Oleh: Muhammad Fikrillah
Tiga tahun terakhir ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Bima Provinsi NTB diberi label “pahit” oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK) RI. Laporan keuangan divonis disclaimer, tidak ada pendapat dari auditor, menyusul kualitas penyajiannya amburadul. Compang-camping. Sayangnya, cuma sebatas disclaimer, karena seharusnya ada pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap kondisi selama rentang waktu itu.
Bukankah berarti ada yang tidak beres dengan laporan penggunaan dana? Tidak ada pejabat yang dibawa ke ranah hukum, tidak terdengar pula ada transparansi soal siapa yang bertanggungjawab atas kebocoran dana dan item pos tertentu. Silent! Diam membisu.
Riak-riak di tingkat media massa memang ada, tetapi hanya mereka sebagai “pemicu dan pencerah”, mahasiswa dan kelompok kritis lainnya yang seharusnya meneruskan bola liar, berteriak lantang membahasakan kegelisahan rakyat dalam alunan berbeda. Bagaimana dengan legislatif? Tidak terlalu bisa diharapkan. Catatan tiga tahun ‘juara disclaimer hadiah BPK’ mengirim sinyal tegas pada publik mengenai gambaran kualitas pengawasan legislatif. Harus dikatakan mereka gagal total di titik ini.
Saat tampuk kepemimpinan diambil-alih HM. Qurais, Wali Kota Bima sekarang ini, menyusul meninggalnya HM. Nur A. Latif, perang terhadap status disclaimer dikampanyekan. Mulai dari penataan administrasi, kedisiplinan, hingga memilih para pejabat yang bervisi tajam “mengusir” kata disclaimer dari kosakata masyarakat Kota Bima. Bahkan, ada beberapa pejabat yang telah dilaporkan ke ranah hukum setelah pendekatan persuasif-kekeluargaan macet. Pembentukan tim Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti-Rugi (TP-TGR), sekitar tiga bulan lalu adalah bagian dari perang terhadap disclaimer.
Dalam pembacaan publik, Wali Kota berusaha memosisikan diri sebagai kepala kafilah yang ingin membangun tembok besar dan garis demarkasi secara tegas dengan periode masa kepemimpinan sebelumnya. Atau dia tidak ingin “mewarisi dosa masa lalu”. Pada sejumlah kesempatan di depan publik, Qurais menegaskan komitmennya mengelola keuangan sesuai amanah aturan untuk memastikanstatus disclaimer hilang. Jika tahun 2011 BPK masih membandrol laporan keuangan dengan status disclaimer lagi, Qurais memroklamirkan akan mengundurkan diri dan tidak akan lagi mencalonkan diri menjadi Wali Kota Bima. Sikap tegas, berani, dan terbuka, memang. Komitmen ini masih menunggu pengujian di di tingkat realitas. Itulah yang ditunggu publik.
Tetapi, akademisi mengeritik karena menguatirkan pernyataan itu jangan sampai menjadi bumerang. Semangat kritikan itu, jika diselami, konsolidasi internal aparatur dan membuktikan komitmen pada dataran aksi adalah hal mendesak dilakukan. Real action! Pembacaan lainnya bisa saja terjadi godaan syahwat politik (kekuasaan) pada momentum tertentu membuncah dan “membanjiri, sekaligus menghapus dataran” komitmen atau janji yang terucap. So, be carefully… Publik pada saatnya nanti akan menagih penyatuan kata dengan perbuatan(nggahi rawi pahu).
Apakah nanti Pemkot Bima bisa keluar dari “dosa” disclaimer? Masyarakat mengharapkan demikian, karena itu berarti menyelamatkan dana yang seharusnya mereka nikmati secara langsung dan tidak langsung. Mewujudkan kepemerintahan yang bersih (clean governance) dan transparan adalah impian publik. Konsolidasi internal aparat adalah sebagian dari keniscayaan untuk membangun semangat anti-disclaimer. Komitmen Qurais, yang kini didampingi adiknya, H. Abdurrahman, ditunggu masyarakat. Kita tunggu saja hasil akhirnya…
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Bimeks
http://politik.kompasiana.com/2010/11/25/wali-kota-bima-disclaimer-dan-mundur/
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.