Connect with us

Ketik yang Anda cari

Sudut Pandang

“Bukankah itu Payudaranya?”

Oleh: Muhammad Fikrillah

Saat menonton TV bersama anak dan cucunya pada suatu sore, Ibu saya Hj. Siti Maryam, tiba-tiba mengomentari tayangan Sinetron yang ditayangkan satu stasiun TV. Ada pemandangan yang mengusik kesadaran moralitasnya. Beliau memang sangat concern dalam hal pakaian wanita dan ragam etikanya. Sejak dulu.

 

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Sesaat kemudian, menyergap dengan pernyataan sengit. Sudah lama pemandangan norak itu disaksikannya. Dan sore itu, lidahnya tidak kuasa menahan tanya. “Lho bukankah yang menyembul pada belahan dadanya itu payudaranya?,” katanya kepada seorang cucunya.

Ya, memang payudara. ‘Barang lux’ yang tidak lagi milik sah bayi (dan Bapak-nya), tetapi sudah digiring menjadi milik publik. Tontonan yang sudah dianggap biasa.

“Apakah dia tidak malu membuka dada dan pahanya, padahal pakaian yang laki-laki cukup sopan,” katanya lagi setelah melihat cewek berpakaian bikini.

“Sekarang sudah biasa, terlihat dimana-mana. Jadi nggak usah heran Nek,” timpal sang cucu sambil tersenyum.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Itu hanya satu sekuel dari satu Sinetron. Bagian adegan dan tampilan yang menguatirkan orangtua. Ya, dimensi ruang dan waktu kehidupan Ibu saya memang sudah jauh. Beliau hidup dalam suasana remaja pada era 60-an. Tempo doeloe! Penayangan Sinetron itu sudah belasan episode dan familiar dengan mata jernih anak-anak. Penampilan artis itu memang seksi abis, setidaknya dari ukuran norma umum. Balutan kain yang membungkus tubuhnya ketat, memastikan lekuk tubuhnya terlihat jelas. Bagian dada dibalut setengahnya. Apalagi saat di-close up dan menunduk. Serial lainnya masih cukup banyak yang lebih hot, mengumbar sex appeal wanita.

Ibu saya pun bercerita panjang tentang sejarah masa remajanya yang penuh balutan norma dari orangtua dan masyarakat. Ketat, sehingga kesan mengungkung kebebasan tidak terelakkan. Sesuatu yang dulu sangat tabu diperlihatkan pada publik, kini justru ditonjolkan dan menjadi komoditi paling laris.

Kekuatiran pada penggalan dialog itu sudah lama diseminarkan dan didiskusi-panelkan. Namun, tidak kunjung ditemukan cara keluar dari gejala krisis moral dan identitas itu. Kelonggaran norma ini sudah lama digelisahkan oleh kaum tua, ulama, budayawan, dan pemerintah. Industri media kini berlomba memamerkan ‘buka paha angkat tinggi-tinggi (Bupati)’ dan ‘sekitar wilayah dada, (Sekwilda)’. Hampir semua tayangan menyerempet keindahan tubuh wanita. Mereka yang bernyanyi tidak lagi mengandalkan vokal dan ekspresi seni, tetapi liuk-liuk tubuh yang memompa hasrat negatif orang dewasa dan meracuni fikiran anak-anak. Secara psikologis, anak-anak sangat dirugikan. Mereka akan memotret realitas di depannya dan mengendap pada bangunan kesadarannya.

Soal lengak-lengok ini, budayawan Emha Ainun Najib sangat mengagumi takaran “daya juang” generasi wanita mutakhir karena hal itu dimuati oleh tingkat pengorbanan yang tidak main-main. Mereka rela melepaskan satu per satu balutan kain pada tubuhnya hanya demi popularitas, uang, dan tuntutan peran. Emha menyindir, tidak sia-sia pengorbanan Bung Karno dan Bung Hatta. Penyair Chairil Anwar dulu cukup cemas “Kaulah lagi yang menentukan arti tulang-tulang berserakkan ini….” katanya. Sekarang ini, terbukti sudah kesanggupan besar bangsa kita untuk tidak menyia-nyiakan permintaan penyair besar itu. Terutama cewek-cewek pada media TV, majalah, dan koran. Yakni telah bukan saja menentukan arti tulang berserakkan, lebih dari itu mereka menyerak-nyerakkan daging tubuh mereka.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Dalam satu penelitian, kaum ibu—sumber budaya bangsa itu—paling betah di depan TV. Terutama kelas menengah ke bawah. Waktu mereka lebih banyak dihabiskan di depan TV, karena itulah hiburan paling murah yang bisa dijangkau (Ratna Indraswari Ibrahim, 1995). Bisa jadi, untuk beberapa hal para ibu mengambil pelajaran dari makhluk bernama TV. Keberadaan TV sudah lama menjadi fenomena masyarakat. Sistem informasi modern memang menyebabkan dunia bagai ‘desa besar’ (big village). Semua hampir tanpa sekat dan batas. Kita tidak perlu menyeberang laut jika ingin mengetahui Amerika dan dunia Arab. Cukup memutar chanel dan duduk manis di depan TV. Kita tidak perlu ke bioskop kalau ingin melihat film. Atau kita tidak perlu tidur jika ingin bermimpi?

Harus diakui, dalam banyak hal, kita mengambil hasil teknologi itu sebagai bagian dari gaya hidup. Ini bertemu dengan kepentingan masyarakat, karena tontonan merupakan sarana untuk melepaskan segala keterbatasan. Dilihat dari sifatnya, tontonan mudah diserap dan dipahami. Hal ini berbeda dengan membaca buku yang lebih sulit, karena pembaca harus membayangkan sendiri redaksi dan makna teks. Dengan kata lain, pemirsa mendapat suguhan bentuk visual yang mudah dicerna. Parahnya, acara yang ditonton kerap tidak banyak mendidik anak sebagai sumberdaya manusia (SDM) pada jamannya. Tayangan Sinetron hanya kisah cinta berbelit-belit dan kecengengan menghadapinya. Banyak pihak menguatirkan, gelar aurat, eksploitasi lekukan tubuh, aksi kekerasan, dan bentuk dehumanisasi lainnya akan membahayakan pembentukan karakter masyarakat dan bangsa secara agregat. Tontonan seharusnya menjadi inspirasi atau satu diantara sumber cermin kepribadian. Dalam gugatan para ulama, tontonan seharusnya menjadi tuntunan.

Di daerah Bima Provinsi NTB, sejumlah kasus perkosaan dipengaruhi oleh tontonan. Kasus bocah yang “mengenjot” teman mainnya bukan cerita baru pada berbagai belahan daerah di Indonesia. Bahkan, menurut pengakuan bocah dalam kasus perkosaan di Desa Sari Kecamatan Sape Kabupaten Bima (seperti dimuat Harian Bimeks) beberapa waktu lalu, karena imajinasi tayangan blue film yang dilihatnya tiga bulan sebelumnya. Faktor keluarga sangat penting untuk menjadi semacam mekanisme pertahanan diri dari pengaruh negatif. Di situlah peranan ibu dalam membimbing anak-anak diletakkan.

Berbagai stasiun TV sebenarnya sudah menyadari imbas dari tayangannya, makanya pada pojok atas ada tulisan BO (bimbingan orangtua), R (remaja), D (dewasa), dan SU (segala umur), serta 17 tahun ke atas. Maksudnya agar pemirsa me

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Saat menonton TV bersama anak dan cucunya pada suatu sore, Ibu saya Hj. Siti Maryam, tiba-tiba mengomentari tayangan Sinetron yang ditayangkan satu stasiun TV. Ada pemandangan yang mengusik kesadaran moralitasnya. Beliau memang sangat concern dalam hal pakaian wanita dan ragam etikanya. Sejak dulu.

Sesaat kemudian, menyergap dengan pernyataan sengit. Sudah lama pemandangan norak itu disaksikannya. Dan sore itu, lidahnya tidak kuasa menahan tanya. “Lho bukankah yang menyembul pada belahan dadanya itu payudaranya?,” katanya kepada seorang cucunya.

Ya, memang payudara. ‘Barang lux’ yang tidak lagi milik sah bayi (dan Bapak-nya), tetapi sudah digiring menjadi milik publik. Tontonan yang sudah dianggap biasa.

“Apakah dia tidak malu membuka dada dan pahanya, padahal pakaian yang laki-laki cukup sopan,” katanya lagi setelah melihat cewek berpakaian bikini.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

“Sekarang sudah biasa, terlihat dimana-mana. Jadi nggak usah heran Nek,” timpal sang cucu sambil tersenyum.

Itu hanya satu sekuel dari satu Sinetron. Bagian adegan dan tampilan yang menguatirkan orangtua. Ya, dimensi ruang dan waktu kehidupan Ibu saya memang sudah jauh. Beliau hidup dalam suasana remaja pada era 60-an. Tempo doeloe! Penayangan Sinetron itu sudah belasan episode dan familiar dengan mata jernih anak-anak. Penampilan artis itu memang seksi abis, setidaknya dari ukuran norma umum. Balutan kain yang membungkus tubuhnya ketat, memastikan lekuk tubuhnya terlihat jelas. Bagian dada dibalut setengahnya. Apalagi saat di-close up dan menunduk. Serial lainnya masih cukup banyak yang lebih hot, mengumbar sex appeal wanita.

Ibu saya pun bercerita panjang tentang sejarah masa remajanya yang penuh balutan norma dari orangtua dan masyarakat. Ketat, sehingga kesan mengungkung kebebasan tidak terelakkan. Sesuatu yang dulu sangat tabu diperlihatkan pada publik, kini justru ditonjolkan dan menjadi komoditi paling laris.

Kekuatiran pada penggalan dialog itu sudah lama diseminarkan dan didiskusi-panelkan. Namun, tidak kunjung ditemukan cara keluar dari gejala krisis moral dan identitas itu. Kelonggaran norma ini sudah lama digelisahkan oleh kaum tua, ulama, budayawan, dan pemerintah. Industri media kini berlomba memamerkan‘buka paha angkat tinggi-tinggi (Bupati)’ dan‘sekitar wilayah dada, (Sekwilda)’. Hampir semua tayangan menyerempet keindahan tubuh wanita. Mereka yang bernyanyi tidak lagi mengandalkan vokal dan ekspresi seni, tetapi liuk-liuk tubuh yang memompa hasrat negatif orang dewasa dan meracuni fikiran anak-anak. Secara psikologis, anak-anak sangat dirugikan. Mereka akan memotret realitas di depannya dan mengendap pada bangunan kesadarannya.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Soal lengak-lengok ini, budayawan Emha Ainun Najib sangat mengagumi takaran “daya juang” generasi wanita mutakhir karena hal itu dimuati oleh tingkat pengorbanan yang tidak main-main. Mereka rela melepaskan satu per satu balutan kain pada tubuhnya hanya demi popularitas, uang, dan tuntutan peran. Emha menyindir, tidak sia-sia pengorbanan Bung Karno dan Bung Hatta. Penyair Chairil Anwar dulu cukup cemas “Kaulah lagi yang menentukan arti tulang-tulang berserakkan ini….” katanya. Sekarang ini, terbukti sudah kesanggupan besar bangsa kita untuk tidak menyia-nyiakan permintaan penyair besar itu. Terutama cewek-cewek pada media TV, majalah, dan koran. Yakni telah bukan saja menentukan arti tulang berserakkan, lebih dari itu mereka menyerak-nyerakkan daging tubuh mereka.

Dalam satu penelitian, kaum ibu—sumber budaya bangsa itu—paling betah di depan TV. Terutama kelas menengah ke bawah. Waktu mereka lebih banyak dihabiskan di depan TV, karena itulah hiburan paling murah yang bisa dijangkau (Ratna Indraswari Ibrahim, 1995). Bisa jadi, untuk beberapa hal para ibu mengambil pelajaran dari makhluk bernama TV. Keberadaan TV sudah lama menjadi fenomena masyarakat. Sistem informasi modern memang menyebabkan dunia bagai ‘desa besar’ (big village). Semua hampir tanpa sekat dan batas. Kita tidak perlu menyeberang laut jika ingin mengetahui Amerika dan dunia Arab. Cukup memutar chanel dan duduk manis di depan TV. Kita tidak perlu ke bioskop kalau ingin melihat film. Atau kita tidak perlu tidur jika ingin bermimpi?

Harus diakui, dalam banyak hal, kita mengambil hasil teknologi itu sebagai bagian dari gaya hidup. Ini bertemu dengan kepentingan masyarakat, karena tontonan merupakan sarana untuk melepaskan segala keterbatasan. Dilihat dari sifatnya, tontonan mudah diserap dan dipahami. Hal ini berbeda dengan membaca buku yang lebih sulit, karena pembaca harus membayangkan sendiri redaksi dan makna teks.

Dengan kata lain, pemirsa mendapat suguhan bentuk visual yang mudah dicerna. Parahnya, acara yang ditonton kerap tidak banyak mendidik anak sebagai sumberdaya manusia (SDM) pada jamannya. Tayangan Sinetron hanya kisah cinta berbelit-belit dan kecengengan menghadapinya. Banyak pihak menguatirkan, gelar aurat, eksploitasi lekukan tubuh, aksi kekerasan, dan bentuk dehumanisasi lainnya akan membahayakan pembentukan karakter masyarakat dan bangsa secara agregat. Tontonan seharusnya menjadi inspirasi atau satu diantara sumber cermin kepribadian. Dalam gugatan para ulama, tontonan seharusnya menjadi tuntunan.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Di daerah Bima Provinsi NTB, sejumlah kasus perkosaan dipengaruhi oleh tontonan. Kasus bocah yang “mengenjot” teman mainnya bukan cerita baru pada berbagai belahan daerah di Indonesia. Bahkan, menurut pengakuan bocah dalam kasus perkosaan di Desa Sari Kecamatan Sape Kabupaten Bima (seperti dimuat Harian Bimeks) beberapa waktu lalu, karena imajinasi tayangan blue film yang dilihatnya tiga bulan sebelumnya. Faktor keluarga sangat penting untuk menjadi semacam mekanisme pertahanan diri dari pengaruh negatif. Di situlah peranan ibu dalam membimbing anak-anak diletakkan.

Berbagai stasiun TV sebenarnya sudah menyadari imbas dari tayangannya, makanya pada pojok atas ada tulisan BO (bimbingan orangtua), R (remaja), D (dewasa), dan SU (segala umur), serta 17 tahun ke atas. Maksudnya agar pemirsa menyeleksi tayangan sesuai tingkat umur dan kejiwaannya. Namun, sebagian orangtua jarang menyuluh ketika di depan TV bersama anak-anaknya. Boro-boro menanamkan pengertian, orangtua turut menikmatinya. Fenomena yang semakin menggejala. Harus diakui, sejumlah tayangan TV telah menjadi kiblat kebudayaan kita. Mari kita menyadarinya sejak dini.

(Pernah dimuat di sosbud.kompasiana.com/2011/09/05/“bukankah-itu-payudaranya?”/)

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Politik

Bima, Bimakini.com.- Hasil klarifikasi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Bima terhadap Camat Woha, Dahlan, akan direkomendasikan kepada Pj. Bupati Bima, Drs. Bachrudin, untuk kepentingan...

Politik

Bima, Bimakini.com.- Quick Cound (QC) adalah produk akademis yang ditujukan sebagai penyimbang atau pengontrol hasil kerja lembaga penyelenggara Pemilu. Masyarakat tidak perlu menunggu lama...

Pemerintahan

Bima, Bimakini.com.- Dalam sebulan, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskemas) Bolo melayani hingga 1.000 pasien. Apalagi, jika musim  hujan, kunjungan biasanya melebihi kapasitas yang ada. Lantai...

Pemerintahan

Bima, Bimakini.com.-Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten, Abdul Natsir, S.Sos, mengatakan tugas anggota legislatif dalam menyerap aspirasi masyarakat tidak dibatasi oleh...

Peristiwa

Bima, Bimakini.com.-Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bima sedang membahas rancangan peraturan daerah (Raperda) inisiatif tentang pelarangan produksi, penjualan, pengedaran, dan konsumsi...