ADA yang perlu digarisbawahi dari pernyataan anggota Dewan Kehormatan PWI NTB, Khairudin M. Ali, saat lokakarya jurnalistik di kawasan wisata Lakey, Kabupaten Dompu, akhir pekan lalu. Katanya, profesi wartawan bukan untuk gagah-gagahan. Tugasnya berat, sebagai perpanjangan tangan publik atau penyambung lidah rakyat yang tertindas. Posisinya sebagai pilar keempat demokrasi–selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif–menegaskan makna kehadirannya yang berat itu. Lalu, masihkah ada yang terlena dan berleha-leha?
Nah, jika ada yang masih sempit memersepsi profesi wartawan hanya agar bisa ber-say hello dengan anggota Sat Lantas saat tidak memakai helm dan membawa dokumen lengkap, maka “arah kiblat” pemahamannya mesti segera diluruskan. Mesti segera balik kanan, membuka lagi rangkaian pasal Kode Etik Jurnalistik. Idealnya, pemahaman dan wawasan para awak media mesti selalu di-charger agar lebih mampu memahami beban tugas dan peran pentingnya dalam konstelasi pembangunan.
Jika wartawan sudah lari dari orbit edarnya atau apa yang disebut Khairudin sebagai Trilogi Jurnalisme, yakni profesional, berintegritas, dan independen, maka kehadirannya dalam panggung dinamika pembangunan hanya akan menjadi ‘a part of problem’ bukannya ‘a part of solution’. Dari titik ini, lokakarya jurnalistik yang dipungkasi dengan nota kesepahaman (Memorandum) Lakey itu menemukan maknanya. Forum itu merupakan ajang tukar-pikiran dan membangun dialog antara mereka yang berpengalaman dengan para yunior.
Ke depan, Memorandum Lakey mesti dijadikan titik berangkat baru untuk berbenah dan merefleksi sikap yang seharusnya dilakukan untuk menjaga marwah profesi dan citra organisasi. Semoga saja segala persepsi keliru selama ini, peserta lokakarya menemukan energi positif baru untuk pijakan baru. Setidaknya, tergambar dari minimnya atau tidak adanya sorotan terhadap langgam perilaku wartawan di medan tugas. Harus diakui, masih ada awak media yang gagap memaknai profesinya di lapangan.
Dari sisi lain, Memorandum Lakey adalah sarana untuk memotivasi keharusan belajar hingga batas terjauh. Atau dalam saran Khairudin, jangan merasa sudah pintar sehingga merasa tidak perlu belajar lagi! (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.