Ada yang perlu diberi catatan soal kericuhan di arena balap sepeda yang diselenggarakan PLN Cabang Bima, Rabu (30/5) sore. Sejumlah warga terlibat bentrokan fisik dan dipicu karena ejekan. Kabarnya, sebagian pendukung yang kalah tidak menerima diejek oleh pebalap yang memenangkan lomba.
Emosi berlebihan menyebabkan arena yang digandrungi anak-anak dan remaja itu ternoda. Potensi instabilitas pun tidak terelakkan. Namun, syukurlah tidak terjadi “ledakan partisipasi” yang meluas. Hanya ekspresi spontan saja. Kita mengharapkan kejadian di arena itu tidak menyimpan bara api yan setiap saat bisa menyala lagi. Masalahnya, kita sudah “kenyang” dalam suasana beraroma ketegangan, darah, dan semacamnya. Mari berpikir lebih holistik dengan mengutamakan kepentingan yang lebih luas. Saatnya, kita mampu menakar ego dan mengaduknya secara seimbang sebagai ekspresi atau bagian dari rasa tanggungawab. Terhadap ajang kreatif seperti itu dan daerah ini.
Insiden di arena balap sepeda itu sangat disayangkan. Idealnya, pihak yang memenangkan lomba mampu mengendalikan diri dari euforia berlebihan yang bisa mengundang rasa antipati. Mengejek lawan atau pendukung adalah sikap tidak sportif, karena hakikat kemenangan adalah “kontribusi riil” dari pihak yang kalah. Atau tidak ada yang menang jika tidak ada yang kalah. Sebaliknya, kekalahan memang menyakitkan, namun mesti diterima dengan jiwa besar. Kebesaran jiwa menerima keadaan inilah yang jika dimaknai akan membangun jiwa sportif. Selain itu, bisa menjadi batu loncatan untuk merenda prestasi pada masa mendatang.
Insiden Rabu sore ini bisa berdampak pada menurunnya animo peserta, penonton, dan dukungan masyarakat terhadap perlombaan sejenis pada masa mendatang. Mesti ada kesediaan bersama untuk menyatukan persepsi agar kejadian itu tidak terulang. Bayangkan, prestasi panitia mengemas acara sedemikian rapi hingga diminati peserta, dikunjungi ratusan penonton hingga tiga minggu, tersedianya sarana hiburan, ternoda dengan ujung yang tidak nyaman. Bukankah ada orangtua yang mesti bersabar karena sang bocah mendesak membeli sepeda dan menonton lomba saban hari?
Kericuhan itu memang dipicu hal sepele, namun resonansi citranya merusak memori publik. Pihak panitia lomba tepat ketika menggugah masyarakat dengan menyatakan “Kalau sudah begini, sulit kita mau adakan lomba lagi.” Mari kita lebih jeli melihat konteks insiden itu. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
