Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Kalembo Ade: Sikap Toleransi Ala Dou Mbojo

Oleh: Muhammad Adlin Sila

Malam Jum’at tanggal 19 Juli lalu, pengalaman saya mengikuti shalat Isya di Masjid Al-Muwahidin Pane mengajarkan tentang sikap toleransi ala Dou Mbojo. Usai shalat, pengurus masjid mengimbau jamaah agar menetapkan keyakinan dalam melaksanakan puasa, meski pemerintah belum mengambil keputusan final tentang awal puasa.

Pada shalat Subuh esoknya, ketika pengumuman pemerintah sudah menetapkan bahwa puasa dimulai pada Sabtu tanggal 21, Haji Bahnan, Ketua Pengurus Masjid Al-Muwahidin, mengulang lagi himbauannya agar jama’ah tetap tenang dan mengambil keputusan atas dasar hati nurani masing-masing.

Pengurus masjid yang juga adalah Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bima ini memang dikenal sebagai pengikut metode hisab Muhammadiyah. Terdapat satu kalimat yang sering disebut berulang-ulang oleh pengurus masjid, yaitu Kalembo Ade. Kalimat ini berisi dua kata, kalembo dan ade. Kalau diartikan secara leterleik, kalembo berarti lapang, dan ade bermakna hati.

Biasanya, kedua kata itu diartikan berlapang dada. Bisa juga berarti mohon maaf. Kalembo ade sering juga diucapkan bersama-sama dengan Mboto Kangampu, yang berarti banyak maaf. Hal yang terakhir ini lebih sering digunakan kepada orang yang lebih dituakan, atau diucapkan pada acara-acara yang bersifat formal. 

Sebagai pendukung keputusan Muhammadiyah yang memulai puasa pada Jum’at tanggal 20 Juli, pengurus masjid mengucapkan Kalembo Ade kepada jama’ah lain yang memilih mengikuti keputusan pemerintah. Pada malam Jum’at itu, seperti yang saya amati, hanya terdapat dua shaf yang mengikuti shalat tarawih. Sementara yang lainnya pulang ke rumah dan berniat untuk memulai puasa esok hari Sabtu tanggal 21. Shalat tarawih di masjid ini hanya satu versi yaitu 8 raka’at ditambah 3 raka’at witir.

Sementara Pak Kiai Haji Taufiq, tetangga yang juga adalah Ketua MUI Kota Bima, yang secara rutin menyampaikan ceramah di masjid ini, memilih tidak ikut shalat tarawih pada malam Jum’at itu. Pak Kiai yang berasal dari latar belakang NU itu adalah anak dari mantan Lebe Nae (Imam Besar) Masjid Raya Al-Muwahidin Kota Bima, Haji Yasin Latif. Pak Kiai ini digadang-gadang segera diangkat menjadi Lebe Nae berikutnya menggantikan Lebe Nae sebelumnya yang meninggal dunia. Istrinya adalah anak tokoh Muhammadiyah Jawa Timur, tempat dimana dia menimba ilmu agama di pesantren hingga tamat di IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Melalui mertuanya inilah, Pak Kiai bergaul dengan Kitab-Kitab Hadith yang populer di kalangan Muhammadiyah seperti Kitab Enam dan Kitab Sembilan (Kutubusitta dan Kutubutis'a). Karena penguasaannya yang mumpuni terhadap Kitab-Kitab Kuning ala NU dan juga Kitab-Kitab Hadith inilah, dia didaulat menjadi Ketua MUI tahun 2012. Pak Kiai diharapkan menjadi mediator antara NU dan Muhammadiyah begitupun PERSIS.

     Dalam penentuan hari pertama puasa dan 1 Syawal, Pak Kiai memiliki kiat-kiat tertentu. Misalnya, dia menyarankan pawai menyambut bulan puasa pada malam Kamis, bukan malam Jum'at dan bukan malam Sabtu. Sikap ini pun diperlihatkannya Lebaran tahun lalu, ketika takbiran di masjid ditiadakan agar tidak membingungkan masyarakat kalau takbiran dilakukan duakali hanya karena Lebaran-nya dua kali.

Ketika menjadi imam shalat Subuh, Pak Kiai kadang qunut dengan jahar dan angkat tangan, terkadang juga hanya memperlama berdiri i'tidal tanpa menjaharkan doa qunut dan tidak mengangkat tangan. Ketika tarawih, yang memilih 8 raka'at disilahkan shalat witir lebih dahulu, kemudian memberikan kesempatan yang memilih 20 raka'at untuk shalat witir belakangan. Kondisi yang toleran ini sudah berlangsung kurang lebih 3-4 tahun.

Ketika saya mengikuti shalat tarawih pertama di Masjid Raya Al-Muwahidin bersama Pak Kyai Haji Taufiq, imam masjid memilih 8 raka’at dan 3 raka’at witir dalam shalatnya. Tetapi, demi menjaga toleransi, Pak Kyai memilih pulang ke rumah ketika selesai mengerjakan 8 raka'at untuk menambah jumlah raka’at di rumah hingga 20 dan 3 raka’at witir. Beberapa jama’ah dibiarkan menunggu pada shaf paling belakang untuk melanjutkan tarawih 20 raka’at setelahnya. Tidak ada kegaduhan, atau teriakan, semuanya berjalan dengan damai dan aman.

Waktu Subuh berikutnya, saya berkesempatan shalat di Masjid Sultan Muhammad Salahuddin di Kota Bima yang didirikan pada 25 Juli 1649. Ketika shalat itu, Imam berqunut, jadilah semua makmum berqunut. Setelah shalat saya bertanya kepada ketua pengurus masjid, “Apakah setiap Subuh berqunut. Jawab Pak Hafid, "Tidak".

Katanya “Bagi kami, qunut itu adalah doa untuk keperluan tertentu. Jika kami ada keperluan yang maha penting, qunut perlu dilakukan, jika tidak maka tidak perlu. Itu cuma sunat kok hukumnya, tidak wajib”, tambahnya.

Bagi pengurus Masjid Sultan ini, perbedaan faham dalam shalat di masjid yang mereka kelola sudah berlangsung lama, bahkan sempat menimbulkan konflik antarjama'ah. Tetapi, tahun ini sudah tidak terjadi lagi. Sebagaimana yang saya alami sendiri pada saat shalat Subuh dimana Pak Hafid ikut mengangkat tangan dan berqunut ketika imam shalat berqunut.

Begitupun ketika shalat tarawih, pada malam sebelumnya, imam Haji Soleh memimpin shalat hingga delapan rakaat, setelah itu beliau menyilakan imam yang lain yaitu Imam Ja'far agar melengkapinya dengan shalat witir sebanyak 3 rakaat. Selang beberapa saat, imam Haji Soleh melanjutkan lagi shalat tarawih dengan 12 raka'at diikuti sekitar satu baris makmum atau sekitar 20 an jama’ah.

Beda lagi di Masjid Pesantren Al-Husany, pesantren yang dikenal sebagai pencetak Hafidz dan Hafidzah ini juga menggunakan versi shalat tarawih 8 raka’at. Tetapi, dengan membaca surat sebanyak 1 juz setiap malam, sehingga akan khatam dalam 1 bulan Ramadhan.

       Kesimpulannya, berqunut dan tidak berqunut, atau shalat tarawih 8 rakaat atau 20 rakaat, sudah menjadi petanda (real marker) praktik peribadatan yang nyata untuk membedakan  pendukung  Muhammadiyah dengan Nahdhatul Ulama' (NU). Meskipun terbatas sebagai organisasi massa Islam, kedua organisasi ini semakin memerankan dirinya seperti sebuah mazhab (school of thought) baru dalam hal-hal ritual peribadatan.

Ustadz-ustadz Muhammadiyah dikenal acapkali mempersoalkan dasar hukum “diwajibkannya” melaksanakan qunut ketika shalat Subuh dan 20 rakaa’at shalat tarawih di kalangan NU. Selain dua ritual peribadatan tadi, Muhammadiyah dan NU, terutama di tingkat pengikutnya sering berseteru atau berkonflik dalam hal-hal ubudiyah lainnya seperti, perayaan Maulid dan Doa Roah atau ritual doa arwah (tahlilan).

Saat ini, pada masyarakat di masjid-masjid yang saya amati, semakin banyak yang tadinya terbiasa dengan praktik ibadah NU seperti qunut dan tarawih 20 raka’at beralih mengikuti pola peribadatan Muhammadiyah. Padahal, praktik shalat tarawih NU, misalnya, sudah mengadopsi konsep Mbo'da (mudah dihafal), Teo (pendek suratnya) dan Mboto (banyak sujudnya), begitu kata H. Ja’far.

       Memang yang saya amati, imam tarawih 20 raka'at hanya membaca surat-surat pendek seperti surat Al-Ikhlas pada raka'at kedua. Surat ini adalah salahsatu surat terpendek dalam Al-Qur'an. Namun, alasan praktis dan tidak banyak raka'at menjadi alasan utama memilih yang 8 raka'at. Mereka mengetahui bahwa berqunut dengan tidak mengangkat tangan dan tarawih 8 raka’at juga memiliki dalil kuat, meski dengan konsekuensi mengubah kebiasaan lama mereka atau orangtua mereka dulu.

Kalembo Ade telah menjadi sebuah kearifan lokal yang menyatukan pengikut NU dan Muhammadiyah, begitupun PERSIS, di Bima. Sikap lapang dada dan menerima dengan tangan terbuka menjadi landasan menyikapi perbedaan yang ada. Taho Ade adalah buah dari sikap Kalembo Ade dan ini terkait berkelindan dengan ajaran FITUA atau Filsafat Tua para orangtua dulu yang memang mengedepankan keluruhan hati atau Ade.

Biasanya, kalau ada yang menyebut Kalembo Ade akan dibalas dengan ucapan; Au si di katuka kai ade (kenapa harus menyempitkan hati). Untuk mencapai sikap yang arif ini memang tidak mudah. Ngaji Tua adalah proses untuk mendapatkannya. Dalam FITUA, terdapat empat tingkatan zikir: zikir syari’at, zikir thariqat, zikir haqiqat dan zikir ma’rifat. Zikir yang terakhir ini adalah zikir rahasia atau juga dikenal dengan zikir Ba’e Ade. Orang yang belum mencapai tingkatan yang terakhir ini mustahil mendapatkan Ba’e Ade apatahlagi Kalembo Ade.

Contoh tauladan Kalembo Ade di masjid-masjid yang disebutkan tadi seakan-akan menunjukkan kepada anak-anak sekarang tentang pentingnya sikap toleransi dalam menyikapi perbedaan dalam keyakinan. Banyak yang berharap bulan Ramadan ini menjadi bulan pembelajaran untuk memperoleh Bae Ade, sehingga Kalembo Ade kembali menjadi sikap yang diambil dalam menyikapi perbedaan Idul Fitri nanti. Amin.

Penulis adalah kandidat Doktor bidang Antropologi  pada Australian National University (ANU)

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Peristiwa

Bima, Bimakini.- Sejumlah pemuda dan masyarakat desa Talabiu, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, memberikan pernyataan sikap dan deklarasi damai di cabang desa setempat, Ahad (8/3)....

Pemerintahan

Bima, Bimakini.- Bupati Bima, Hj Indah Dhamayanti Putri, SE, memuji sikap toleransi hidup antarumat beragama di Kabupaten Bima, terkhusus di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo....

Berita

PANITIA Kelas Inspirasi (KI) mengundang secara terbuka para pekerja profesional untuk terlibat sebagai inspirator.  Mereka hadir di depan kelas da diberikan kesempatan mengajar sehari...

Pemerintahan

Kota Bima, Bimakini.com.- Asisten I Setda Kota Bima, Drs M Farid, MSi, menekankan sikap toleran harus ditanamkan sejak dini kepada generasi muda. Sikap toleran...

Pendidikan

            HARI itu, Jumat 4 September 2015. Saya meluncur ke Kantor Dikpora Kabupaten Bima untuk bergabung dengan kawan-kawan lain yang akan mengisi Kelas Inspirasi...