Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Peranan Kesultanan Bima dalam Sejarah Pendidikan di Bima

Muhammad Adlin Sila

Tulisan ini berangkat dari keprihatinan terhadap kurangnya pengetahuan generasi muda terhadap perananan Kesultanan Bima dalam sejarah pendidikan di Bima khususnya dan di Indonesia umumnya. Oleh karena itu, perlu kiranya menapaktilasi sejarah perkembangan pendidikan di Bima sejak zaman kesultanan hingga kini. Dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Sigi Mbojo: Simbol Religiusitas Muslim Bima, Dulu dan Sekarang” (Bimeks, 30 April dan 1 Mei 2012), bahwa betapa Sigi Mbojo menjadi simbol identitas keagamaan dan sekaligus peletak dasar prinsip Nggusu Waru bagi pemimpin Dou Labo Dana Mbojo saat ini.

Dalam bidang pendidikan, pihak Kesultanan Bima memiliki peranan besar. Sultan kedua Bima yang bernama Sultan Abi’l Khair Sirajuddin (atau aslinya bernama Abdul Khair Sirajuddin) (1640-1682), menjadikan Islam sebagai agama resmi kesultanan. Dalam masa kepemimpinannya, Abi’l Khair membentuk sebuah lembaga yang bernama Lembaga Sara Hukum yang terdiri dari Sara-Sara yang dipimpin oleh Ruma Bicara, Sara Tuan dipimpin oleh Sultan dan Sara Hukum dipimpin oleh Qadhi (Hilir Ismail, 1996: 21 dan 2004: 75).

Pada masa Sultan Muhammad Salahuddin, dibentuk sebuah lembaga yang bernama Al-Mahkamat Ash-Syariyyah. Lembaga ini dipimpin Lebe Dala yang bertugas dan bertanggungjawab mengurusi masalah peradilan dalam bidang Jinayat (Pidana Islam) seperti Hudud dan Rajam bagi pelaku pembunuhan dan pencurian serta zinah. Ada juga yang namanya Badan Hukum Syara yang memiliki beberapa bagian seperti; Bagian Umum, Bagian Tabligh dan Dakwah, Bagian pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan. 

Dari cerita pegawai di Museum Mbojo, tempat eksekusi para pelanggar syariat Islam ini dieksekusi di lantai dua Asi Bou (sekarang Museum Asi Mbojo) pada zaman Sultan Muhammad Salahuddin. Sebelum pelaku dieksekusi, mereka diarak keliling kampung agar diperlihatkan kepada masyarakat akibat yang akan ditanggung kalau melakukan hal serupa. Tradisi ini dinamakan baja dalam bahasa Bima yang bertujuan untuk membuat malu bagi si pelaku dan peringatan bagi mereka yang mencoba untuk melakukan hal yang sama. Di zaman sekarang, terlebih setelah zaman kesultanan berakhir, tradisi baja sudah ditinggalkan dan digantikan dengan sistem penjara.

Pada tahun 1963, Badan Hukum Syara berubah nama menjadi Yayasan Islam Bima hingga sekarang. Yayasan Islam (YASIM)  saat ini dipercayai oleh pihak Yayasan Istana yang diketuai Dr. Hj. Siti Maryam, atau dikenal dengan panggilan Ina Kau Mari atau Ruma Mari untuk mengurusi masalah ke-Lebenae-an (petugas masjid) seperti mengangkat dan memberhentikan Lebe, Cepe Lebe, Hotib, Bilal dan Marbot yang bertugas di masjid-masjid yang berada di sepuluh wilayah bekas kejenelian (setingkat kecamatan) di seluruh Bima dan juga dalam memberikan tanah jaminan bagi para perangkat masjid tersebut. YASIM juga mengelola madrasah-madrasah yang didirikan oleh Badan Hukum Sara kesultanan Bima sejak tahun 1931 yang berjumlah 75 buah dan yang didirikan YASIM sejak tahun 1968 yang berjumlah 28 buah (YASIM, 2011).

Di zaman Sultan Muhammad Salahuddin dan Ruma Bicara Abdul Hamid (1917-1951), masyarakat mengenalnya sebagai masa kejayaan bidang pendidikan di Bima. Putra-putra terbaik Bima dikirim ke Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Baghdad serta negara-negara Muslim lainnya seperti Istambul. Ada juga yang dikirim ke Makassar seperti Idris Jafar untuk belajar Pamong disana. Dari wawancara dengan Muma Ghani Masykur, Sultan mengirim beberapa orang untuk belajar ilmu agama ke Timur Tengah tahun 1947 seperti H. Umar Idris (Ngali), H. Ibrahim Ahmad (Campa), H. Yusuf Abubakar (Raba-Dompu), H. Fadil (Sape) dan H. Abdurrahman Idris atau disingkat Haris (ayahanda H. Abd. Rahim Haris, pemiliki Hotel Muthmainnah, Bima). H. Abdurrahman Haris menjadi salah satu guru pertama di Madrasah Darul Ulum yang didirikan oleh Sultan. Salah satu murid dari madrasah ini adalah Muma Ghani Masykur, tokoh Masyumi dan Muhammadiyah Bima.

Sebelum itu, Sultan mengirim putra-putra Bima belajar ke K.H. Hasyim Asy’ary di Jombang, Jawa Timur tahun 1939 seperti TGH. Amin Ismail (Santi) dan TGH. Abd. Rahman Usman. Sebagian juga dikirim ke Yogyakarta seperti Ilyas Mustafa dan Tayeb Abdullah tahun 1940.  Sumber dana untuk itu diperoleh dari dana ngaji dan dana pajakai. Alumni-alumni inilah yang kemudian yang dipanggil kembali ke Bima setelah tamat untuk menjadi tenaga pengajar di madrasah-madrasah yang dibangun oleh Sultan dan Ruma Bicara.  

Tapi tidak semua dari mereka yang alumni Timur Tengah memperoleh pembiayaan dari Sultan. Terdapat satu ulama Bima yang belajar di Arab Saudi atas biaya sendiri seperti TGH Said Amin, mantan ketua MUI terlama Kota Bima. TGH. Said Amin menjadi salah seorang ulama yang bersekolah di Arab Saudi dari tingkat ibtidaiyah (dasar) hingga tingkat al-Jami’ah (perguruan tinggi) dan kembali ke Bima pada zaman Sultan Muhammad Salahuddin. TGH. Said Amin dikenal sebagai pendiri madrasah swasta yang menjadi cikal bakal berdirinya MAN 1 Bima. Beliau juga salah satu tenaga pengajar di sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) pertama di pulau Sumbawa dan Lombok yang saat ini berubah nama menjadi MAN 2 di Tolo Bali, Bima.

Dari itu fakta sejarah ini maka boleh dikatakan bahwa peranan Sultan dan Ruma Bicara dalam mencetak cerdik pandai dalam bidang agama di Bima sangatlah besar. Mereka disekolahkan ke Timur Tengah untuk lebih memperdalam agama Islam atas biaya pihak kesultanan. Setelah tamat, mereka kembali ke Bima untuk menempati posisi-posisi di kesultanan, di lembaga-lembaga pendidikan agama dan menjadi Lebe dan Imam di masjid-masjid yang dikelola pihak kesultanan. Boleh dikata, Islam di Bima berangkat dari atas. Masjid dan rumah-rumah para Haji ini menjadi tempat belajar agama bagi masyarakat sekitarnya.

Akhirnya, ummat Islam di Bima secara turun temurun belajar agama dari satu rumah ke rumah lain, dari satu masjid ke masjid, karena keahlian masing-masing Haji atau ulama ini berbeda-beda. Belajar mengaji ke rumah para Haji utamanya dilakukan setelah Maghrib hingga Isya. Aspek ang dikaji hanya tata cara membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar seperti makhraj dan tajwidnya. Tradisi belajar ilmu agama di rumah para Haji ini dikenal dalam bahasa Bima dengan: lao ngaji di uma guru, ngge’e nuru di uma guru” (pergi belajar mengaji dan mengabdi di  rumah Guru). Karena tidak menerima imbalan, sebagai gantinya maka para murid ini membantu pekerjaan para Haji ini di rumah, ada yang membantu menjaga ternaknya, ada yang menjaga kebunnya, atau membantu mencarikan kayu bakar di hutan untuk menyalakan api. Tapi setelah pekerjaan di rumah Haji selesai, mereka pun pulang kembali ke rumah masing-masing.  

Budaya nyantri atau mondok di pesantren layaknya di Jawa tidak populer di kalangan Muslim Bima setidaknya hingga tahun 1980-an. Ada beberapa pesantren besar di Bima yang cukup dikenal diantaranya adalah Darul Hikmah di Karara milik H. Abd. Rahim Haris (pemilik Hotel Muthmainnah), Al-Ikhwan di Salama milik H. Zainul Arifin (Abuya), mantan Bupati Bima tahun 2000-2005, Al-Mukhlisin di Parado milik H. Muhammad Hasan, Al-Husainy milik H. Ramli, dan Al-Ikhlas di Kampung Melayu milik Muhammadiyah. Umumnya pesantren ini membuka madrasah yang mengajarkan pendidikan agama dan umum sesuai kurikulum Kementerian Agama dan hampir tidak memberikan kajian kitab kuning layaknya pesantren di Jawa. Hanya beberapa pesantren yang menyediakan pemondokan seperti pesantren Darul Hikmah dan Al Husainy, terkhusus bagi mereka yang berasal dari pedalaman Bima atau dari Flores Barat, NTT, yang tidak memiliki sanak keluarga di Bima. Sementara santri yang berasal dari sekitar Kota Bima akan pulang ke rumah masing-masing setelah proses belajar-mengajar selesai.

Pesantren Al-Husainy tergolong paling besar dari segi jumlah santri di Bima. Setiap tahun pesantren ini menerima 160 santri. Pesantren ini dikenal memiliki kekhususan dalam mencetak qori (laki-laki) dan qori'ah (perempuan) yang sering menjadi langganan juara di berbagai ajang lomba MTQ di Bima dan NTB. Nama pesantren ini mengambil nama Haji Abubakar Husain, tokoh Muhammadiyah dan pemenang qori tingkat internasional. Begitupun Haji Ramli, pimpinan pesantren Al-Husainy saat ini, yang merupakan anak menantu Haji Abubakar Husain, adalah juga qori juara internasional. 

Pendeknya, madrasah adalah lembaga pendidikan tertua di Bima yang menyediakan pelajaran agama kepada masyarakat dari zaman kesultanan hingga sekarang. Sementara lembaga pesantren muncul belakangan tahun 1980-an. Saat ini, jumlah pesantren di kota Bima adalah 19, dengan 108 kyai dan 2,828 santri, sementara di kabupaten Bima terdapat 44 pesantren dengan 823 kyai dan 4,945 santri (Kemenag Kota dan Kab. Bima, 2010).  Pesantren sepertinya kurang berkembang di Bima. Tradisi mondok dan menginap di tempat kyai atau guru agama ketika belajar agama (mengaji) tidak ada jejaknya dalam masyarakat Bima. Yang ada adalah setelah mengaji, yang dimulai setelah sholat Maghrib, para murid kembali ke rumah masing-masing setelah sholat Isya berjama'ah di masjid, yang letaknya berdekatan dengan rumah guru agama tersebut.

Hanya saja tradisi lao ngaji ke uma guru, ngge’e nuru di uma guru kurang memuaskan hati Sultan Muhammad Salahuddin bersama dengan Ruma Bicara Abdul Hamid mendirikan Madrasah Darut Tarbiyah tahun 1931 dan Madrasah Darul Ulum tahun 1934. Sultan mendatangkan Syech Husain Syehab dari Jakarta tahun 1941 untuk membantu pengajaran di Madrasah Darul Ulum sekaligus mendirikan organisasi NU di Bima. Sedangkan Ruma Bicara mendatangkan Muhammad Said dari Makassar untuk membantu pengajaran di Madrasah Darut Tarbiyah. Berdirinya Muhammadiyah di Bima tahun 1937 tidak terlepas dari peranan Ruma Bicara Abdul Hamid. Gedung Madrasah Darul Ulum bisa dilihat bekasnya di Suntu, tidak jauh dari SD 02 sekarang. Sementara gedung Madrasah Darut Tarbiyah saat ini dtempati SMA Yasim di Raba. Tidak hanya pendidikan agama Sultan dan Ruma Bicara juga mendirikan HIS (Hollands Indlanse School) atau sekolah untuk pribumi tahun 1921. Saat ini, HIS menjadi SMA 1 Bima di Raba. Sekolah perempuan juga didirikan oleh Sultan tahun 1922 yaitu Sekolah Keterampilan Wanita di Raba.

Dari beberapa sekolah inilah, lahir tokoh-tokoh Bima yang menjadi tokoh-tokoh pergerakan nasional yang berperan dalam kelahiran organisasi-organisasi seperti Sarikat Islam (SI), Persatuan Islam Bima (PIB), Ikatan Qoum Muslim (IQAM), Persatuan Penuntut Ilmu (PERPI), Muhammadiyah dan NU. Beberapa tokoh-tokoh itu adalah Usman Abidin, Amin Ismail dan Abdurrahman Bandu dari Madrasah Darul Ulum. Sedangkan dari Madrasah Darut Tarbiyah adalah Abdul Muthalib Daeng Talu (AD Talu), Idris M. Jafar, M. Hasan, Salim, M. Jafar dan M. Umar Ompu Bana. Lahirnya PERPI 3 Maret 1938 yang dirintis M. Saleh Bakry dan Masyumi 5 Januari 1950 adalah prakarsa para tokoh keluaran madrasah tersebut (Hilir Ismail, 2004: 167). 

Simpul dari ini semua adalah, peranan Kesultanan Bima terutama di masa Sultan Muhammad Salahuddin dan Ruma Bicara Abdul Hamid besar sekali dalam perkembangan pendidikan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selayaknyalah bagi generasi muda Dou Mbojo untuk memberikan apreasiasi yang lebih terhadap sosok Sultan dan Ruma Bicara yang telah melahirkan tokoh agama dan para pejuang pergerakan nasional di Bima hingga membantu mengobarkan semangat nasionalisme di seantero Bima saat itu.

Momentum Hardiknas yang diperingati setiap tanggal 2 Mei semestinya dijadikan ajang untuk refleksi diri dengan mengingat kembali jasa para leluhur kita di masa lalu demi memperbaiki kondisi pendidikan saat ini di Bima secara khusus dan di Indonesia secara umum. Semoga Bima tetap akan menjadi tempat lahirnya tokoh-tokoh perjuangan dalam bidang pendidikan dalam upaya mencerdaskan Dou Labo Dana Mbojo.     

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Pendidikan

  Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Kantor Cabang Dinas Dikbud Kabupaten dan Kota Bima, menyelenggarakan lomba “Gerak Jalan Merdeka” beregu,...

Pendidikan

Kota Bima, Bimakini,- SMA Negeri 3 Kota Bima, Sabtu (20/5/2023) menggelar kegiatan Panen Karya Projek Penguatan profil Pelajar Pancasila (P5). Kegiatan bertajuk “ Seribu...

CATATAN KHAS KMA

  ‘’SAYA mau tes daya ingat pak KMA,’’ katanya kepada saya suatu waktu. KMA itu, singkatan nama saya. Belakangan, semakin banyak kawan yang memanggil...

CATATAN KHAS KMA

SAYA belum pernah alami ini: handphone tidak bisa dipakai karena panas. Bukan hanya sekali, Tetapi berkali-kali. Juga, bukan hanya saya, tetapi juga dua kawan...

Opini

Oleh : Nurul Diana Artikel ini bertujuan untuk menganalisis unsur-unsur pendidikan yang sudah diterapkan dan penentuan dasar kebijakan pendidikan yang diterapkan pada era globalisasi....