Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Dosen jadi Jonggos, Mahasiswa jadi Tuan…

(Muhammad Fikrillah)

Bulan  lalu, permintaan  pertemanan melalui jejaring sosial Facebook dilakukan seseorang yang mengatasnamakan ‘Jasa Pembuatan Skripsi Tesis (Bpk Adi)’ dengan alamat Kota Surabaya. Mengaku dulu kuliah di Universitas Indonesia lahir 13 Januari 1970. Karena tidak jelas dan tidak dikenal, pertemanan itu hanya sebentar. Kecurigaan saya muncrat. Pertemanan itu pun mesti dituntaskan secepatnya dengan ‘say good bye’.

Ada alasannya lho… karena usahanya itu tidak lazim dan merusak dunia pendidikan. Soal skripsi, tesis, dan disertasi idealnya merupakan hasil kontemplasi terdalam yang dilakukan mahasiswa. Jika hanya sebatas terlibat dalam proses pengetikan, sah-sah saja.

Seharusnya pihak yang berwenang menelusuri oknum yang menawarkan jasa seperti itu, dengan melacak sebagian identitas yang dicantumkannya. Ha itu akan sangat membantu membersihkan dunia pendidikan dari anasir-anasir jahat yang mencoba mencari peran. Apalagi, penawaran itu sudah memasuki ruang publik (public sphere).

Selain itu, permintaan pertemanan lainnya yang berbau esek-esek atau dengan menyertakan foto profil seronok jelas saya tolak pada kesempatan pertama (first time). Hidup memang penuh pilihan. Bukankah kita ‘berkuasa’ atas pilihan-pilihan yang terbentang?

Pertengahan November 2011, gayung pun seakan bersambut. Tema persoalan masih seputar skripsi. Saat diskusi kebangsaan yang dihelat oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bima di Lesehan Putri, Kota Bima, Senin (21/11) lalu, pengurus DPD KNPI Kabupaten Bima, Muhammad Tahir, M.Pd, mengungkapkan fakta yang terasa pahit, meski masih harus dibuktikan secara tuntas. Katanya, banyak mahasiswa Bima yang menyelesaikan studi, namun tugas akhirnya atau skripsi dikerjakan oleh orang lain.  Satu skripsi yang dibuat rata-rata senilai  Rp2 juta. Persentasenya perkiraannya lebih mengejutkan, bayangkan sekitar 80 persen. Walah…walah…

Tahir pun menggugat! Inikah model pemimpin masa depan yang pasrah menyelesaikan kuliah dengan membayar jasa dan pikiran orang? Saat ini, semua jenjang pendidikan lulusannya dituntut  memiliki kompetensi sosial, integritas, dan profesional. Kompetensi itu, tentu saja, sulit diraih jika karyanya ditulis oleh orang lain.

Apakah ini gejala di Bima saja? Tentu saja tidak, di daerah lain bisa jadi lebih parah. Kasus mahasiswa yang ‘doyan’ dibuatkan skripsi dengan menumpang pikiran orang lain, sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia, itu sudah merupakan gejala umum. Sesungguhnya bukan lagi angin hembusan baru. Sudah ‘lagu’ lama. Bahkan, saking telah menjadi “budaya” pelanggaran itu dianggap biasa dan menjalari dunia pendidikan Indonesia. Siapa yang salah? Siapa saja yang terlibat? Bisa jadi mereka yang terlibat  ada di dalam lingkungan keluarga kita, lembaga kita, dan anak-anak kita. Adakah oknum dosen yang terlibat? Meski publik memiliki bukti sendiri, namun masih harus dibuktikan secara hukum. Kita tunggu.

Menurut Syarif Ahmad, M.Si, mahasiswa S3 FISIP Universitas Indonesia (UI) ini, satu di antara penyebabnya adalah ketika dunia pendidikan mengalami proses liberalisasi dan perguruan tinggi (PT)  mengalami proses kompetisi (Bimeks, Kamis 23/11/2011). Idealnya, proses kompetisi ini menjadi energi positif bagi PT dalam meningkatkan mutu dan kualitas mahasiswa  agar lulusannya laku di pasaran tenaga kerja, termasuk menarik minat calon mahasiswa baru. Tetapi, fakta menunjukan bahwa kompetisi tersebut justru didominasi energi negatif. Dengan kata lain, bandul pergerakan lebih condong ke “kiri”  ketimbang ke “kanan”.

Katanya, agar menjadi daya tarik, suatu PT memudahkan proses, bahkan melanggar etika akademik dengan ‘mengeruk’ mahasiswa sebanyak-banyaknya dan ‘memroduksi’ secepat-cepatnya. Ibaratnya, PT adalah mesin penggilingan padi dan yang keluar adalah sarjana.

Dalam pandangan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Mbojo Bima ini, persoalan kualitas, mutu, dan kompetensi tidak lagi menjadi penting, karena banyak mahasiswa dan banyak lulusan setiap periode wisuda adalah target. Konsekuensi logisnya adalah karya akademik skripsi, tesis, dan desertasi, hanyalah formalitas untuk menempel gelar kesarjanaan. Jangan pernah heran, sebagian mahasiswa mengambil ‘jalan tol’ dengan pasrah meminta bantuan orang lain. “Karena ujian skripsi pada umumnya tidak ada yang tidak lulus, meskipun tidak dapat menjawab atau menjelaskan karyanya tersebut di depan tim penguji. Meskipun diketahui sekalipun bahwa skripsi tersebut dibuat oleh orang lain,” katanya.

Syarif mengaku meskipun bersikap sedikit ideal atau sesuai standar akademik minimal, akan “diledekin” dianggap sok dan lain sebagainya. Mengapa demikian? Karena fenomena pembuatan skripsi telah menjalar juga di kalangan sebagian dosen. Artinya, telah mengubah cara pandang mahasiswa dalam pola hubungan, yang awalnya hubungan ilmu pengetahuan, intelektual (dosen-mahasiswa), berubah bentuk menjadi hubungan industrial. Pada akhirnya, dosen menjadi buruh atau jonggos dan mahasiswa menjadi Tuan yang menyuruh bekerja. Waduh…

Tentu saja,  tidak semua mahasiswa dan dosen seperti itu. Itu tindakan oknum tertentu. Masih banyak yang berpegang teguh pada etika akademik. Masih ada yang relatif suci. Mereka tidak tergoda budaya instan yang merusak integritas dan wibawa intelektual. Golongan inilah yang diharapkan konsistensinya mewarnai pendidikan di daerah dan Indonesia umumnya.

Pengungkapan sisi gelap dunia jasa pembuatan skripsi itu, tidak saja menggugat soal eksistensi dan kapasitas pemuda, tetapi juga menohok tajam, menggoyang dunia dan wajah akademis yang penuh idealisme itu.  Pengungkapan itu memerlukan percepatan respons dari berbagai pihak. Tidak bisa dibiarkan berlarut. Pemerintah dan Kepolisian mesti bertindak, karena merupakan bagian dari praktik ‘pelacuran pendidikan’. Apalagi, ditengarai ada oknum tertentu yang menjadikannya sebagai lahan untuk mengeruk keuntungan. Tentu saja praktik itu harus dihentikan. Ya, dihentikan secepatnya.

Kecenderungan mahasiswa yang skripsinya dibuatkan oleh orang lain, setidaknya bisa dicermati dalam dua hal. Pertama, itu menunjukkan ketidakmampuan mahasiswa mengonsepsi pikirannya atau memahami keseluruhan proses kuliah yang selama ini berlangsung. Imbasnya adalah memengaruhi tindakannya pada dunia kerja. Kedua, bisa jadi, pilihan lain atas iklim akademis yang berkembang dan tekanan lain yang dialaminya.Ada semacam ‘penggiringan’  suasana yang memaksanya menerabas batas, dan saat bersamaan terjadi proses delearning.

Semua ini mesti segera dikaji agar saat lulus, para sarjana mampu memberi makna kehadirannya di tengah masyarakat. Secara internal, pihak kampus mesti mengevaluasi berbagai praktik negatif dan tidak mendidik itu.

(Pernah dimuat di http://edukasi.kompasiana.com/2011/11/24/dosen-jadi-buruh-mahasiswa-jadi-tuan/)

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Peristiwa

UNTUK mengisi waktu luang, dr Akbar kembali mengeluarkan handphone untuk menulis perjalanannya di Palu. Tempat favoritnya yaitu Masjid An Nur Sigi – Palu. Berikut...

Peristiwa

Kota Bima, Bimakini.com.- Warna-warni tembe nggoli (sarung khas Bima) menghiasi momentum pengenalan perdana (launching) rangkaian peringatan Hari Jadi ke-14 Kota Bima, di halaman kantor...

Pemerintahan

Kota Bima, Bimakini.com.- Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Daerah Pemilihan I Kecamatan Asakota Kota Bima, Jaidin H Ishaka, segera dilantik menjadi anggota DPRD...

Politik

Kota Bima, Bimakini.com.- Calon Wakil Bupati Bima dari calon perseorangan, Abdul Hamid,  blusukan di Kecamatan Woha, Rabu (7/10/2015). Hamid bercengkarama  dengan warga yang dikunjugi...

Hukum & Kriminal

Bima, Bimakini.com.- Bejat dan ironis! Dalam sebulan, lima bocah menjadi korban sodomi. Peristiwa memalukan itu terjadi di Desa Kore Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima.  Perlakuan...