias menerima saya, kendati harus membatalkan agenda lain.

Terimakasih atas kesempatan ini dan saya berharap masih bisa berkunjung ke AS lagi di masa mendatang. Saya masih ingin belajar banyak hal, termasuk tentang jurnalistik, pengelolaan media, pemerintahan dan budaya AS. Saya selama di AS belum sempat menikmati indahnya negeri ini karena padanya acara resmi. Saran saya, perlu ada hari-hari yang disediakan untuk bisa melihat tempat-tempat indah di masing-masing negara bagian. Mungkin ada baiknya juga jika bisa diterima oleh pemerintah negara bagian, sebagai tambahan referensi. Saya sangat menghargai setiap orang atau lembaga yang berhubungan dengan program saya, karena mereka sangat profesioanl. Saya ingin juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh mitra yang sudah bertemu dan menerima saya dengan sangat baik. Demikian pula dengan Manajer Program Ms Jeana Lim dari MCID dan Mr Charlie Kellet, program officer, East Asia Branch Department of State yang sudah bekerja keras mengatur acara saya. Saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada masyarakat dan Pemerintahan AS dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai.

Negara ini di mata saya luar biasa. Saya tentu saja telah memiliki persepsi bagaimana AS dengan segala aspeknya. Kendati yang saya peroleh selama berkunjung di AS belum memberikan gambaran utuh tentang negara ini, tetapi saya sudah sedikit memiliki pemahaman. Jujur, saya memiliki ikatan emosi dengan negara ini setiap kali menyaksikan acara-acara televisi tentang AS. Saya ingin belajar banyak bagaimana AS bisa mencapai kemajuan yang luar biasa dalam mengelola negeri yang sangat heterogen dan luas ini. Tentu saja, atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya, saya dan keluarga sangat berterima kasih. Bahkan saya berharap salah satu dari anak saya bisa belajar di AS. Sekolah dan belajar banyak dari negara ini sangat penting bagi masa depan dunia. Keinginan kuat saya untuk menyekolahkan anak di AS saya harapkan bisa diwujudkan,entah dengan cara bagaimana. Kemudian yang bekaitan dengan pengelolaan televisi, banyak mitra yang saya mintai program dan acara ilmu pengetahuan dan teknologi, sangat setuju asal Dubes AS di Jakarta bisa mengirimkan surat kepada mereka. Kecuali VoA yang bisa ditindaklanjuti karena memang sudah ada kontak intensif setelah saya balik ke Indonesia. Saya juga berharap ini bisa diwujudkan dan dukungan teman-teman di Dubes AS Jakarta sangat saya harapkan. Terimakasih. (*)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Advertisement

Berita Terkait