Connect with us

Ketik yang Anda cari

Sudut Pandang

“Wartawan Brengsek…” dan Momentum Sertifikasi

(Muhammad Fikrillah)

Kamis 9 Februari, Hari Pers Nasional (HPN) dirayakan secara nasional di Provinsi Jambi. Menandai momentum itu, beragam harapan muncul dari sejumlah pihak. Presiden SBY, misalnya, menaruh harapan besar kepada insan pers agar memaksimalkan perannya dalam mengontrol pembangunan. Jika dicermati, secara umum publik mengharapkan pers membenahi diri dan meningkatkan profesionalisme untuk mengiringi dinamika masyarakat. Selain itu, menjawab tuntutan publik yang kian meninggi.

Soal pers, saya teringat gerundelan seseorang yang tidak puas melihat tampilan perilaku oknum wartawan atau yang mengaku wartawan di lapangan tugas. Bukannya meliput, mewawancarai sumber dan selanjutnya memverifikasi, malah memanfaatkan kesempatan untuk menekan. Lalu, UUD, Ujung-Ujung-nya Duit. Caci-maki meluncur deras, antara lain “wartawan brengsek…”, “wartawan gadungan” dan “cari makan kok seperti itu”.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Fenomena lain, masih terdengar rasa bangga jika telah berhasil “menyikat pejabat atau sumber tertentu” dalam pemberitaan. Masih terlihat ekspresi membusung dada karena mengelaim telah berbuat sesuatu, padahal hanya wilayah paling pinggir dari rimba-raya kewajiban jurnalistik yang seakan tidak bertepi itu. Bukankah lapangan jurnalistik itu  hiruk-pikuk “dunia tanpa koma?”.

Ya, di daerah Bima, sudah lama ulah sebagian oknum yang mengaku wartawan menyebalkan publik. Sejauh ini, praktik jurnalistik yang teridentifikasi menyimpang masih ditoleransi oleh publik dengan berbagai alasan. Sumber atau masyarakat tidak mau repot dan berurusan lebih jauh dengan wartawan. Ada kegagapan pemahaman yang menempatkan wartawan (atau oknum-oknum yang mengaku) sebagai sosok yang “kuat”. Selain itu, mereka tidak memahami seluk-beluk jurnalistik sehingga ketika berhadapan dengan wartawan, apakah melanggar sesuatu atau tidak, sudah ciut nyali. Faktanya laporan soal perilaku menyimpang jarang muncul di Kepolisian.

Padahal, wartawan adalah bagian dari warga Negara yang memiliki posisi sama dalam konteks hukum. Semua yang berada di kolong Republik ini mendapatkan perlakuan sama. Wartawan tidak mendiami dunia yang lain (other world). Tidak ada komunitas istimewa!

Harus diakui, dalam berbagai praktik jurnalistik di sekitar kita, masih ada yang berseberangan dengan Kode Etik sehingga menyebabkan citra pers menurun di mata publik . Masih ada wartawan ‘Muntaber’ alias Muncul Tanpa Berita atau WTS, Wartawan Tanpa Surat Kabar. Mereka yang diidentifikasi publik kerap tampil nyeleneh adalah  oknum wartawan (atau yang mengaku-ngaku wartawan) yang medianya terbit “Senin-Kamis” dan tidak kredibel. Bahkan, hanya muncul saat momentum politik saja. Bermodal kartu pengenal dari media masing-masing, sudah menjadi semacam “senjata” untuk berhadapan dengan sang sumber. Padahal, kartu pengenal berbeda muatan kualitasnya dibandingkan kartu pers. Kartu pengenal dari media dan gampang dibuat, sedangkan kartu pers dari organisasi kewartawanan. Kondisi seperti ini diperparah lagi dengan level pemahaman dan apatisme publik.  Terang saja, ada yang mendesak dibenahi. Sekarang saatnya, insan pers berani melakukan otokritik agar tidak terlena ketika berinteraksi dalam pusaran sosial-kemasyarakatan.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Pada sisi lain, ada hal penting dibalik kemeriahan perayaan HPN tahun ini. Program Sertifikasi Wartawan dideklarasikan oleh Dewan Pers bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Pesan simbolik dari program Sertifikasi wartatan adalah wujud kesediaan bermetamorfosa agar tampil lebih baik lagi. Sertifikasi menyiratkan perlunya kompetensi untuk berkiprah dalam dunia jurnalistik. Dengan kata lain, kesediaan memenuhi harapan publik.

Ya, sertifikasi untuk memastikan bahwa seseorang yang terlibat dalam dunia jurnalistik memiliki kompetensi memadai. Memahami bidang tugas dan peranannya sebagai pilar keempat demokrasi. Mereka yang berkompeten, setelah sebelumnya melewati sejumlah proses ujian, diharapkan menjadi semacam garansi untuk profesionalitas. Mesti ada seleksi ketat dan terukur, lebih dari yang dilakukan pada jajaran guru. Meskipun, harus dikatakan, medan lapangan-lah, guliran waktu, dan dinamikanya paling sahih menguji kompetensi dan kredibilitas.

Mengiringi momentum HPN, kita harapkan insan pers mampu mengambil butiran hikmah agar marwah profesi kewartawanan terjaga. Dari penandatanganan nota kesepahaman di Bumi Angso Duo itu, komunitas pers mesti menjadikannya titik berangkat baru (new starting point) pada medan tugas masing-masing menuju performa yang lebih baik. Peningkatan kompetensi adalah keniscayaan ketika persaingan semakin kompetitif, tuntutan publik kian membuncah hebat, dan menepis kemunculan sinisme yang kadang “memerahkan telingga”. Semoga…

(Pernah dimuat di http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/02/11/”wartawan-brengsek-dan-momentum-sertifikasi/)

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

  TADI malam saya benar-benar kaget. Juga sangat berduka. Saat mengikuti tausyiah Prof Ahmad Thib Raya di Salama, saya menerima kabar duka itu. Saya...

CATATAN KHAS KMA

WARTAWAN senior Dahlan Iskan menulis skala kekecewaan pakar komunikasi yang juga pengajar Ilmu Jurnalistik, Effendi Gazali. Angkanya fantastis, 9.5 pada skala 0-10. Nyaris sempurna...

CATATAN KHAS KMA

HARI itu, Jumat 8 Oktober 2019. Saya menjadi narasumber workshop yang digelar Dewan Pers di Kota Bima. Bersama saya, ada Hendry Ch Bangun. Anggota...

CATATAN KHAS KMA

APAKAH saya harus senang? Ataukah sebaliknya? Entahlah! Tetapi begini: Waktu saya pertama membangun media di Bima, itu pada 21 tahun lalu, ada yang menyebut...

Berita

PADA awal Maret 2017, saya secara terbuka menyatakan mundur dari pengelolaan media massa BiMEKS Group ysng sudah saya bangun dari nol. Media yang saya...