Connect with us

Ketik yang Anda cari

Dari Redaksi

Budaya dan Kekerasan

   Pengaruh budaya memenggaruhi munculnya konflik atau kekerasan di daerah Bima. Dalam pengamatan dosen Sekolah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP Mbojo Bima, Syarif Ahmad, karakter Dou Mbojo yang temperamental dan cepat tersinggung adalah faktor pemicunya, berdasarkan hasil penelitian sepanjang tahun 2005-2010. Identifikasi Syarif mesti diamini, karena budaya setempat—pada tingkatan tertentu—memang membingkai warna sikap komunitas.

   Tampilan kekerasan di Bima terkadang mengejutkan pada level eskalasi, dampak, dan kesadisannya. Perkelahian antarkampung di wilayah Kae dan sebagian  Kota Bima, misalnya, berpotensi meluas karena kesetiakawanan dan rasa solidaritas yang salah arah. Kita kerap dikejutkan kasus senggolan di arena dangdutan atau musik, kemudian merambah hingga melibatkan massa. Mereka yang tidak tahu-menahu, asal satu kampung, dihajar atau diintimidasi. Kenyamanan pun ternoda. Instabilitas dalam areal tertentu sudah tergambar di depan mata.

    Selain itu, kita juga sering dikejutkan agresivitas massa pendemo dari Sape dan Lambu yang mengumbar kekerasan, ya terhadap fasilitas dan manusia. Kasus pembakaran pencuri di pantai Papa adalah episode kelam yang menyejarah. Noktah hitam dalam bingkai kusut sosial kita.         

     Dari sejumlah kasus itu, ada aspek yang perlu disadari bersama. Pola agresivitas masyarakat mesti dicermati. Pada wilayah tertentu, reaksi masyarakat ada yang lebih dominan aksi personal. Di wilayah Timur, Wawo, Sape, Lambu, bahkan Wera dan Ambalawi jarang lagi terdengar konflik yang melibatkan massa. Saat ketegangan antara dua orang, biasanya selalu “diselesaikan secara jantan di antara mereka”.

    Namun, di sekitar Kae dan bagian Utara Kota Bima, kejadian yang awalnya sangat personal dan sepele, mampu mewabah hingga melibatkan ratusan massa. Jalan diblokir, beragam  senjata hingga bom menemukan momentum dipamerkan. Bukankah Wali Kota Bima, HM. Qurais, pernah mengancam muncur jika massa masih bersitegang?

    Artinya, diperlukan identifikasi yang lebih serius oleh berbagai pihak untuk memahami pola kemunculan konflik agar ke depan  solusi penanganannya tepat. Memahami akar konflik dan trend wilayah setempat adalah sisi lain yang diperhatikan. Tentu saja, kita tidak menginginkan aspek budaya menyumbang potensi konflik yang mengacaukan harmoni dan pembangunan.

      Pasti ada matarantai yang terputus yang jika bisa disambung lagi akan menawarkan suasana lebih ramah. (*)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Advertisement

Berita Terkait

Opini

Oleh: Asikin, S.Pi   Keanekaragaman budaya yang dimiliki Bangsa Indonesia, menjadi keunikan yang sangat membanggakan dimata dunia. Sebagai bangsa yang majemuk, yang terdiri atas...

Opini

Oleh: Eka Ilham.M.Si MENYOAL tentang tindak kekerasan dalam dunia pendidikan sama halnya kita menggali luka sebuah persoalan anak bangsa yang semakin akut. Untuk itu...

Pemerintahan

Bima, Bimakini.- Camat Bolo, Mardianah, SH, mengajak warga  membudayakan gotong-royong. Itu merupakan  satu di antara visi-misinya memimpin  Bolo. Saat kegiatan gotong-royong di Desa Rato,...

Peristiwa

Kota Bima, Bimakini.- Budaya daerah merupakan identitas yang membedakan daerah tersebut dengan  yang lain. Setiap daerah di Indonesia  memiliki identitas  sesuai keunikan, sifat, ciri-ciri,...

Hukum & Kriminal

Bima, Bimakini.com.- Maraknya penjual petasan saat  bulan Ramadan   menjadi atensi aparat Kepolisian. Selain meresahkan masyarakat yang sedang beribadah, juga membahayakan.