Patuh dan setia kepada perundang-undangan, jujur, amanah dan tidak berpihak, serta menjalankan kewajiban sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan bertanggungjawab, itulah sumpah yang diucapkan Notaris ketika dilantik. Sodikin Andaya, SH, S.Kn, adalah satu di antara Notaris yang melaksanakan komitmen itu di Bima sekitar 14 tahun. Kini Sodikin akan memasuki masa purnabakti sebagai Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Bagaimana perjalanan pengabdian pria Tegal Jawa Tengah (Jateng) di Bima? Berikut catatan Lalu Muhammad Tudiansyah.
Bagi orang awam, keberadaan Notaris dan PPAT mungkin sedikit asing. Tetapi, bagi mereka yang tahu persis arti dan keberadaannya, Notaris dan PPAT boleh disejajarkan dengan institusi yang berorientasi pada perbaikan taraf hidup, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Termasuk pelaksana misi sosial yang menjembatani pencapaian tujuan masyarakat yang heterogen.
Bagi mereka secara personal, secara kelembagaan, atau kelompok masyarakat tertentu yang telah berhubungan dengan Notaris dan PPAT, pasti menganggap jika Notaris dan PPAT adalah profesi yang sangat mulia. Karena keberadaan dengan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) membantu masyarakat maupun lembaga atau kelompok tertentu.
Misalnya, keberadaan Notaris dan PPPAT memudahkan masyarakat berhubungan dengan bank atau lembaga perkreditan lainnya. Selain itu, dalam hal peralihan hak, seperti jual-beli, hibah, waris, dan pembagian harta, Notaris dan PPAT memiliki peranan signifikan. Pendek kata, sejumlah urusan itu, dapat terurai hingga mencapai tujuan sesuai harapan ideal, berkat jasa Notaris dan PPAT.
Dari asumsi positif dengan kiprahnya yang tergolong mulia itu, menggiring Sodikin Andaya melabuhkan cita-citanya sebagai Notaris dan PPAT. Sebelumnya, alumnus Fakultas Hukum Universitas Jayabaya ini berprofesi sebagai guru dan dosen di Jakarta. Namun, karena panggilan nurani, bapak tiga anak dan tiga cucu kelahiran Tegal Jateng 20 Juni 1947 itu, memilih menjadi Notaris dan PPAT.
Setelah menamatkan pendidikan Spesialis Kenotariatan (S.Kn), sekarang Magister Kenotariatan (M.Kn) di Universitas Indonesia (UI) tahun 1996, pria pengagum Soekarno yang pernah bercita-cita menjadi tentara itu, memilih melaksanakan profesinya di Bima (sebelum ada pemekaran Kota dan Kabupaten Bima) tahun 1997. Legalitas profesinya sebagai Notaris dikukuhkan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Hanusia (Menkumham, nomenklatur sekarang), sedangkan PPAT melalui SK Badan Pertanahan Nasional (BPN, dahulu Agraria).
Memilih daerah Bima, menurut penyuka seni lukis, seni pahat, dan kolektor benda-benda Proklamator ini, terbilang unik. Singkat kata, awalnya Bima tidak pernah masuk dalam konsep rencana melaksanakan profesinya. Apalagi, beberapa informasi yang pernah didengar dari beberapa rekannya di Jakarta kala itu, jika Bima dikenal dengan watak keras. Namun, karena jiwanya juga senang akan tantangan, akhirnya Bima dipilih.
“Saya mendengar cerita teman-teman di Jakarta kalau orang Bima itu dikenal keras. Tapi, saya yakin, walaupun wataknya keras pasti orangnya baik-baik,” ujar Sodikin di kantornya jalan Soekarno-Hatta Kelurahan Paruga Kota Bima.
Pilihan daerah Bima kala itu diperkuat rekan kuliahnya asal Dompu Notaris dan PPAT, Suryansyah, SH, S.Kn, yang kini menjalankan profesi di Jakarta. Apalagi, saat itu di Bima baru ada satu Notaris dan PPAT (Notaris dan PPAT ibu Baiq). “Begitu sampai di Bima, makin lama saya makin senang, karena orangnya baik-baik. Sejak tahun 1997 saya berat pindah ke Jakarta,” kata Sodikin. (bersambung)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
