Dinamika kaum muda, yang antara lain diekspresikan mahasiswa, mewarnai daerah Bima. Simak saja rangkaian “panas” di dalamnya. Di STKIP Taman Siswa, massa mahasiswa memalang Sekretariat BEM saat memrotes distribusi beasiswa yang dinilai tidak adil. Ketegangan dengan pimpinan kampus pun terjadi. Di STISIP Mbojo Bima, massa mahasiswa menyorot legalitas panitia OPSPEK dan memalang sekretariat.
Terakhir, kita lagi-lagi dikejutkan dengan kericuhan saat pemilihan Ketua BEM STKIP Bima. Eskalasi dampaknya lebih luas, ketegangan muncul, kaca ruangan kampus berantakan. Pemandangan yang ironis adalah ada yang beraksi membawa senjata tajam (Sajam). Satu pertanyaan yang mengemuka adalah ada apa dengan sikap mahasiswa Bima dan mau ke mana (quo vadis)?
Kita sangat merespek agresivitas mahasiswa saat menyorot, mengeritisi, dan menggugat kejanggalan di sekitar mereka. Tipologi intelektual muda memang harus seperti itu, memertanyakan hal-hal janggal dan membangun sikap kritis. Selalu menyisakan pertanyaan untuk menguji akurasi, kevalidan, dan keabsahan sesuatu. Tidak “mem-bebek mem-beo”.
Fenomena kekerasan di areal kampus di Bima dan Indonesia umumnya bukan lagi berita baru. Sudah lama kampus tidak lagi murni lingkungan akademis dengan kekentalan warna keintelektualan, kawah candradimuka pengemblengan kaum muda, tetapi seringkali dinodai ulah segelintir oknum yang mengumbar emosi berlebihan. Mahasiswa sejatinya belajar gigih berbagai aspek sebelum membaur dengan dinamika sosial-kemasyarakatan dan mengedepan dialog konstruktif untuk mencapai titik temu.
Ketika aspirasi berbuah anarkisme, maka kesan yang menguat di ranah publik adalah mereka telah lari menjauh dari orbitnya: mengedepankan rasionalitas (otak) dan menjauhi warna otot—sesuatu yang tegas membedakan mereka dengan barisan preman.
Kita mengharapkan mahasiswa Bima menemukan kembali warna ketegasan yang menjadi ciri khas mereka. Ketika kekuatan mahasiswa terpecah, maka daya dobrak saat mendesak berbagai kejanggalan atau arogansi kekuasaan yang kerap muncul, bakal menciut. Mesti ada kesamaan gerakan dalam membangun kekuatan. Ya, dimulai dari kedewasaan respons mereka terhadap situasi internal dan eksternal
. Jika ekspresi sikap kaum terpelajar dalam gambaran trend gontok-gontokkan, maka itu berarti sinyal ‘merah’ yang melingkupi agen perubahan itu. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.