Oleh : Muhadi
MERESPON kebijakan pemerintah daerah Kota Bima kita, terkait pemberitaan oleh mediaonline (kahaba.info/22/05/12) terhadap akumulasi alokasi anggaran pemerintah terkait Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) senilai Rp.18 Miliyar, sedangkan pencapaian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bima sebesar Rp.10 Miliyar. Tentunya logika seperti ini tidak wajar, sebagian besar akan merasa resah, terisaukan dan setidaknya masyarakat yang akan membaca informasi seperti ini akan merasa terusik.
Apa artinya jikalau uang rakyat digunakan untuk sesuatu yang tidak memiliki hasil yang signifikan dan positif, terutama untuk kepentingan pembangunan daerah dan masyarakat. Apa artinya jika uang rakyat. yang seharusnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat harus hilang dengan kesenangan dan kemewahan segelintir orang. Inikah yang dinamakan tanggung jawab itu, atau inikah yang dinamakan wakil rakyat itu. Keadilan seperti apakah yang akan mereka retorikakan dihadapan masyarakat. Kata-kata hemat itu hanya sekedar retorika. Nampaknya republik ini akan mulai rame mewacanakan dirinya menjadi republik retorika.
Keputusan Dekonstruktif
Tentunya dari sudut pandang manapun istilah pemborosan anggaran, bersifat dekonstruktif. Dekostruktif dalam artian antiteori dan antimetode, merupakan tindakan yang tidak wajar. Setidaknya terdapat beberapa analisis terkait kebijakan pemerintah dalam pengalokasian anggaran yang berujung pada pemborosan uang rakyat, Pertama, Kecendrungan dalam pengambilan setiap keputusan terkait kebijakan pemerintah bersifat dekonstruktif dan parsial, penilaian didasarkan tanpa adanya indikator dan parameter yang jelas dalam hal pengambilan keputusan. Jikalau ada parameter akan dinilai rancu dan pragmatis.
Kedua, matematika yang digunakan cenderung tidak proposional, bukan pada argumentasi yang berlandaskan pada tipe pengambilan keputusan yang konstruktif dan model nalar matematika pembangunan daerah. Antrian pembenahan disektor lain menunggu kebijaksanaan pemerintah dalam memaksimalkan penggunaan anggaran daerah, terutama sektor pengembangan ekonomi dan pembenahan bukan sektor pemberdayaan pejabat.
Ketiga, tipologi pembenahan dan visi pembangunan dalam perumusan pengalokasian anggaran dianggap sesuatu yang stangnan alias konstan tanpa mempertimbangkan dengan akal sehat dan moral spiritual. Mengakibatkan pengelolaan keuangan daerah dan pendistribusian ke temapt-tempat strategis seperti sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi sektor riil terabaikan, maka perlu ditinjau ulang kembali. Keempat, Aspek prioritas menjadi sangkaan belaka tanpa dasar hukum dan keputusan yang tepat. Kelima, terlepas dari argumentasi yang logis dan tranparansi kritik masyarakat. Perlu dilakukan advokasi pengalokasian anggaran pemerintah kedepannya sehingga akan lebih adil dan proposional dalam implementasi di setiap program pemerintah.
Korupsi Semakin Kuat
Indikasi penyimpangan pada perjalanan dinas akan semakin kuat. Kecurigaan itu tentu semakin ada, setidaknya tawaran agar dialkukan verifikasi dan transparansi publik semakin dibutuhkan. Tinggal dilakukan klarifikasi dan verifikasi di masing instansi sudah sudah ditetapkan. Setidaknya jangan sampai ada pembiaran terus menerus. Peran aparat juga tidak kalah penting, jikalau nantinya adanya dugaan kasus penggelapan atau fiktifikasi dokumen perjalanan. Terutama untuk gelar perkara dan sebagainya.
Kondisi seperti ini akan memperkuat dugaan kedalam korupsi uang negara oleh segelintir oknum tertentu. Jelas sangat merugikan dan menindas rakyat banyak, sebuah amanah menjadi terabaikan dan terlantarkan. Perampokan uang negara oleh birokrat pemerintah lewat manipulasi perjalanan dinas sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Ini mencerminkan meratanya mental korupsi di lingkungan birokrasi. Untuk menanggulanginya, diperlukan pemimpin yang kuat, bersih dan jujur serta perombakan radikal di birokrasi sehingga menciptakan pemerintahan yang baik. Disisi lain, wakil rakyat di DPRD pun dipertanyakan tanggung jawab dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan.
Apakah para pejabat kita dan dari partai politik cenderung mengembangkan budaya kerja yang bertentangan dengan sistem profesional. Sehingga kuat dugaan menjelang pemilu 2013, mereka sibuk cari dana untuk partai dan eksistensinya. Jika tak ada perombakan radikal di lingkungan birokrasi, kondisi ini akan terus bertahan, bahkan bertambah buruk Salah satu cara perombakan adalah dengan memilih pemimpin yang benar-benar bersih, jujur, dapat dipercaya, dan berani mengubah keadaan. Mengutip penyataan Dahlan Iskan terkait ditanyakan tentang penanganan SPPD ketika menjadi dirut PLN “di PLN saya pernah menghentikan atau puasa SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas. Selama satu bulan penuh dilarang melakuan perjalanan dinas, kordinasi cukup dilakukan jarak jauh,” ujarnya.
Pengawasan Internal Dipertanyakan
Merebaknya aksi korupsi di semua instansi pemerintah ini menunjukkan fungsi pengawasan internal yang terjadi di setiap unit kerja birokrasi dan lembaga pemerintah lainnya tidak efektif. Buktinya, pemborosan, semisal melalui perjalanan dinas, dari dulu hingga kini terus berlangsung. Idealnya setiap pemborosan yang terjadi harus mendapatkan sanksi. Di Bappeda, misalnya, jika ada pemborosan dalam perjalanan dinas, pelaku diminta mengembalikan uang ke kas negara.
Proses pengawasan hampir sulit ditemukan baik oleh sekelompok masyarakat atau instansi terkait yang benar dan kredibel dalam mengawal kebijakan pemerintah. Peran lembaga sosial ataupun swadaya masyarakat minim, keprihatinan masyarakat akan kondisi real pemerintah terutama pengelolaan anggaran semakin pudar saja. Sampai kapan kondisi ini berakhir, apakah harus menunggu orang luar untuk masuk membenahi kondisi dana mbojo.
Penulis adalah Mahasiswa Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan Universitas Airlangga.
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
