Rapat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bima menyuguhkan panorama berbeda saat rapat Senin lalu. Dua wakil rakyat, Aminurlah dan Nurdin Amin, bersitegang hingga berkelahi. Agenda rapat pun buyar, karena kejadian itu menyebabkan suasana heboh.
Kasus duel antara ‘kader matahari terbit dan banteng bermoncong putih’ itu kini memasuki ranah hukum. Kita menunggu saja posisi hukum mereka ketika diproses oleh aparat.
Namun, pesan simbolik negatif tentu saja tidak terbantahkan. Pertama, tindakan wakil rakyat itu sama dengan para preman yang mengandalkan otot. Seharusnya, perdebatan di level legislatif mengekspresikan kemampuan mereka menganalisis dan mengonsep untuk menjadi bahan putusan. Perdebatan di antara mereka soal materi apapun hendaknya dalam kerangka menambah kaya bahan acuan untuk pengambilan putusan. Dengan kata lain, mereka seharusnya menjadi representasi kelompok yang mencerahkan publik. Jika sentimen kekerasan yang diperagakan, lalu apa bedanya dengan preman jalanan?
Kedua, kejadian itu jelas menggambarkan “kekalahan moral” sebagian wakil rakyat kita dalam menjaga amarah karena para pelakunya adalah Muslim. Mereka memertontonkan jebolnya pertahanan kemampuan menahan diri dari unsur yang mengurangi derajat puasa. Munculnya kasus itu saat Ramadan sangat memalukan, apalagi laga satu ronde itu “diproduksi” di lingkungan legislatif.
Secara nasional, panorama wakil rakyat berkelahi (dan juga tidur) saat rapat sudah bukan pemandangan baru. Mereka tidak lagi mampu menahan diri menyusul perdebatan membahas sesuatu. Rangkaian kejadian itu menjadi tontonan, sekaligus bahan tertawaan publik.
Mari bermuhasabah dari kejadian itu. Semoga saja tidak ada ronde lanjutan dari keduanya atau wakil rakyat lainnya. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
