Ada apa lagi di Bima? Bima bikin heboh lagi? Itu sebagian reaksi dari warga luar daerah saat “melahap” pemberitaan penangkapan dua dokter yang diduga terkait jaringan terorisme di Indonesia melalui media massa. Dua dokter berinisial Yun dan Kam, ditangkap tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-Teror Mabes Polri di sekitar Masjid Raya Al-Muwahidin Kota Bima, Jumat sore lalu.
Ya, kita lagi-lagi dikejutkan dengan aroma dua warga yang tersangkut kasus terorisme. Meskipun bukan warga asli Mbojo, namun resonansi getarannya tetap bergaung kencang. Locus delicti di Bima semakin menegaskan identitas daerah ini sebagai areal yang akrab dengan tuduhan aroma terorisme.
Ada yang menguatirkan tindakan terorisme yang mendasarkannya gerakannya pada basis agama. Memang, sangatlah sensitif membahas terorisme dalam kaitannya dengan ideologi agama. Lihat saja dasar argumentasi Amrozy, Imam Samudera, dan lainnya. Namun, kita hanya merisaukannya ketika dibumbui aroma kekerasan.
Menurut sebagian pengamat, terorisme muncul akibat benturan global antara dua ideologi besar saat ini, liberalisme demokrasi dan fundamentalisme agama. Alih-alih memunculkan proses dialektika, keduanya malah justru berupaya saling memerangi dan menghancurkan. Sayangnya, proses demokrasi oleh negara besar seperti Amerika Serikat dilakukan dengan tidak etis dan melupakan komitmen damai. Dalam konteks itulah muncul, kata para pengamat, kemudian fundamentalisme agama, yang digunakan untuk kepentingan politik.
Jika kita mengutip pandangan Presiden SBY, ada tiga akar munculnya terorisme. Pertama tumbuhnya ideologi radikal yang ekstrim. Ideologi ini bisa muncul di mana-mana, tidak terikat pada bangsa atau jenis masyarakat tertentu. Kedua, penyimpangan terhadap ajaran agama. Kata Presiden, aksi teror yang mengatasnamakan agama pastilah menyimpang dari ajaran agama. Menurut Presiden, pelaku teror keliru menafsirkan antara surga dan neraka serta jalan menuju surga.
Akar ketiga adalah kondisi kehidupan yang susah ekstrim dalam bentuk kemiskinan absolut atau keterbelakangan yang ekstrim. Meski demikian, tidak selalu kondisi susah melahirkan terorisme. Tetapi, ada korelasi yang sangat kuat para pelaku berasal dari lingkungan kehidupan yang sulit, meskipun ada juga pelaku teror yang berasal dari kehidupan yang baik dan terpelajar.
Mengenai kondisi kehidupan susah secara ekstrim, SBY sepakat hal itu mengandung kerawanan untuk agitasi, provokasi, dan penggalangan untuk mereka yang ingin menghidupkan terorisme. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
