Kehadiran organisasi ekstrakampus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sudah menyodorkan kader-kader terbaik yang ikut mewarnai pembangunan bangsa. Sejatinya kehadiran kader harus mampu menjawab berbagai keresahan dan kebutuhan masyarakat. Tugas itu memang tidak bisa hanya mengandalkan apa saja yang didapatkan di dalam kampus. Masih ada aspek lain yang mesti disiapkan mahasiswa untuk memantapkan mental sebelum terlibat dalam dinamika social-kemasyarakatan.
Soal performa kader HMI ini, apa yang disampaikan anggota Korps Alumni HMI (KAHMI) Cabang Bima, Muhammad Tahir, saat pembukaan Latihan Kader II di hotel La Ila, Minggu (3/6) malam lalu, menarik dibedah. Katanya, HMI harus mampu menjadi laboratotium daya nalar kritis mahasiswa untuk ketangguhan sikap kader. Oleh karena itu, setiap momentum pelatihan hendaknya diseriusi, tidak menjadikannya sekadar simbolisasi dan formalitas gagah-gagahan saja. Dalam bahasa sindirannya, jangan hanya bisa menjadi kader formalin yang hanya mengawetkan kebodohan dan keterbelakangan.
Kita mengharapkan kader HMI mampu memainkan peran strategisnya di tengah belitan masalah sosial dan mengentalnya perilaku koruptif yang diperagakan birokrasi. HMI mesti mampu berada di depan merespons dan cerdas membaca situasi. Sebagai organisasi kader, penekanan terhadap kematangan karakter anggota mesti digenjot untuk memastikan bahwa organisasi tidak kehilangan daya penetrasi dan kritis terhadap lingkungan sekitarnya.
Apa yang terjadi dalam pusaran aktivitas HMI Bima sejak tiga bulan terakhir, terutama ketegangan dengan pejabat dan warga, adalah ujian untuk mengetes kematangan kader. Semuanya mesti tetap dibangun dalam kerangka semangat intelektualitas—satu sandaran yang tidak boleh lepas dalam interaksi kader HMI. Mesti diingatkan, semangat kritis yang dibangun di atas landasan intelektualitas akan menghadirkan substansi yang objektif dan impersonal, karena ia memertimbangakan azas logika dan kemanfaatan. Nah, dalam alur inilah kader HMI mesti mengorbitkan diri. Tanpa ini pula, penetrasi kader dalam berbagai lapangan kurang greget.
Publik Bima sesungguhnya berharap mahasiswa dan organisasi ekstrakampus mampu membahasakan aspirasi dan kegelisahan mereka terhadap kebijakan tidak tepat. Namun, identas kaum intelektual jangan sampai hilang. Apalagi, “melacurkan” intelektualitas kepada penguasa. Dengan kata lain, jangan sampai menjadi bagian sasaran ‘proyek formalin’ seperti yang kerap dipraktikkan penguasa untuk mengawetkan kepentingannya. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
