BERBAGAI kasus yang diduga berkaitan dengan terorisme muncul di Bima dan menghentak ruang publik. Bima juga tiba-tiba menjadi “bidikan” tentang perpincangan terorisme. Namun, benarkah di tanah Mbojo ini menjadi “sarang” pelaku terorisme? Diskusi yang digelar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kota Bima, di aula Lesehan Putri, Minggu (27/5) tidak satupun setuju jika Dana Mbojo disebut sarang teroris. Seperti apa diskusi tersebut? Berikut catatan Sofiyan Asy’ari.
KASUS yang sempat menghebohkan Bima dan menjadikan daerah ini menjadi sorotan nasional, adalah kasus dugaan ledakan di Pondok Pesantren (Ponpes) Umar bin Khattab (UBK). Meskipun hingga kini ada pro dan kontra, benarkan yang terjadi di UBK sebagai bagian dari aktivitas kegiatan teroris. Kesan rekayasa ditangkap oleh sebagian kalangan dan menganggapnya sebagai proyek intelijen. Tentang munculnya rekayasa dalam kasus UBK, mengemuka juga dalam diskusi tersebut.
Kasus yang masih segar pula adalah ditangkapnya Kamaludin alis Ridho bersama drg Yunie Ardi. Meski akhirnya drg Yunie dibebaskan, karena dianggap tidak terlibat. Namun, peristiwa itu telah membuat nama Bima seolah lekat dengan cap “terorisme”
Diskusi yang berlangsung Minggu pagi itu, cukup menarik. Termasuk pembicara yang mencoba mengungkap fakta-fakta tentang adanya dugaan rekayasa dan bermain di balik isu terorisme. Apalagi, istilah ini telah dilekatkan pada aktivitas ummat Islam, yang dianggap membahayakan kepentingan politik tertentu.
Hadir sebagai pembicara pada diskusi, Minggu (27/5) adalah Ustadz Abdul Hakim, Pimpinan Jamaah Ansarut Tauhhid (JAT) wilayah Nusa Tanggara Barat (NTB). Ustadz Haris Abu Ulya, sebagai pemerhati Kontra Terorisme dan Direktur CIIA dan Wahyudin Al- Maroky dari HTI.
Bagi Ustadz Abdul Hakim, Bima memiliki sejarah tersendiri tentang Islam. Kesultanan Bima ternyata salahsatu yang sangat disegani oleh penjajah, selain kesultanan Aceh, Banten, dan Gowa. Islam telah memberi warna dan corak di Dana Mbojo ini. “Nenek moyang orang Bima, teguh memegang syariah Islam,” ujarnya.
Rimpu bahkan disebut sebagai warisan Islam dan serupa dengan cadar. Meski kini pekaian yang menggunakan sarang tersebut mulai terkikis dan tidak terlihat sebagai bagian dari identitas yang bertahan. “20 tahun lalu, saya masih melihat orang-orang mengenakan rimpu, namun kini tidak lagi,” katanya.
Meski demikian, kata dia, telah muncul kesadaran dari kaum perempuan untuk mengenakan pakaian yang muslimah. Selayaknya pula, masyarakat Bima mengembalikan lagi keteguhan dalam memegang syariat Islam. “Kami sebagai anak cucu akan mengikuti kembali yang dipegang teguh oleh nenek moyang kami. Akan mengukir kembali kejayaan Islam di Bima,” ungkapnya.
Namun, kata dia, justru kini orang-orang yang mencoba menegakkan syariat Islam, mereka yang rajin ke masjid, mengenakan cadar, dan memelihara jenggot dituding sebagai teroris. Tudingan seperti itu dinilainya sebagai fitnah dan sama juga dengan hinaan pada Allah. Justru keberadaan BNPT dan Densus 88-lah yang dianggap sebagai penebar teror.
“Tidak benar Bima sebagai sarang teroris. Tapi sarang bagi orang yang ingin menegakkan Islam. Amerika dan antek-anteknya lah yang teroris,” tegasnya.
Apa yang terjadi saat ini dan menimpa ummat Islam, kata dia, tidak lepas dari sejarah panjang sebelumnya. Terutama yang dilakukan oleh kelompok zeonis, yang tidak senang dengan kejayaan Islam.
Diskusi tersebut, kian menarik, ketika Haris Abu Ulya, membedah tentang proyek deradikalisasi sebagai bagian dari upaya Amerika membenturkan antar-ummat Islam. Untuk menjalankan proyek ini, Amerika dan sekutunya telah menggelontorkan dana yang jumlahnya luar biasa.
Amerika, menurutnya, menjadikan momentum tragedy WTC untuk menyerang Islam, dengan memasuki Afghanistan, Irak, Pakistan, dan Negara lainnya. Sementara di Indonesia, kasus bom Bali menjadi momentum dimulainya proyek deradikalisasi. (bersambung)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
