(Oleh Qanita Shafiyyah)
Masih dalam suasana hingar-bingar perayaan Hari Kartini, yang diperingati setiap 21 April ini. Mulai dari pawai siswa TK dan pelajar, lomba untuk para wanita, pun seminar tentang peningkatan kualitas perempuan, banyak diselenggarakan di berbagai daerah. Mulai dari Sabang sampai Merauke, tidak ketinggalan Kota Bima. Mulai dari kalangan rakyat jelata hingga para pejabat. Semua tidak ingin ketinggalan mengungkapkan rasa syukur dan upaya mereka untuk mengenang jasa besar RA Kartini. Sosok yang berhasil membawa nasib kaum perempuan Indonesia menjadi lebih baik.
Namun, dibalik kebahagiaan itu, sebenarnya terselip bahaya yang mengancam. Bukan hanya kaum perempuan Indonesia, tetapi juga keluarga yang berimbas pada rusaknya generasi negeri ini. Tragisnya, bahaya yang mengancam ini jika tidak ditelaah secara mendalam, seolah menjadi lentera harapan bagi peningkatan kualitas perempuan. Bahaya tersebut adalah Rancangan Undang-undang (RUU) Keadilan dan Kesetaraan Gender ( KKG ) yang diusulkan sejak Agustus 2011 lalu. Meskipun menuai banyak protes dari kalangan Ormas Islam, namun sekarang sedang dilakukan upaya maksimal oleh para wakil rakyat untuk disahkan menjadi UU yang memiliki kekuatan hukum lebih kuat.
Pasal-Pasal Ancaman
Bagi orang yang tidak mengetahui dan memahami hakikat hukum Islam, pasal-pasal dalam RUU Gender /KKG ini seolah biasa saja. Padahal, di dalamnya ada bahaya karena isinya merusak dan menyesatkan. Misalnya dalam mendefinisikan tentang keadilan dan kesetaraan gender dalam pasal 1. Mereka memandang Islam sangat diskriminatif terhadap perempuan. Misalnya, syari’ah yang mengatur tentang pakaian, larangan perempuan menjadi Kepala Negara, tanggung jawab keibuan, perkawinan, perwalian, nusyuz, dan lainnya dianggap tidak adil bagi perempuan. Islam dilekatkan dengan bias patriarkis, bahkan mereka juga menuduh banyak ayat dan hadis yang bermuatan misogynist (membenci wanita). Semangat dalam RUU ini pada hakikatnya menggugat Islam.
Pasal 3 huruf fmenyatakan akan menghapus segala praktik yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salahsatu jenis kelamin. Artinya, peran khas laki-laki sebagai suami dan pemimpin bagi wanita dan peran khas wanita sebagai istri, ibu dan pengatur rumah-tangga adalah pembekuan peran, sehingga harus dihapus.
Pasal 8 huruf bmenyatakan, setiap warga Negara berhak mendapatkan perlindungan melalui peraturan yang tidak diskriminatif gender. Berarti tidak boleh ada peraturan yang bersumber dari syariah Islam, termasuk Perda-Perda Syari’ah harus dicabut, karena dipandang diskriminatif gender.
Pasal 9 ayat 1menyatakan, kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi, hak pendidikan, hak ekonomi dan ketenagakerjaan, keterwakilan perempuan, perkawinan dan hubungan keluarga. Pasal ini sangat berbahaya karena membolehkan perempuan bekerja keluar rumah meski tidak diijinkan suaminya, memfasilitasi aborsi janin, membolehkan perempuan menikahkan dirinya sendiri, dan lainnya.
Pasal 21 ayat 2menentukan pnambahan pidana bagi tindak pidana yang berlatarbelakang diskriminasi gender, hingga sepertiga dari masa pidana yang telah diatur dalam KUHP dan UU lainnya. Bahkan dalam pasal 70, RUU ini memberikan ancaman pidana penjara bagi yang melanggar pasal 67.
Dampak RUU Gender/KKG Bagi Perempuan, Keluarga dan Generasi
Jika RUU sesat ini diterapkan, jelas akan merusak perempuan, menghancurkan sendi kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat yang telah disyariatkan Islam. Bahkan, bisa menghancurkan peradaban. Hal itu karena hilangnya peran perempuan sebagai ibu dan pendidik generasi bisa mengantarkan pada punahnya generasi (lost generation).
RUU inipun diusung atau diusulkan oleh orang-orang yang berpikiran liberal, menentang aturan Islam dan antek-antek asing. Mereka mengetahui persis ide KKG ini tidak sejalan dengan keyakinan mayoritas penduduk Indonesia. Namun, tetap dipaksakan karena mereka mendapat keuntungan materi, status, dan posisi jika sukses mengusung ide KKG ini. Bahkan, jika RUU ini dianggap memerjuangkan atau harapan bagi hak-hak perempuan, tidaklah benar.
Mengutip pernyataan Saharuddin Daming, Komisioner Komnas HAM, RUU ini tidak memiliki urgensitas untuk diterapkan di Indonesia. Jika gender yang dimaksudkan dalam UU justru mengotak-atik fitrah perempuan, maka justru akan mengancam keberadaan perempuan Indonesia itu sendiri. Lalu pertanyaannya adalah, apakah kita akan berharap pada RUU rusak ini?
Peningkatan Kualitas Perempuan hanya dengan Islam
Sungguh, Islam menempatkan laki-laki dan perempuan dengan posisi dan perannya masing-masing. Ada hak dan kewajiban yang sama, ada pula yang berbeda untuk saling mengisi dan melengkapi. Peran perempuan sebagai istri, ibu (al umm) dan pendidik generasi (murabbiyat al ajyal) adalah peran yang mulia dan bergengsi. Berbeda dengan pandangan barat yang menganggap peran ini menindas, maka idak boleh dilekatkan pada perempuan.
Hal yang harus kita ingat adalah, penempatan peran perempuan tanpa menukarnya dengan peran laki-laki sebagai kepala keluarga, bukanlah diskriminasi. Justru ini menjamin ketenangan kehidupan keluarga. Jaminan ini adalah keniscayaan. Karena aturan ini bersumber dari Allah SWT, yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan itu sendiri. Bahkan, Mahatahu terhadap segala kecenderungan dan kebutuhan laki-laki dan perempuan di dunia ini, Muslim maupun non-Muslim.
Maka, melalui momentum peringatan Hari Kartini ini kita berharap ada peningkatan kualitas perempuan dalam segala aspek kehidupan. Janganlah kita menggantungkan harapan pada aturan yang rusak (RUU Gender/KKG). Tetapi, hanya dengan Islam, maka perempuan dan laki-laki bisa bersinergi optimal melahirkan generasi berkualitas, di Bima khususnya dan untuk Indonesia umumnya. Karena Islam datang untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahua’lam bi ash shawab.
Penulis adalah Ketua Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD II Bima
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
