Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) Mataram menemukan sejumlah contoh makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya, seperti formalin dan boraks. Mi basah dan kerupuk yang dijual pada sejumlah toko di Kota Bima diidentifikasi telah disemprot bahan kimia tersebut. Sejumlah makanan lainnya juga sedang diselidiki pada laboratorium.
Tentu saja tindakan membaluti produk jualan dengan bahan berbahaya patut disesalkan, karena sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya.
Upaya mengawetkan makanan dengan cara ilegal seperti rutin berulang, memanfaatkan momentum Ramadan yang cenderung diikuti konsumsi tinggi. Demikian juga dengan produk yang masa pemakaiannya telah berakhir (kedaluwarsa), Bisa dibayangkan bagaimana perut orang yang berpuasa “digoyang” bahan kimia berbahaya seperti itu. Selain itu, sangat berbahaya jika dikonsumsi anak-anak atau mereka yang ketahanan tubuhnya rendah.
Pemerintah melalui BPOM mesti terus bergerilya mengidentifikasi potensi penyimpangan seperti itu untuk menyelamatkan konsumen. Para pelakunya mesti tegas diingatkan, siapa tahu mereka yang kini terjebak dalam upaya mengelabui konsumen adalah mereka yang tahun lalu pernah terjaring razia. Idealnya, identifikasi penggunaan boraks dan formalin itu rutin dilakukan sebagai bagian dari upaya pemerintah menyelamatkan kesehatan masyarakat. Tidak hanya ‘aksi semusim’ yang mengiringi hingar-bingar Ramadan.
Dalam konteks agama, bisnis yang dilakukan mesti tetap diletakkan dalam balutan nilai-nilai religius dan memerhatikan aspek kemaslahatan. Bisnis yang tidak Islami, tidak saja merugikan masyarakat tetapi juga tidak membawa berkah bagi pelaku usaha. Apalagi, membisniskan produk yang digemari konsumen saat Ramadan. Kita harapkan para pedagang di Kota Bima dan tempat lainnya yang terjebak dalam aroma formalin dan boraks itu segera menyadari posisinya.
Sekali lagi, Ramadan adalah titik balik yang tepat untuk merenungi. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
