Kita dikejutkan kemunculan kasus dugaan penganiayaan dan pengancaman di Doro O’o Kecamatan Langgudu yang melibatkan Bupati Bima, H. Ferry Zulkarnain dan ajudannya, Ruslan. Aspek penting yang memerlukan pembuktian adalah pengakuan bahwa Bupati menganiaya, menodongkan pistol plus mengancam membunuh sejumlah oknum mahasiswa pascainsiden penyobekkan proposal. Harus diakui, sisi ini yang mengental dalam sorotan publik, karena selama ini Ferry dikenal punya kesabaran tertentu saat merespons situasi yang dihadapinya.
Kini kejadian itu telah dilaporkan secara hukum. Aparat Kepolisian yang memiliki kewenangan memrosesnya. Kita menunggu saja tahapan penyelidikan mereka selanjutnya.
Dari kasus itu, setidaknya, ada dua hal yang bisa dijadikan bahan renungan bersama. Pertama, saat menyampaikan aspirasi atau meminta bantuan, etika kesantunan mesti dijaga sehingga bisa menarik simpati ketika membutuhkan jenis bantuan lainnya pada kesempatan lain. Jika semua penolakan disambut dengan sikap emosional berlebihan, maka betapa semrawutnya situasi. Aksi penyobekan proposal itu lebih mengesankan pemaksaan kehendak. Bisa dipahami pula jika yang memvonis aksi penghinaan.
Mestinya, kita mesti mampu membungkus rapi asa ketika tidak mewujud dalam kenyataan, tidak hanya kasus Doro O’o itu. Dari cara pendekatan, pilihan strategi seperti itu jelas tidak menguntungkan.
Lepas dari itu, ada yang menyatakan bahwa permintaan bantuan yang diidentifikasi dari “kelompok seberang dari posisi pijakan sang penguasa” sulit ditembus. Soal ini sudah lama menjadi bahan perbincangan. Apakah kasus Doro O’o dalam format itu? Wallahualam.
Kedua, bagaimana pun kondisinya, para pemimpin harus bisa menahan diri dari sikap yang tidak populer. Apalagi, ketika berhadapan dengan tipologi masyarakat tertentu. Jika todongan pistol dan ancaman membunuh itu benar terjadi, maka aksi selevel penyobekan proposal, rasanya terlalu berlebihan direspons ala Koboy. Berbeda jika situasinya memang genting dan nyawa pemimpin terancam. Nah, pascainsiden itu, muncul kesan bahwa pemimpin sipil lebih militeristik ketimbang militer itu sendiri.
Ketika kejadian itu merambah wilayah hukum, maka kita sebaiknya menunggu proses pihak Kepolisian. Ya, biarkan aparat menangani untuk membuktikan posisi mereka di depan hukum. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.