Connect with us

Ketik yang Anda cari

Sudut Pandang

Membunuh Waktu di Jurang Pengantin

(Muhammad Fikrillah)

Jika Anda pernah melewati ruas jalan Negara Bima-Sape Provinsi NTB tiga bulan lalu, pada satu tikungan tajam di atas pegunungan terjadi longsor. Badan jalan yang menghubungkan dengan Provinsi NTT itu terpotong hampir setengahnya. Di sebelah Utara, jurang menganga lebar hingga puluhan meter. Mengerikan. Bisa dibayangkan bagaimana akibatnya jika orang atau kendaraan terperosok. Lokasi itu dikenal dengan nama Jurang Pengantin.

Ada sejarahnya lho… Dulu ada rombongan yang mengantar calon pengantin dan mengalami kecelakaan di lokasi itu. Untungnya tidak sampai merenggut korban jiwa. Sejak saat itulah namanya populer disebut Jurang Pengantin.

Kini, areal longsor itu tidak lagi sangar. Sudah dipermak habis. Ditata sedemikian rupa, sehingga nyaman dilalui. Batu cadas yang menggunung di tikungan tajam sudah dirontokkan, ruas jalan lebih lebar. Besi pengaman dipasang, plus trotoar. Pengendara bisa mampir dan menikmati pemandangan alam pegunungan. Suasana sejuk mewujud. Angin sepoi membelai wajah. Ada lapak sederhana yang menyuguhkan kopi, teh, dan aneka minuman lainnya.

Sore hari kerumunan kaum remaja betah berlama-lama sambil memandang hijauan dedaunan dari ketinggian. Mereka ada yang bersantai, meracik nada-nada cinta, membangun hubungan mesra. Termasuk saat Ramadan 1433 Hijriyah ini. Malah, terlihat lebih banyak. Mereka berdiri menyangga tubuh pada pembatas jalan, remaja pria dan wanita. Ada juga duduk bercengkerama di atas karpet dan tikar yang digelar.

Apa yang mereka bicarakan? Pasti ngalor-ngidul, seputar keseharian mereka. Bagi yang mojok berduaan, diduga melentingkan dawai-dawai asamara menusuk sukma. Ini berdasarkan pengamatan ya, bukan pengalaman he..he..

Fenomena kumpulan remaja yang berkongkow menikmati suasana sambil menunggu waktu berbuka puasa dikenal dengan istilah ngabuburit. Mereka sedang killing time, membunuh waktu. Tidak hanya di lokasi itu, tetapi kawasan lainnya seperti pinggir jalan kembar sepanjang Ama Hami hingga Wadu Mbolo Kota Bima. Sekadar duduk di pinggiran pantai menikmati suasana. Ngabuburit sering digunakan remaja berduaan bersama lawan jenisnya di tempat yang romantis dan agak sepi.

Ada juga yang sore hari keluar rumah berboncengan dengan pasangannya di atas sepeda motor. Cara duduknya pun pantas membuat ulama mengurut dada: duduk menyandarkan dada pada punggung pasangannya, layaknya joki di arena pacuan kuda. Tentu saja “gunung kembar” itu terbentur atau sengaja dibenturkan?

Bagaimana sebenarnya ngabuburit dan ulama menilai fenomena yang mulai akrab bagi remaja Bima dan umumnya Indonesia itu? Istilah ngabuburit berasal dari bahasa Sunda yang berakar pada kata “burit”, artinya representasi waktu yang menunjukkan mulainya malam hari Makna ngabuburit yang tercantum dalam Ensiklopedia Sunda adalah menunggu saat berbuka puasa sambil mengerjakan sesuatu atau bermain-main, berjalan-jalan sekadar melupakan perut lapar sampai Magrib.

Namun, sekarang ini istilah ini sudah umum dipakai dengan mengartikannya sebagai kegiatan mengisi waktu sampai tiba saatnya berbuka puasa. Fenomena ngabuburit pun sudah “bercumbu manis” dan melekat kuat dengan Ramadan. Entah siapa yang mulai memopulerkannya.

Jika melongok ke wilayah Sunda, bukan itu sebenarnya hakikat ngabuburit tempo dulu. Mereka melakukannya di tajug atau surau, bersemangat untuk salat Magrib berjamaah dan mengaji. Selama ngabuburit itu, mereka dibimbing oleh ajengan (kiyai) setempat. Mereka baru akan pulang ke rumah setelah salat Isya berjamaah. Tradisi ngabuburit yang dilakukan masyarakat Sunda tempo dulu juga diisi beragam permainan rakyat, misalnya petak umpet, gatrik, dan sebagainya.

Di Bima, kurang lebih sama. Pada sore hari, dulu anak-anak mendatangi rumah guru ngaji dan menimba air untuk gentong air dari tanah liat (padasa). Mereka juga memburu daun panda untuk membuat ketupat (kahuntu). Ada juga yang ke laut untuk mencari kerang dan ke gunung mengumpulkan kayu bakar.

Praktiknya sekarang ini, ngabuburit justru diisi kegiatan tidak bermanfaat seperti menonton televisi seharian, berpacaran atau kegiatan duniawi yang bersifat hura-hura. Suatu degradasi kegiatan yang menguatirkan dalam konteks pembangunan mentalitas generasi Islami.

Sebenarnya, ada banyak kegiatan yang dilakukan umat Islam kala mengisi waktu luang untuk menunggu berbuka (ifthar) puasa. Misalnya, tadarus, berzikir, bersilaturahmi, membaca buku agama atau mengakses materi agama pada media internet. Bahasa kerennya “ngabuburit digital”

Reaksi terhadap aktivitas remaja itu disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Bima, HM. Taufikuddin Hamy. Disarakannya, sebaiknya waktu menunggu berbuka berbuka puasa dengan banyak berzikir dan membaca Quran. Bukannya melarang para remaja berekspresi menunggu waktu berbuka puasa, namun menyarankan tidak menyia-nyiakan waktu Ramadan sedikit pun untuk mencari pahala. Bahasa Bima-nya ‘sarinci pahala’.

Dalam konteks ngabuburit ala Bima ini, Taufikuddin menggugat “Puasa adalah ladang pahala yang disediakan Allah untuk umat Islam, kenapa kita tidak memaksimalkannya?”. Fenomena ngabuburit yang mewabah di kalangan remaja Mbojo adalah realitas sosial yang mesti dicermati secara mendalam. Jangan sampai umat Islam hanya terjebak pada sisi kesemarakan Ramadan, tetapi gagal menggali makna agung di dalamnya. Kesemarakan yang mengaburkan makna. Kebermaknaan yang–pelan dan pasti–dikangkangi kesemarakan suasana.

Jika pergerakan anak-anak dan remaja Muslim ini tidak segera dihentikan, maka budaya negatif bakal melingkupi Ramadan dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, fase pelimpahan rahmat, pengampunan dosa, dan terbebas dari siksaan api neraka akan lewat begitu saja. Suatu kerugian besar jika terjadi.

Ngabuburit yang salah kaprah dan kelatahan anak-anak Muslim mengaitkan petasan dengan Ramadan, selayaknya menjadi target pengarahan ulama dan orangtua di Dana Mbojo. Mari kita memanfaatkan waktu yang bergulir saat bercumbu dalam keagungan Ramadan kali ini. Sesungguhnya kita berpacu dengan waktu. Siapa tahu ini adalah the ending Ramadan. Bukankah sama sekali tidak ada jaminan kita akan ber-Ramadan lagi?

 

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Pendidikan

Bima, Bimakini.com.- Selain bertugas mengatur lalulintas, Sat Lantas Polres Bima juga peduli  terhadap  kegiatan lainnya. Seperti saat ini,  dalam kegiatan Polisi Peduli Pelajar. Mereka...

Hukum & Kriminal

Kota Bima, Bimakini.com.- Ini pengakuan Khaerudin (21), pemuda asal Desa Lamere Kecamatan Sape Kabupaten Bima, terdakwa dalam kasus pembunuhan sadis terhadap Arif Budiman (13)...

Peristiwa

Perairan laut selatan, khususnya di Kecamatan Langudu menyimpan daya tarik luar biasa.  Pantai Pusu Desa Pusu, memang sebelumnya cukup terisolir. Menjamah tempat ini, jalurnya...

Pemerintahan

Bima, Bimakini.com.-      Pemerintah Kabupaten Bima sudah menerapkan lima hari kerja sejak sebulan terakhir. Pemantauan terhadap kepatuhan Satuan Kerja Perangkat daerah dan Unit Pelaksana ...

Peristiwa

Bimakini.com.- Terminal menjadi titik pertemuan masyarakat pengguna layanan transportasi. Tidak hanya masyarakat lokal juga para pendatang yang menggunakan layanan terminal. Karena itu, terminal harus...