PERJALANAN ke Ndano Nae benar-benar penuh tantangan. Kebersamaan dan keinginan untuk menaklukkan jalur itu yang memamcu semangat kami.
Tiba di atas tanjakan, kami beristirahat sejenak. Mengatur napas, sekaligus menikmati suasana alam pegunungan. Terasa sejuk udara di tempat itu. Seolah sedikit mengobati tenaga yang telah terkuras.
Beberapa rekan dari Komunitas BA juga telah sampai pada titik tempat kami beristirahat. Ada yang memerbaiki ikatan logistik pada kendaraan, agar tidak lepas. Beberapa barang yang dibawa ikatannya mulai longgar dan miring.
Awalnya, kami bersepeda 12 orang, namun ada yang kembali, sehingga 10 orang melanjutkan. Setelah cukup istirahat, perjalanan kami lanjutkan. Tidak ingin berlama dan membuang waktu. Perjalanan masih cukup jauh. Medan yang dilewati masih miring. Ndano Nae sendiri berada sekitar 600 meter di atas permukaan laut.
Beberapa ratus meter dari tempat kami istirahat, rupanya kembali dihadapkan dengan tanjakan panjang. Kali ini benar-benar tajam. Bahkan, jalan menanjaknya terdapat tiga tikungan. Beberapa orang berusaha mengayuh tanjakan, tapi semua gagal. Tidak ada jalan lain lagi, kecuali harus turun dan mendorongnya. Benar-benar menguras energi.
Arif, anggota BBL, langsung merebahkan tubuh di tanah. Setelah melewati tanjakan pertama. Masih ada tanjakan yang lebih tajam lagi. “Ini benar-benar ekstrim, lebih parah dari Kabanta,” kata Arif.
Hal yang sama juga dirasakan oleh yang lainnya. “Dorong sepeda saja susah,” kata Fredy Lau.
Tidak hanya mendorong sepeda yang susah ditanjakan kedua. Namun berjalan kaki pun terkadang terpeleset. Itu di luar dugaan akan menemukan tanjakan seperti ini. Meski sebelumnya rekan dari BA telah menyampaikan akan ada tanjakan panjang, tapi tidak menduganya seperti ini.
Bagi rekan BA, tanjakan itu tidak menjadi masalah serius. Mereka bisa menancap gas, sementara kami benar-benar mengandalkan fisik.
Ketua BBL, drg. Budi Prabowo, sempat mencoba mengendarai motor trail, melewati jalanan berbatu. Namun, terjatuh hingga lutut terluka. Untungnya tidak terlalu serius, hanya luka ringan saja. Kenyataan yang sama juga dialami Fredy Lau, mencoba tunggangan “kuda besi”, juga terluka pada bagian kaki. Mengendalikan “kuda besi” di medan seperti itu, butuh keahlian (skill).
Saat melewati tanjakan yang tajam itu, ada juga barang bawaan yang jatuh. Itu akibat guncangan jalan berbatu. Beberapa anggota BA berusaha membantu mendorong sepeda. Mereka memerlihatkan kebersamaan. Kami beristirahat lagi setelah melalui tanjakan itu. “Ini tanjakan yang paling panjang, setelah ini tidak terlalu menanjak,” kata anggota BA, menjelaskan ke kami yang menggunakan sepeda.
Di antara mereka memang telah ada yang ke Ndano Nae, sehingga mengerti medannya. Perjalanan kami lanjutkan. Benar saja, jalan selanjutnya tidak terlalu menanjak. Tapi tetap menjumpai jalan berbatu. Ada juga jalan yang rata.
Di sini juga saya melihat bagaimana tim dari BA, cukup bersabar dan menunjukkan kebersamaan. Mereka tidak ingin jauh dari kami. Kadang mereka menunggu kami saat mereka berjalan labih dulu. Termasuk ketika sepeda milik Abdi, pengatur rantai bagian belakang patah.
Anggota BA yang ikut, ada yang mekanik. Pengatur gigi atau speed sepeda tidak mungkin disambung. Jalan satu-satunya adalah memotong rantai, agar sepeda bisa tetap digunakan. Untung saat itu, saya membawa kunci pemotong rantai. Yang sibuk memperbaikinya adalah anggota BA.
Rupanya kebersamaan seperti ini telah tumbuh di internal BA sendiri. Mereka tidak akan meninggalkan rekannya, jika kendaraannya bemasalah. Bahkan jika ada yang kehabisan bahan bakar, anggota lain menguras bensinnya. Masing-masing sedikit, namun akan terkumpul dengan jumlah banyak. Termasuk bersabar dengan kami yang menggunakan sepeda. “Kami sudah biasa seperti ini,” kata Ario, anggota BA.
Sekitar 15 menit, rantai sepeda milik Abdi bisa disambung dan perjalanan dilanjutkan lagi. Kami menjumpai sejumlah warga yang sedang beraktivitas di ladang. (bersambung)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
