Kota Bima, Bimakini.com.- Ini suatu tamparan bagi profesi guru dan tenaga pendidik di Indonesia yang sering melalaikan tugas dan tanggungjawabnya. Mereka seenaknya meninggalkan tugas. Menciptakan kebodohan siswanya, menikmati gaji buta, tidak malu pada diri sendiri, orangtua siswa, dan pemerintah.
Hal itu diungkapkan Professor Kathryn Robinson, Departement of Antropology Research School of Pacific and Asian Studies ANUCollege of Asia and the Pacific, saat ditemui di halaman masjid Sultan Salahuddin Bima, Sabtu (12/5).
Kathryin mengaku sempat memantau beberapa sekolah di Kota dan Kabupaten Bima, juga beberapa SD hingga SMA di Indonesia. Dia mengaku banyak menjumpai guru yang meninggalkan tugasnya. Namun, yang mengherankan Kepala Sekolah tidak memecatnya.
Padahal, katanya, mereka terikat kontrak kerja dengan waktu yang telah ditentukan. Seharusnya kalau tidak masuk Kepala Sekolah harus menindaknya. “Kenapa mesti dipertahankan guru yang malas mengajar, kan masih banyak orang yang serius ingin mengajar. Ini merupakan pencitraan guru yang tidak baik bagi dunia pendidikan,” ujar guru besar di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar ini.
Di Australia, kata dia, sulit menemukan hal seperti itu, karena kontrak kerja mereka sebagai guru jelas dan Kepala Sekolah memiliki kewenangan mutlak untuk memecat guru yang malas. Tetapi, di Indonesia justru Kepala Sekolah menolerir guru malas dan tidak memberikan sanksi. Padahal, mereka yang lebih tahu mengenai tanggungjawab di sekolah itu.
“Tidak ada alasan guru malas mengajar karena gajinya kecil. Risiko pilihan, jangan menjadi guru kalau mengharapkan gaji besar, sebab pengabdian seorang guru jauh lebih mulia daripada harta,” katanya.
Bayangkan, katanya, guru yang pintar bisa menransfer ilmunya kepada murid hingga menjadi manusia cerdas, memahami apa yang disampaikannya. Apalagi mereka yang tinggal di desa. Profesi itu mulia karena guru mendidik anak-anak untuk menjadi pintar, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Guru bertanggungjawab hadir di sekolah dan mengajar. “Saya banyak mendapatkan keluhan dari orangtua di desa bahwa guru makan gaji dan tidak melaksanakan tugas profesi,” katanya.
Orangtua siswa, katanya, sangat kecewa sikap guru seperti itu karena tahu anaknya tidak mendapatkan pendidikan layak. Anak yang kurang mendapatkan pendidikan yang semestinya, tidak mungkin bisa bersaing dengan rekannya yang terus maju. Orangtua sudah sangat menghargai pendidikan, tetapi guru itu sendiri seakan merusak tatanan pendidikan itu sendiri.
Dikatakannya di Australia jika ada guru yang tidak masuk sekolah dan tidak mengajar sesuai kontrak kerja berdasarkan jam yang telah ditentukan, masuk dalam kategori melanggar kontrak dan harus dipecat. “Jadi guru itu harus ada kontrak kerja. Kalau malas ya dipecat saja kan masih banyak orang yang serius ingin menjadi guru tetapi belum diberikan kesempatan,” katanya.
Bahkan, ceritanya, ada yang mengabdi tanpa pamrih dengan niat hanya mendidik agar anak bangsa mendapatkan pendidikan layak. “Masa orang berani menerima gaji tanpa bekerja. Malu dong jadi guru seperti itu,” katanya.
Dijelaskannya di Australia Kepala Sekolah memiliki kewenangan besar untuk menyukseskan pendidikan. Aturan di sekolah itu harus ketat dan Kepala Sekolah harus tegas terhadap aturan itu.
“Lucu kan Kepala Sekolah melindungi guru yang malas. Otonomi sekolah itu harus ditegakkan dan pemerintah daerah tidak perlu campur tangan terlalu jauh,” katanya.
Beberapa daerah di Indonesia tidak serius mengurus pendidikan. Buktinya, tidak pernah meninjau sekolah terpencil dan hanya mendengar laporan sepihak.
Padahal, pengawasan kalau ada kunjungan dari orang besar mereka datang berbondong-bondong menyetorkan muka dengan sandiwara agar atasan memerhatikan. “Itu tindakan munafik yang perlu diberantas. Terlalu menolerir kesalahan,” ujarnya. (BE.13)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
