Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Fenomena Negeri Koruptor dan Budaya Baru Dou Mbojo (Renungan Menyambut Suci Bulan Ramadan)

(Adi Hidayat Argubi, M.Si)

Judul artikel ini begitu provokatif bagi sebagian pihak yang merasa dirugikan atau terlibat di dalam lingkaran korupsi.  Tetapi, pada sisi lain sebagian orang akan berpikir “apa iya negeri ini sudah mengalami transformasi budaya ke arah budaya baru yang bernama korupsi?”. Di negeri ini, khususya di Bima, wajah korupsi ini sudah begitu menjelma dalam beribu wajah yang menakutkan dan mengerogoti setiap dimensi kehidupan masyarakat. Pelaku korupsi bukan lagi menjadi musuh bersama (common enemy), bahkan ketika sang tokoh atau pelaku keluar dari penjara karena melakukan korupsi, masyarakat masih menerima dan masih mengelu-elukan tokoh tersebut karena kekayaan yang masih dimilikinya. Coba bandingan dengan pelaku kejahatan lainnya seperti halnya pencuri/maling yang akan terus diingat sebagai “dou mpanga” di masyarakat serta seorang pezina yang akan terus melekat statusnya sebagai pezina sampai anak keturunannya.

Pertanyaannya kemudian yang muncul adalah mengapa seorang koruptor yang telah merugikan orang banyak tidak diperlakukan sama dengan pencuri atau pezina sekalipun? Atau perlu dibuat redefinisi baru bagi istilah “koruptor” dengan istilah “dou mpanga na’e” agaar masyarakat akan terus menghakiminya dan mengingat perilakunya sampai kapanpun, sehingga efek jera terhadap koruptor akan muncul? Atau perlu dilakukan dengan lebih ekstrim lagi dengan mengarak koruptor di depan masyarakat Bima agar mengetahui dan tidak akan meniru perilakunya karena sangat memalukan?

Penulis bahkan teringat dan setuju dengan ide yang dianggap “gila” dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang ingin membuatkan kebun bagi para koruptor layaknya kebun binatang, sehingga masyarakat dapat menonton dan melihat sang koruptor.

Dalam artikel sebelumnya penulis selalu dibuat kaget dan malu dengan budaya orang Bima dengan kata-kata atau slogan yang sering saya dengar “Au di da loa di karawi ra ndawi ara mbojo? Sara’a loa diatur sura wara pitimpa”. Kata-kata atau slogan ini lebih kurang bermakna bahwa di Bima ini tidak ada yang tidak bisa dibuat dan diatur, hitam-putih bisa dibuat bolak-balik sesuai keinginan, tentu dengan cara-cara yang tidak terpuji seperti menggunakan pelicin atau penyuapan yang dalam bahasa kerennya sekarang korupsi.

Di lingkungan birokrasi pemerintahan, bukan hal yang dirahasiakan lagi bahwa praktik korupsi seperti pungutan liar dan manipulasi yang ujung-ujungnya berakhir dengan penyuapan dalam bentuk uang dan lainnya terjadi dalam penyelenggaraan birokrasi kita, seperti untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) ada isu bisa masuk dengan jalur suap/uang, menjadi tenaga honor diinstansi pemerintahan di Kota dan Kabupaten Bima harus siap uang suap, ingin menjadi pejabat tertentu harus mampu bermain cantik dengan berapa yang harus dibayar serta bentuk praktik suap lainnya yang bahkan menyentuh level birokrasi di lingkup kelurahan seperti penarikan biaya tanda-tangan Lurah yang sangat “mahal” serta tidak berdasarkan Peraturan Daerah (Perda). Seperti inikah mentalitas aparatur dan pejabat publik kita? Penulis mengajak semua masyarakat Kota dan Kabupaten Bima, apabila aparatur dan pejabat publik telah menyimpang dari kepercayaan masyarakat, maka kita dapat menggunakan people power untuk menurunkan secara paksa mereka yang seperti ini. Jadi jangan sombong dan congkak!

Pada bidang hukum juga tidak jauh berbeda, seperti di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan yang seharusnya steril dari praktik yang tidak terpuji menjadi sarang besar praktik-praktik penyimpangan yang berujung dengan “sara’a loa diato warasi piti”. Ingin menjadi Polisi, maka hampir semua masyarakat sadar dan tahu bahwa harus menyediakan uang Rp80 juta hingga  Rp100 juta, ingin tidak di-tilang kendaraannya karena melakukan pelanggaran maka uang bisa bermain, ingin tidak atau ditangguhkannya penahanan seorang tersangka dan terdakwa maka uang memainkan peran penting, ingin satu perkara rendah tuntutannya di Kejaksaan maka uang menjadi jalan akhir, ingin perkara menang atau putusannya rendah di Pengadilan maka uang menjadi kuncinya. Lebih parah lagi, untuk mengunjungi kerabat atau keluarga yang di tahan di Rutan atau Lembaga Pemasyarakatan (LP) Bima, untuk “tiket masuk” kita harus mengeluarkan biaya sebesar Rp2.000 per orang dan apabila masa penahanan berakhir, jika ingin dipercepat proses keluarnya maka “uang administrasi” wajib harus dikeluarkan. Padahal, sudah sangat jelas dan terang di Rutan Bima lebih kurang ditulis MALU MENERIMA SUAP. Mentalitas aparat dan digandengkan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat menjadikan praktik penyuapan atau korupsi tidak mudah dihapus. Inikah budaya yang diwariskan nenek-moyang Dou Mbojo tercinta?

Dalam artikel ini yang akan penulis uraikan adalah bagaimana sejarah atau asal mula munculnya praktik penyuapan yang terjadi di masyarakat Bima, khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Wahyudi Kumorotomo dosen UGM Yogyakarta dalam tulisannya menyatakan bahwa “kosakata yang menunjukkan praktik penyuapan sangat banyak. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah bribe (suap), graft (pelicin), embezzlement (sogok), atau fraud (penggelapan). Dengan demikian dapat dipastikan bahwa masalah suap bukan hanya di Bima atau di negara-negara berkembang, tetapi juga terdapat di negara-negara maju. Hal yang menjadi masalah adalah suap di Indonesia sudah memiliki akar budaya yang demikian dalam. Di dalam bahasa Indonesia, kosakata selain suap sangat banyak. Tetapi, yang tampaknya paling memiliki akar budaya adalah istilah upeti, berasal dari kata utpatti dalam bahasa Sansekerta yang kurang-lebih berarti bukti kesetiaan. Menurut sejarah, “upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk”.

Karena sudah mengakar dalam budaya birokrasi maka suap, atau yang dipahami masyarakat sebagai upeti, sangat sulit diberantas. Banyak orang mengatakan bahwa karena sistem upeti dianggap sebagai sesuatu yang biasa, maka korupsi sudah membudaya diantara bangsa Indonesia. Budaya upeti sudah menjadi semacam kutukan bagi bangsa ini sehingga sulit maju. Apakah memang benar demikian?

Untuk memahami pengaruh budaya upeti terhadap merebaknya penyakit birokrasi di Indonesia, ada dua hal yang harus diperhatikan menurut Wahyudi Kumorotomo, yaitu: 1) sistem administrasi yang memungkinkan pertukaran antara jabatan resmi dengan imbalan material, dan 2) kekeliruan persepsi masyarakat tentang makna upeti atau gratifikasi.

Sejak awal Arnold Laswell dan Harold Rogow (1963) dalam bukunya yang berjudul Power,Corruption and Rectitude menguraikan bahwa suap terjadi karena kecenderungan ini. Korupsi terjadi karena tatanan politik yang ada membuka peluang lebar bagi jual-beli jabatan publik, bahwa mereka yang memiliki uang atau modal besar dapat menguasai jabatan penting seperti halnya yang juga terjadi di Kota dan Kabupaten Bima. Terutama, situasi seperti ini diperparah oleh budaya dan persepsi masyarakat bahwa imbalan material yang tidak resmi adalah sesuatu yang sah dan wajar. Jadi seharusnya masyarakat Indonesia tidak terkaget-kaget ketika ada oknum DPR yang terlibat praktik korupsi dalam pengadaan Al-Quran yang sedang hangat diperbincangkan publik di media televisi nasional. Karena pada hakikatnya korupsi seharusnya tidak didudukkan pada perdebatan ranah agama, karena memang nilai-nilai ajaran agama jelas-jelas melarang dan mengharamkan praktik korupsi dan berbagai bentuknya.

Lihat saja dalam pelaksanaan MTQ yang menjadi program atau agenda wajib pemerintah Kota Bima setiap tahun, tidak luput juga dari praktik penyimpangan yang mengarah pada korupsi. Wali Kota Bima sekali lagi harus mampu melihat dan mendengar isu-isu di tengah masyarakat terkait dengan penyimpangan seperti ini. Bila perlu pelaksanaan MTQ di Kota Bima ke depan tidak usah disediakan dana atau anggaran yang rawan praktik korupsi, karena pada dasarnya MTQ adalah upaya untuk syiar Islam yang melibatkan semua komponen masyarakat Kota Bima yang merasa bagian dari umat Islam sehingga mereka sudah pasti dan seharusnya terlibat dalam kerangka dan media syiar Islam ini karena mengharapkan pahala dari Allah SWT bukan karena ada dan tidaknya dana atau anggaran yang akan didapat.

Jadi prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat (social empowerment) harus berjalan pada koridor yang baik dan mendidik masyarakat bukan menjadi media bagi kepentingan-kepentingan dan lahan baru untuk ladang korupsi.

Melalui artikel ini, penulis ingin memberikan informasi kepada Wali Kota Bima bahwa pelaksanaan MTQ tingkat Kota Bima yang dipusatkan di Rabadompu sangat miskin partisipasi masyarakat tuan rumah. Satu hari menjelang pembukaan MTQ hampir tidak terlihat masyarakat yang keluar rumah untuk bersama-sama menyiapkan arena MTQ, bahkan untuk pemasangan baliho besar dan kecil dipanggung utama dipasang oleh mahasiswa KKN STISIP Mbojo Bima yang sengaja diarahkan oleh panitia KKN untuk membantu persiapan arena MTQ.

Untung saja ada H. Muhtar Yasin, M.AP yang anggota DPRD Kota Bima yang cekatan berkomunikasi dengan berbagai pihak. Antara lain mendatangkan truk sampah untuk mengangkut peralatan dan perlengkapan arena MTQ dan juga mobil kebersihan untuk mengangkut air untuk menyirami dan mengisi kolam hiasan di arena utama MTQ.

Masyarakat begitu cuek, padahal tidak ada alasan bagi masyarakat tidak membantu atau berpartisipasi karena kebetulan bertepatan dengan hari libur/minggu. Semua berujung pada aspek uang, karena Pemerintah Kota Bima menyediakan dana untuk kegiatan dan menyiapkan kepanitiaan yang sudah tentu ada imbalan honor dan sebagainya, sehingga masyarakat tuan rumah merasa tidak harus terlibat dan berpartisipasi karena meyakini semua akan selesai karena ada panitianya. Pengalaman ini menunjukkan bahwa uang dan dana ternyata bukan segalanya, memberdayakan masyarakat menjadi poin yang lebih penting dalam melihat dan mengukur keberhasilan pemerintah dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.

MTQ saat penulis kecil dulu tidak mendapat biaya sepeser pun dari pemerintah, tetapi dapat berjalan baik dengan partisipasi dan dukungan masyarakat yang digerakkan oleh pemimpin yang hebat. Dana MTQ justru menjadi kurang tepat dalam konteks ini melihat hasil dan dampaknya bagi upaya membangun partisipasi masyarakat dalam membangun Kota Bima tercinta. Pemerintah tidak berarti apa-apa tanpa dukungan penuh dari masyarakatnya yang dipimpinnya. Jangan mengajarkan dan membiasakan masyarakat dengan dana atau anggaran karena justru masyarakat akan menjadi “manja” dan tidak berdaya karena terbiasa disuap.

Masyarakat tidak akan menjadi kreatif dan inovatif karena selalu berada dalam kondisi perut kenyang, justru dengan perut lapar masyarakat akan selalu berupaya melakukan berbagai terobosan kreatif dan inovatif. Keberadaan dana MTQ justru menjadi pergunjingan dan disinyalir oleh sebagian masyarakat tuan rumah MTQ di Rabadompu disalahgunakan atau dinikmati oleh sebagian pihak saja.

Kembali pada konteks merajalelanya korupsi, apakah benar bahwa korupsi sudah menjadi semacam budaya baru di Indonesia pada umumnya dan di Kota Bima pada khususnya yang tengah berkembang ini? Apakah benar bahwa korupsi semata-mata hanya persoalan moralitas para penguasa atau oknum-oknum tertentu saja? Dari pengalaman sehari-hari tentang gambaran interaksi antara pejabat dan rakyat, antara penguasa dan yang dikuasai, korupsi ternyata merupakan penyakit sistemik yang melibatkan hampir semua unsur masyarakat.

Oleh sebab itu, untuk bisa menghindarkan bangsa ini dari cengkeraman korupsi, hal mendasar yang harus dilakukan adalah dengan penyadaran menyeluruh bahwa kita harus keluar dari budaya upeti. Inilah saatnya untuk meyakinkan diri bahwa upeti sama saja dengan suap, dan suap adalah korupsi. Karena masyarakat umumnya tidak paham apa bedanya antara hadiah dan suap, kebiasaan untuk memberikan gratifikasi atau menyuap seolah-olah menjadi wajar atau bahkan menjadi prosedur standar.

Pada saat yang sama, inilah saatnya untuk menyadari bahwa kita sehari-hari mungkin sudah terbiasa memberi uang ekstra kepada aparat, bahwa kita semua sudah berkontribusi bagi merebaknya suap-menyuap di negeri ini. Tanpa sadar kita telah mendukung terciptanya negeri tercinta ini sebagai negeri para “koruptor”.

Ada jutaan pejabat publik yang sudah biasa menerima suap. Sebagian mungkin dilakukan tanpa rasa bersalah atau mungkin tanpa memahami bahwa  yang dilakukannya sudah termasuk korupsi. Sebagian masyarakat yang berinteraksi dengan birokrasi publik juga sudah biasa melakukan praktik suap. Jadi, korupsi adalah wajah buruk kita bersama. Dari pengalaman sehari-hari, tampaknya keberhasilan bangsa kita memberantas korupsi masih sangat terkendala oleh perilaku masyarakat sendiri yang memiliki toleransi terlalu tinggi terhadap korupsi.

Pada tataran mikro, menarik apa yang disampaikan oleh Wahyudi Kumorotomo menyatakan bahwa “penyadaran bagi kedua belah pihak, yaitu aparatur pemerintah dan masyarakat juga sangat penting artinya. Pada dasarnya setiap bentuk mekanisme administrasi yang melibatkan kekuasaan aparat birokrasi (discretionary power) selalu terdapat peluang adanya transaksi suap. Maka korupsi dalam bentuk suap bisa terjadi sejak tingkatan presiden hingga seorang kepala desa, dari tingkat menteri sampai petugas pelayan KTP di kecamatan. Hal yang menjadi masalah di Indonesia ialah bahwa hukuman seolah-olah hanya diberikan kepada pejabat yang disuap, bukan warga yang menyuapnya. Karena budaya upeti dan suap-menyuap yang sudah mengakar, seorang warga yang akan mengurus KTP, Kartu keluarga, IMB, atau urusan lainnya terkadang dari rumah sudah menyiapkan uang ekstra disamping biaya resminya.

Bagaimana mungkin kita bisa mengendalikan penyuapan atau korupsi apabila dari urusan yang sangat kecil semua orang sudah biasa menyuap aparat?. Tanpa disadari, semua warga yang selalu menyediakan uang ekstra kepada para aparat birokrasi publik sebenarnya juga memperparah meluasnya korupsi di Indonesia. Publik di Indonesia tampaknya masih bersikap mendua ketika menyampaikan pendapat mereka tentang suap. Sebagian menganggap bahwa suap harus diberantas dan pelakunya harus dihukum berat. Tetapi, sebagian menganggap bahwa suap tidak ada bedanya dengan hadiah atau tanda terima kasih. Sebagian lagi menyatakan bahwa suap merupakan cara yang harus ditempuh untuk melancarkan urusan dengan lembaga-lembaga pemerintah.

Momentum bulan Ramadan 1433 Hijriyah seharusnya menjadi media untuk muhasabah, karena memang sudah saatnya kita  bermuhasabah dalam melihat dan melakukan praktik korupsi yang jelas-jelas dilarang oleh ajaran agama. Umat Islam adalah umat terbesar dan terbanyak di Indonesia, bahkan di Bima mayoritas besar masyarakat menganut agama Islam yang melarang praktek korupsi. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa justru di negeri yang mayoritas Islam ini korupsi menjadi barang yang mudah ditemukan dimana-mana?. Hanya kita semua yang bisa menjawab pertanyaannya ini sembari bersama-sama mengucapkan “Selamat Datang  di Negeri Korupsi”. Marhaban ya Ramadhan….

       Penulis adalah guru Pariwisata UPW SMKN 1 Kota Bima, Dosen STISIP Mbojo Bima, mantan Peneliti Lembaga Survai Indosesia (LSI) dan Indonesian Research Development Institute (IRDI)

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Peristiwa

SEMPAT meneteskan air mata ketika menyaksikan Palu yang porak poranda dari kaca pesawat sebelum mebdarat di kota itu. Hari pertama tiba, langsung menangani pasien...

Ekonomi

Kota Bima, Bimakini.-  Komunitas Tangan di Atas (TDA) Bima, berbagi ”Bahagia Bersama Anak Yatim dan Kaum Dhuafa dalam Bingkai Ramadan” kembali digelar. Kali ini...

Pemerintahan

Bima, Bimakini.- Kegiatan pencetakan sawah baru di So Mboda Rato Desa Rato Kecamatan Bolo, diklaim dari dana aspirasi anggota DPRD Kabupaten Bima, Ahmad Dahlan,...

Dari Redaksi

Publik Mbojo kembali dikejutkan oleh sejumlah kejadian yang muaranya mengindikasikan kegagalan memaknai inti pesan Ramadan. Antara melalui ekspresi dua kubu yang selama ini terlibat...

Peristiwa

Bima, Bimakini.com.- Dalam Rangkaian Bhakti Ramadhan Komunitas Pramuka Peduli kembali menyalurkan bantuan Al – Quran. Bantuan Al – Quran yang diserahkan secara langsung oleh...