Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Momentum Hari Jadi ke-372 Bima: Mempertegas Identitas Islam Dou Labo Dana Mbojo

Oleh: Muhammad Adlin Sila

Tanggal 5 bulan Juli adalah momen sakral bagi segenap Dou Labo Dana Mbojo (rakyat dan tanah Bima). Tiga ratus tujuh puluh dua tahun yang lalu, tepatnya tahun 1640, Kerajaan Bima berubah menjadi sebuah kesultanan dengan Islam sebagai agama resmi raja dan masyarakat.

Sebelum tahun bersejarah itu, menurut versi Bo Sangaji Kai, La Kai (putra mahkota kerajaan Bima) ditemani La Mbilla berangkat menemui Sultan Alauddin di Gowa, Makassar agar mengirimkan pasukan perangnya untuk merebut kembali tahta kerajaannya yang sedang dikuasai oleh Raja Salise (sekutu Belanda). Sultan Gowa waktu itu menyanggupi dengan syarat La Kai dan La Mbilla masuk Islam dan membantu penyebaran agama Islam di tanah Bima (Dana Mbojo).

Syarat itu dipenuhi oleh La Kai dengan memeluk Islam pada tahun 1609 dan menikah dengan adik ipar Sultan Alauddin. Setelah itu, berangkatlah La Kai atau Abdul Kahir dan La Mbilla atau Jalaluddin, dengan dua muballigh Melayu yaitu Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro beserta bala tentara Kesultanan Gowa ke Bima dan berhasil mengalahkan Raja Salise berserta pengikutnya. Setelah La Kai kembali naik tahta, La Kai atau Abdul Kahir menjadi Sultan pertama Kesultanan Bima dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan pada 5 Juli 1640 M (atau 18 Rabiul Awal 1050). Tanggal 18 Rabiul Awal menjadi hari pelaksanaan perayaan Hanta U'a Pua (perayaan sejarah masuknya Islam dan Maulid Nabi di Bima). 18 Rabiul Awal yang waktu itu bertepatan dengan tanggal 5 Juli menurut tahun Masehi kemudian menjadi Hari Jadi Bima yang setiap tahun diperingati oleh segenap rakyat Bima.

Tanggal 5 Juli yang lalu, saya merasakan kebahagian yang amat besar karena dapat bersama-sama dengan Ina Kau Mari atau Dr.Hj. Siti Maryam (anak Sultan Muhammad Salahuddin, sultan terakhir Bima) dan Bupati H. Ferry Zulkarnaen (anak Jena Teke atau putra mahkota, Putra Kahir, anak laki-laki satu-satunya Sultan Muhammad Salahuddin) menghadiri peringatan Hari Jadi Bima yg berpusat di alun-alun Kota Kecamatan Wawo, Bima. Setelah upacara usai, rombongan mengunjungi makam para Sultan di Kompleks Dana Traha di Kelurahan Dara dan Masjid Sultan Muhammad Salahuddin di Kelurahan Paruga. Tepat jam 1 siang, Bupati beserta para ulama di Bima menghadiri Khataman Massal 1000 TPA/TPQ se Kabupaten Bima yang berlangsung di halaman Asi Mbojo.

Perlu diketahui bahwa tanggal 5 Juli ini adalah Hari Jadi Dana Mbojo. Istilah Mbojo tidak hanya terbatas Kabupaten Bima, melainkan seluruh wilayah dimana penduduknya berbahasa dan berbudaya Mbojo. Ini berarti melingkupi Kabupaten Bima dan Dompu. Oleh karena itu, terkesan keliru kalau memahami Hari Jadi Mbojo hanya milik Dou Mbojo yang berada di Kabupaten Bima saja, hanya karena kebetulan Bupati Bima sekarang, Haji Ferry Zulkarnaen, adalah putra Jena Teke Putra Kahir. Jadi tanggal 5 Juli adalah hari dimana Dana Mbojo melantik Sultan Pertama yaitu Sultan Abdul Kahir Sirajuddin pada tahun 1640. Menurut sejarah, Bima dan Dompu yang merupakan dua daerah dimana mayoritas Dou Mbojo bermukim dipecah menjadi dua pada masa kemerdekaan, yaitu Swapraja Bima dan Swapraja Dompu. Kemudian pada tahun 1958, melalui UU Nomor 68, kedua Swapraja ini berubah lagi menjadi Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu. Meski demikian, keduanya menjadi representasi Dou Mbojo hingga saat ini.

Menurut Bo Sangaji Kai, naskah Bo yang ditulis oleh Sultan setebal 712 halaman itu, menuliskan bahwa La Kai yang merupakan Raja Bima yang ke 26 itu masuk Islam pada tahun 1018 H atau bertepatan dengan 1609 M di Gowa, Makassar. Sultan Abdul Kahir yang bergelar Ma Bata Wadu menjadi Sultan dan berkuasa dari tahun 1611 hingga 1640 M. Puncak peletakan dasar-dasar agama Islam dan mencapai puncaknya pada akhir masa kesultanannya tahun 1640 maka tahun ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima. Salah seorang saksi sejarah penetapan tahun 1640 itu, H. Abubakar Ma’alu (mantan Ketua DPRD Kab. Bima dan pendiri HMI di Bima, Sumbawa), mengatakan kepada saya dalam sebuah wawancara bahwa penetapan Hari Jadi Bima tahun 1640 memiliki alasan politik. Yaitu agar generasi muda Dou Mbojo memahami bahwa Dou Labo Dana Mbojo hanya berdasarkan pada Islam dan bukan yang lain. Sementara masa sebelum Islam yaitu masa kekuasan Indra Zamrud, yang dikenal sebagai peletak dasar kerajaan Bima, tidak menjadi referensi untuk menetapkan Hari Jadi Bima.

Memang, keberadaan Kesultanan Bima terkait dengan sepak terjang Sultan Abdul Kahir sebagai sultan pertama Bima. Peranannya memiliki pengaruh yang amat luas terhadap perkembangan Islam bagi Dou Labo Dana Mbojo.Karena Sultan telah berjanji kepada Sultan Gowa untuk menyebarkan Islam ke seluruh negeri, maka penyebaran agama Islam begitu cepat mewarnai kehidupan masyarakat di seluruh pelosok tanah Bima. Bahkan, di daerah-daerah tertentu seperti di Donggo yang masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang, juga semakin menerima Islam sebagai agamanya. Di daerah yang dianggap sebagai masyarakat asli Dou Mbojo dan masih memegang kuat adat nenek moyang Dou Mbojo yaitu kepercayaan terhadap Marafu (animisme), kita hampir tidak dapat membedakan lagi antara tradisi Islam dengan budaya setempat jika melihat kehidupan keseharian mereka. Islam dan budaya begitu membaur dan saling bertaut berkelindan. Maka tidak keliru kalau dikatakan bahwa kehidupan Dou Mbojo terkenal dengan sebuah ungkapan kuno yang menandai identitas ke-Islaman mereka yaitu: “Mori ro made na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku” yang berarti “Hidup dan matinya orang Bima harus dengan hukum Islam”.

Identitas ke-Islaman ini diperkuat oleh para Sultan Bima yang berkuasa pada masa-masa selanjutnya. Seperti sultan kedua Bima, Sultan Abdul (atau Abil) Khair Sirajuddin yang dikenal pandai mengemas seni budaya Mbojo dengan nuansa nilai-nilai Islam. Pada kesultanan Abdul Khair lah, perayaan Hanta U’a Pua yang mennadai peringatan masuknya Islam di Dana Mbojo lahir atau diciptakan. Begitupun pada masa Sultan Abdul Hamid, rencana pembangunan Masjid Sultan yang menjadi salah satu masjid tertua di Indonesia itu diikrarkan. Selanjutnya, pembangunan masjid itu direalisasikan pada zaman Sultan Abdul Qadim. Pada zaman, Sultan Muhammad Salahuddin, yang merupakan sultan terkahir Bima, perkembangan pendidikan Islam begitu pesat dengan berdirinya madrasah di setiap Jeneli (kecamatan).

Dengan kuatnya nuansa Islam dalam segala sendi kehidupan Dou Mbojo ini maka sejak masa kesultanan telah dibentuk sebuah majelis yang dikenal dengan Majelis Hadat Dana Mbojo (Majlis Adat Tanah Bima), yang bertugas dan bertanggung jawab selain sebagai sarana penyiaran dan penyebaran Islam juga sebagai penentu segala kebijakan kesultanan yang berdasarkan Islam. Majelis ini masih berdiri dan saat ini diketuai oleh Dr. Hj. Siti Maryam Muhammad Salahuddin. Penyebaran Islam yang demikian pesat ini juga diiringi dengan berkembangnya berbagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, serta masjid-masjid tampak kokoh di setiap desa dan kampung di seluruh Dana Mbojo.

Pelajaran yang bisa diambil oleh pemimpin Bima hari ini adalah bahwa Islam, setuju atau tidak setuju, harus menjadi referensi utama dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintahan, mulai dari level atas hingga level bawah seperti kecamatan dan desa. Selayaknyalah perilaku-perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya dibuang jauh-jauh karena tidak sesuai dengan identitas Islam Dou Mbojo. Bupati Bima, Ferry Zulkarnaen, sadar akan hal itu dengan menyampaikan pesan dalam pidatonya bahwa: “perayaan Hari Jadi Bima ini akan menggugah masyarakat agar mempertahankan jari diri dan menerapkan nilai-nilai luhur sebagai ciri khas Dou Mbojo sesuai dengan yang diwariskan para pendahulu daerah ini.” Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa peringatan Hari Jadi Bima setiap tanggal 5 Juli adalah peringatan tentang penegasan tonggak awal identitas Islam Dou Labo Dana Mbojo.

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

  ‘’SAYA mau tes daya ingat pak KMA,’’ katanya kepada saya suatu waktu. KMA itu, singkatan nama saya. Belakangan, semakin banyak kawan yang memanggil...

CATATAN KHAS KMA

SAYA belum pernah alami ini: handphone tidak bisa dipakai karena panas. Bukan hanya sekali, Tetapi berkali-kali. Juga, bukan hanya saya, tetapi juga dua kawan...

CATATAN KHAS KMA

CATATAN Khas saya, Khairudin M. Ali ingin menyoroti beberapa video viral yang beredar di media sosial, terkait dengan protokol penanganan Covid-19. Saya agak terusik...

Berita

SEPERTI biasa, pagi ini saya membaca Harian  BimaEkspres (BiMEKS) yang terbit pada Senin, 10 Februari 2020. Sehari setelah perayaan Hari Pers Nasional (HPN). Mengagetkan...

CATATAN KHAS KMA

ADALAH Institut Perempuan untuk Perubahan Sosial (InSPIRASI) NTB pada 7 Desember 2019 lalu, mencanangkan gerakan Save Teluk Bima. Kegiatan dua hari itu, menjadi heboh...